Setelah menjawab pertanyaanku, tukang foto langsung pamit. Aku pun semakin penasaran, timbangan apa gerangan? Mungkinkah Ayu tidak jujur dalam hal timbang-menimbang jualannya?
Permasalahan klasik, beberapa pedagang yang curang selalu mengurangi timbangan demi mendapat keuntungan.
Kuperhatikan terus warung Ayu, keributan itu kini berakhir. Bi Munah pulang dengan mulut bersungut, sepertinya permasalahan mereka belum selesai, karena terlihat wajah Bi Munah masih menggambarkan kekecewaan.
"Mur, beli telur sekilo!" kata Bi Saodah. Dia mengagetkanku dari depan warung. Beberapa hari lalu, kuingat dia marah padaku gara-gara catatan utang, dan dia bilang gak akan beli di warungku lagi. Tapi, rupanya kali ini dia datang belanja. Pasti ada sesuatu yang merubah pikirannya.
Kubungkus sekilo telur, dan menyerahkannya pada Bi Saodah. Tetanggaku ini menerima sa
"Aduh, bagaimana ini? Mau dibuka, takut isinya macam-macam." Tanpa sadar aku bicara pada diri sendiri dengan suara yang cukup pelan."Apa itu?"Seseorang bertanya dari balik punggungku, suaranya aneh. Aku menoleh, dan ternyata Mila. Dia pakai masker, pantas saja suaranya beda seperti ada yang menghalangi, sampai-sampai aku tak mengenalinya."Mila! Kamu ngagetin aja," kataku refleks. "Ini lho, ada paket tapi gak nyantumin siapa pengirimnya.""Wah, paket misterius itu, Kak. Siapa yang antar?" tanyanya sembari melihat paket yang kupegang."Kurir ekspedisi resmi, kok. Tapi anehnya gak nyantumin nama. Mau kukejar kurirnya untuk minta penjelasan, eh dia sudah pergi."
"Yuli, Yuni, kalian berdiri di sini, jaga kuah dan bakso ini jangan sampai terlalu matang, sekalian tata mangkuk-mangkuk ini. Tepmpelkan cap-cap di tutupnya!"Aku memanggil kedua asistenku yang tengah menyiapkan bahan seblak dan bakso di sebelah kanan. Karena stand Ayu berada di samping kiriku, jadi aku harus bertukar tugas dan posisi dengan kedua asistenku agar Ayu tak dapat melihatku.Yuli dan Yuni langsung mengikuti perintah, dan kini aku bisa berdiri dengan leluasa, mengerjakan semua pekerjaan."Mbak Murni, itu yang di sebelah stand kita kok panik begitu?" tanya Yuli, menoleh padaku dengan berbisik."Sudah, kalian fokus dengan pekerjaan kita saja. Jangan pedulikan mereka, justru harus berhati-hati terutama sama yang perempuan," jawabku seraya menunjuk Ayu dengan kerlingan mata.Acara pun dimulai, tamu
"Hah? Enggak, ah!" jawab Mila setengah teriak.Tak lama, motor belok, kami sampai di depan rumah."Itu lho, Mil. Tadi kan Ayu juga jaga stand di sana, menunya jasuke sama seblak tulang. Tapi dia gagal menyajikan jasuke, karena jagungnya tiba-tiba hilang seperti ada yang nyuri atau nyembunyikan," ceritaku sambil turun dari motor.Mila menurunkan barang-barang, dan kami mengangkutnya ke dalam rumah."Enggak ah, Kak. Dari tadi pagi sepulang nganterin Kakak kan aku jaga warung. Ke gedung cuma nganterin Kakak aja pas subuh-subuh. Kita ke sana belum ada Ayu, kan. Jadi, kapan aku melakukannya, coba?" jawab Mila.Benar juga. Hari ini, meski aku jaga stand di gedung, tapi warungku tetap buka. Hanya saja, untuk menu seblak, pentol mercon, dan bakso kuah yamin terpaksa kuliburkan dulu karena tak ada yang bisa memasa
"Tenang, Mur. Kami ke sini numpang ngumpet aja, soalnya si Ayu lagi nyari-nyari kami," jawab Bi Saodah.Suara orang berjalan dengan cepat mulai terdengar menuju warungku. Melihat Bi Munah, Bi Saodah, dan Bi Rum yang tegang membuatku yakin kalau Ayu lah yang tengah mendekat ke sini."Lalu, kenapa kalian sembunyi begini, kenapa tidak dihadapi saja langsung, apa kalian takut?" tanyaku pada mereka."Bukannya takut, kami cuma mau ngerjain dia aja. Biarin dia keliling kampung nyari-nyari kami!" jawab Bi Munah.Mereka seperti anak kecil yang sedang main umpet. Bagaimanapun, aku tak mau terlibat dalam masalah ini."Saya mau keluar, mau masuk ke rumah. Nanti kalau dia ke sini dan lihat saya sama kalian, dia akan berpikir kita sekongkol," kataku, langsung melangkah ke luar warung. 
Jadi, Bapak sudah mengadukan Zaki ke kantor polisi. Bagus lah, semoga saja nama baik keluarga kami akan segera pulih, terutama Mila. Kasihan dia, statusnya yang janda membuat para lelaki iseng memanfaatkannya."Sebenarnya, saya gak tahu apakah Bu RT ini punya otak atau tidak," balasku. "Karena, kalau punya otak ... tak mungkin lah akan berkata seperti itu. Bilang keluarga saya baperan dan tukang lapor, dan perbuatan Zaki hanya iseng? Apakah anakmu itu tidak berpikir, kalau perbuatannya telah mempermalukan sekaligus mencemarkan nama baik keluarga kami, terutama Mila?! Bagaimana bisa perbuatan seperti itu dianggap iseng? Hanya orang yang tidak punya otak yang berpikiran seperti itu!"Aku membalas perkataan Bu RT dengan kasar. Sementata itu, dia hanya terdiam seribu bahasa, kehabisan kata untuk membalas perkataanku lagi.Tanpa pikir panjang, aku pun meninggalkannya. "Maaf, say
"Alhamdulillah ...."Aku mengucap syukur begitu mendengar kabar Zaki dibawa polisi. Berarti, polisi tanggap dalam menanggapi aduan Bapak Mertua. Mila juga tampak senang sekali, terlihat senyum lega merekah dari bibirnya."Lho, kok alhamdulillah?" tanya Mang Sidik."Nanti juga Mang Sidik akan tahu sendiri kenapa anak itu bisa ditangkap polisi," jawabku."Ya, dia memang suka bikin ulah, sih. Bandel. Saya kira karena kasus narkoba, anak sebandel dia bisa saja main barang haram itu.""Astaghfirulloh. Mamang jangan bicara begitu, di kampung kita gak ada yang mengkonsumsi begituan," kataku."Iya, kan itu hanyalah perkiraan saya saja tadi. Soalnya, waktu kapan gitu ... saya lupa tepatnya kapan, pokoknya tengah malam dia ngebut pakai motor, berhenti di pos depan itu sendirian dan lang
"Kalau ada yang perlu dibicarakan, silakan bicara di kantor polisi saja. Sekalian jelaskan pada mereka, beri keterangan. Saya yakin, sebanyak apapun Bu RT memberi penjelasan, tidak akan membuat Zaki lolos dari hukuman," jawabku. "Jadi, silakan saja langsung bicara pada pihak kepolisian. Itu juga, kan, yang ingin dibicarakan Bu RT kepada Bapak? Menjelaskan tentang perbuatan Zaki dan meminta Bapak memaklumi perbuatannya, lalu membujuk supaya Bapak mencabut aduannya. Asal Bu RT tahu, kami tidak terima 'negosiasi' apapun."Bu RT membuka mulut, hendak menjawab perkataanku, namun aku segera mendahuluinya bicara. "Jadi, tidak ada gunanya kita bicara. Sudah jelas, kan?" kataku."Aku ini mau bicara dengan bapak mertuamu, bukan sama kamu. Sampaikanlah dulu padanya, biar dia yang memutuskan mau bicara atau tidak!" balas Bu RT. "Jangan bersikap sok jadi pelindung keluarga. Aku gak bermasalah sama kamu, aku bermasalah sama kel
"Permisi, saya mau pulang."Itulah jawabanku. Lebih memilih pulang dan menghindar dari mereka, yang tak mengerti sama sekali tentang rasa malu keluargaku gara-gara foto editan itu. Enak sekali mereka memintaku untuk membujuk Bapak Mertua mencabut aduannya. Itu tak mungkin kulakukan.Andai aku harus merasa kasihan pada Bu RT, maka ya, aku kasihan. Aku pun bisa merasakan kesedihannya, tapi itu adalah koneskuensi atas perbuatannya sendiri. Kenapa sekarang malah mau mencoba menyalahkan keluargaku?"Murni, jangan tersinggung. Kami bukannya mau membela RT, kami cuma merasa kasihan dan tak tega melihat kondisinya. Coba deh, kamu ke rumahnya, lihat sendiri Bu RT hanya melamun dan tatapannya kosong. Dia gak bisa ditanya, padahal baru saja tadi pagi anaknya ditangkap polisi, tapi kondisi Bu RT sudah seperti itu."Seseorang menarik lenganku, hingga langkah