"Bukannya Murni mau mempertanyakan keputusan yang telah Bapak ambil, tapi Murni cuma penasaran saja barangkali Bapak membebaskan Zaki karena tuntutan Pak RT dan tidak sesuai dengan hati nurani Bapak sendiri," lanjutku."Bapak sudah pikirkan matang-matang dari awal, Mur. Lagipula, setelah si Zaki bebas dari kasus foto editan ini, cepat atau lambat dia akan ditangkap lagi karena kasus lain. Bapak yakin," jawab Bapak."Maksud Bapak apa?" tanyaku."Bapak sudah tahu sejak pertama melihatnya mainkan motor di depan rumah kita, seperti orang 'sinting' kehilangan kewarasan. Apalagi saat dia malam-malam manggil Mila ngajak ke losmen depan pasar, kamu ingat kan?" "Iya, Pak. Murni ingat waktu malam itu Zaki memanggil Mila dengan cara merendahkan harga dirinya.""Nah, Bapak sudah sadar waktu itu juga ... kalau si Zaki ngomongnya ngelantur begitu karena kesadarannya 'oleng'," kata Bapak Mertua."Maksud Bapak, si Zaki narkobaan?" tanyaku, memastikan dengan berbisik. Aku teringat dengan cerita Mang
"Bu Murni cuma kecapen. Kurang tidur dan stress bisa menyebabkan gejala-gejala seperti ini. Namun, ini sudah parah. Sepertinya, Bu Murni sering begadang setiap malam dan itu sudah berlangsung sejak lama. Betul, kan?" jawab Dokter, sekaligus menebak rutinitasku.Memang benar, semenjak membuka usaha warung pertama kali tubuhku selalu saja bergerak, tak pernah diam dan hanya diam jika sedang tidur saja, itu jarang sekali mendapat waktu tidur yang cukup. Sejak saat itu, aktivitasku dimulai sejak jam tiga dini hari, membuat bumbu seblak, merebus tulang dan ceker ayam, belanja ke pasar subuh—karena dulu aku belum dapat pemasok, dan membuka warung. Jam lima subuh warungku mulai ramai hingga jam tujuh pagi. Di awal merintis usaha, sepanjang hari aku menjaga warung. Di sela-sela sepi pembeli, aku tak hanya diam, tetapi mengupas singkong atau pisang kemudian mengirisnya dengan menggunakan parutan keripik. Kadang diselingi juga dengan melayani beberapa pembeli ketika warung kembali ramai. Saat
"Mana mau bapakmu ke sana. Itu juga tadi karena dia dijemput Pak RT, diminta untuk datang ke rumahnya. Katanya Pak RT mau bongkar warung, dan minta bantuan tenaga Bapak. Ya, karena bapakmu itu orang baik, makanya dia mau berangkat ke sana," jawab Ibu Mertua seraya duduk di sampingku, di atas kursi tamu."Kan warungnya Ayu itu di garasi, apanya yang perlu dibongkar?" tanyaku."Mungkin mau dipindahin barang-barangnya. Kan warungnya mau tutup permanen, alias gak akan jualan lagi!" "Lho, kenapa?" Aku cukup terkejut mendengarnya."Entah. Nanti tanya bapakmu kalau sudah pulang.Aku melihat lewat jendela rumah, satu per satu tamu sudah pulang dari rumah Bu RT. Termasuk rombongan yang berpakaian serba hitam itu. Hari pun sudah semakin gelap, beberapa menit lagi azan maghrib akan berkumandang, pantaslah mereka pulang. "Itu ada rombongan yang pakai baju serba hitam, Murni kira mereka habis melayat," tanyaku pada Ibu Mertua."Ya, ada yang meninggal di RT sebelah. Sepertinya tadi setelah melay
"Ini sudah saatnya kita menyambut niat Pak RT. Dia sudah menunjukkan itikad baiknya untuk memperbaiki hubungan dengan keluarga kita, dengan cara menutup warung Ayu yang selama ini menjadi akar permasalahan mereka denganmu. Permasalahan dengan Bapak sendiri, sudah Bapak anggap selesai, kamu kan tahu Bapak bukan orang yang suka menyimpan dendam. Sekarang, giliranmu yang selesaikan masalah kalian. Jenguklah Bu RT, ngobrol dengannya, tanya apa yang membuat dia selama ini begitu jahat terhadapmu. Tak apalah kamu yang lebih dulu datang menunjukkan itikad baik, tak perlu menunggu Bu RT yang datang kepadamu." Bapak melanjutkan ketika dia melihatku hanya diam dan berpikir."Baik, Pak. Besok akan kuajak Ibu dan Mila juga," jawabku.Semua bahan dagangan sudah matang, tinggal memindahkan ke warung untuk dijual. Bapak melarangku bekerja hari ini dan menyuruhku untuk istirahat saja. Semua tugas di warung akan digantikan Mila dan Ibu Mertua, sementara aku libur berjualan dan hanya mengurus Abiyyu sa
"Apa kamu ingat sehari sebelum kamu membuka warung, waktu itu kita sama-sama menghadiri pengajian di rumah Bu Rosmayanti pemilik toko emas di pasar itu?" tanya Bu RT, dengan suara yang masih saja lemah.Ingatanku pun kembali ke hari itu, kira-kira dua tahun yang lalu. Memang benar, pada saat itu Bu Rosmayanti rutin menggelar pengajian tiap hari Jumat sore di rumahnya. Pada saat itu pula hubunganku dengan Bu RT masih baik-baik saja, bahkan kami sering berangkat bareng ke pengajian. Aku belum membuka usaha warung waktu itu."Iya, Bu," jawabku."Apa kita tak saling bertegur sapa waktu itu?" Bu RT kembali bertanya."Masih, kita masih bertegur sapa.""Lalu, sejak kapan kita tak bertegur sapa?""Sejak saya buka warung."Kami saling terdiam begitu aku menjawab pertanyaan itu. Pandang Bu RT beralih ke langit-langit kamar, seakan jauh menerawang ke masa lalu. Ekspresi wajahnya masih saja datar, aku tak bisa membaca apa yang saat ini tengah dia rasakan. Namun, dari helaan napas yang sempat terd
Setelah tiga bulan semenjak kepergian Bu RT, kehidupan di kampung ini terasa hampa. Kami masih merasa kehilangan sosok Ibu Kampung yang sudah bertahun-tahun menjabat itu. Di luar semua catatan hitamnya selama menjabat dan sebagai warga biasa, banyak jasa-jasa yang telah dia sumbangkan bagi kampung ini.Sayang sekali, hanya sedikit yang mengingat kebaikannya. Sementara sebagian besar warga lebih banyak mengingat emua hal buruk yang telah Bu RT lakukan. Kondisi keluarga Bu RT pun cukup memprihatinkan. Anaknya—Zaki—kembali masuk bui karena kasus narkoba, adiknya—Ayu—jadi buronan polisi karena Pak RT melaporkannya atas kasus pencurian uang milik keluarga besar. Ya, seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, bahwa Ayu membawa kabur uang keluarga.Sementara Pak RT, kini hidup sebatang kara. Dia tinggal sendiri di rumah besarnya yang mulai kumuh karena tak terawat. Kondisi Pak RT pun cukup memprihatinkan, badannya kurus kering dan terlihat sangat kesepian. Bapak mertuaku rutin mengunjungi P
"Oh iya, Mbak Murni. Saya belum memperkenalkan diri," lanjut Pak Hendar.Kami duduk berhadapan, aku di dalam warung sedangankan Pak Hendar di depan warung. Dia memperkenalkan dirinya sebagai seorang pebisnis di desanya."Usaha saya di bidang kerajinan tangan. Belum maju, karena masih merintis. Tapi sejauh ini saya bisa menjangkau pasar mancanegara. Setiap ada wisatawan asing, ada saja yang pesan boboko, ayakan, aseupan, dan lainnya perabot rumah tangga terbuat dari anyaman bambu," jelas Pak Hendar.Aku tertarik mendengar ceritanya. Pak Hendar rupanya seorang pengusaha juga. "Jadi, Bapak membuat perabotan dari anyaman bambu? Bagus, Pak. Zaman sekarang, perabotan tradisional seperti itu sudah jarang dipakai orang bahkan oleh warga kampung sendiri. Tapi, Bapak malah berhasil menjualnya ke turis asing," responku."Sebenarnya saya membuat kerajinan sesuai pesanan saja. Jadi, tidak khusus membuat kerajinan perabot dari anyaman bambu saja. Hanya, sejauh ini permintaan yang datang cuma itu.
"Lusa, Mas. Tanggal 9.""Berarti hari Minggu? Kalau begitu, kebetulan sekali Mila libur mengajar. Dia bisa menjaga warung dan Abiyyu biar dia sama Mas saja. Mas juga santai hari Minggu, karena libur produksi dan waktunya jaga warung oleh-oleh saja," usul Mas Dasep. "Jadi, kamu bisa berangkat ke penyuluhan. Pompakan saja ASI untuk bekal Abiyyu.""Baik, Mas. Kalau begitu, Mas langsung telepon Pak Hendar. Beri jawabannya."Mas Dasep langsung mengeluarkan ponselnya fan segera menghubungi Pak Hendar. Suamiku itu mengabarkan kebersediaanku menjadi pembicara di acara penyuluhan lusa. Selain itu, Mas Dasep juga negosiasi jadwal kegiatan karena harus menyesuaikan dengan kesibukanku di rumah. Mas Dasep meminta hari Minggu untuk setiap kegiatan Pak Hendar yang perlu melibatkanku."Baik, Mas Dasep. Kebetulan memang saya acaranya setiap hari Minggu. Karena hari Senin-Sabtu saya harus mengerjakan pesanan," jawab Pak Hendar dari telepon. Mas Dasep mengeraskan speaker handphone nya, jadi aku pun dapa