Share

Bab 05. Harta Pribadi

Jeta berusaha menepis tangan besar tetapi halus yang menangkup lengan tangannya. Sama sekali tidak melonggar yang justru terasa kian menarik. Seperti medan magnet dengan dua kutub beradu yang kuat. Atau justru Jeta yang sekadar setengah hati saja berontak?

Resah sendiri andai luluh dan tak mampu menolak. Teringat dirinya yang tak kuasa marah saat lelaki terhormat itu mencium dengan lembut tiba-tiba. Saat merayakan ulang tahunnya di puncak sesaat sebelum musibah. Membuat Jeta merasa tercengang sekaligus melayang. Kini panik andai hal itu kembali terulang.

"Nona Jeta!" Suara panggilan lelaki dari belakang menahan Azrul dari menutup pintu.

"Siapa?!" Azrul bertanya lirih dengan nada menghardik di sela riuh hujan. Tidak mengenali lelaki itu, bukan juga orang-orangnya dari Jawa.

"Maaf, saya ingin menjemput Nona Jeta. Ini sudah saatnya meninggalkan negeri Sabah." Lelaki itu menjawab dengan khidmat dan tegas.

"Oh, iya, aku mengerti!" Jeta berseru menyela. Memanfaatkan peluang di depan mata. Meski rasa hati ingin bersama kekasih. Apa daya, dirinya pun takut terbawa suasana. Juga resah andai ancaman lelaki aneh itu dibuktikan dan mencoreng nama baik seorang Azrul Farhan yang mulia.

Jeta tidak menyahut saat Azrul berkata akan menunggu dan menemuinya di Jawa. Juga terlihat kesal sebab Jeta lebih memilih percaya pada anggota penyelamat daripada dirinya.

Bukan pergi ke penginapan yang ditinggali, tetapi sebuah mobil telah menunggu di luar pagar penginapan Azrul. Jeta langsung dimasukkan ke dalam oleh lelaki yang menjemput dengan payung lebar tadi.

Jeta mendapati lelaki aneh yang misterius alias Mr. Batam, telah duduk di dalam dengan pandangan tajam padanya. Meskipun kini terlihat jauh lebih tampan menawan dengan jas dan dasi di badan, tetap saja menakutkan bagi Jeta.

"Kita ke mana? Baju-bajuku dan bajumu itu masih di kamar penginapan," ucap Jeta saat menyadari bahwa mereka menjauhi arah penginapan. Sedang lelaki penjemput berpayung lebar terlihat menjauh pergi setelah menerima lembaran uang dari lelaki penyelamat yang duduk di depan bersama sopir muda.

"Semua sudah di ransel," sahut lelaki itu dari depan.

Jeta pun membungkam. Sedang kunci kamar juga masih di tangannya. Bisa jadi lelaki itu telah keluar uang lagi untuk menebus kunci kamar. Merasa kian tebal saja kesalahan. Yang mungkin lelaki itu semakin mendendam.

"Apakah benar ini akan ke Pulau Batam?"

Jeta bertanya takjub saat seorang pilot heli melambai pada si Mr. Batam. Sopir telah membawa mobil berhenti di padang lapang yang luas. Sebuah bangunan teras yang kokoh adalah tempat mereka bernaung. Tampak jauh di ujung sana, hamparan air yang mungkin adalah selat dan tanah yang mereka pijak adalah tanjung.

"Benar. Sebentar lagi hujan akan reda dan kamu akan terbang. Tetapi tidak langsung ke Batam, kita mendarat di Riau kepulauan," jawab lelaki itu setelah menatap dingin pada Jeta. Terus menatap tajam hingga Jeta menunduk dengan resah dan bungkam.

"Aku tidak mengatakan apa-apa pada siapa pun. Aku juga berniat segera kembali ke penginapan. Tidak ingin lama-lama di sana," ucap Jeta tersendat dan tegang. Menjelaskan sendiri tanpa diminta sebab perasaan gelisah dan gentar.

"Terserah, Jeta. Aku hanya perlu menambahkan daftar pelanggaranmu barusan. Kau akan masuk ke dalam kamarnya," tukas lelaki itu dengan membuang wajah ke arah helikopter. Hujan perlahan reda. Sebentar lagi akan kehilangan rintiknya.

"Kamu memata-mataiku …!" Jeta bersungut keras sambil berjalan. Mengikuti si lelaki yang sudah berjalan ke depan bersama carrier menempel di punggung tegapnya. Menuju helikopter.

"Berterima kasih saja padaku. Jika tidak, mungkin sekarang tubuh kamu itu sudah tidak lagi berbaju!" Lelaki itu berbicara sambil terus berjalan.

Kemudian berhenti di kaki tangga helikopter, memandang Jeta agar naik dulu ke dalam badan heli. Gadis itu segara menuruti tanpa bantah dan melewati dengan melenggang kangkung. Tidak ada apa pun yang membebani badan dan kedua tangan. Meniti tangga begitu saja dengan sangat mudah.

"Sebenarnya, apa kerjamu?! Siapa kamu ini, tidak mungkin hanya sekadar anggota SAR saja, kan?!" Jeta memecah bisu dengan suara keras yang bersaing dengan keributan baling heli.

"Cukup amati saja, Jeta! Jangan tanya-tanya!" Lelaki di sampingnya itu juga menyahut sangat keras. Sopir muda yang manis tadi juga ikut serta. Terlihat rapi dan keren. Kian yakin jika Mr. Batam bukan seorang tim selamat.

Jeta pun coba bungkam dan menahan diri. Memilih menikmati penerbangan dengan helikopter dan merupakan pengalaman yang pertama. Menekan rasa kesal jauh ke dalam jurang hati. Hanya menatap muak pada lelaki tampan yang sungguh pelit menjawab yang diibarat bagai teroris.

Jeta terkejut, heli terasa oleng tiba-tiba. Rupanya akan segera mendarat. Mereka sebentar lagi akan sampai pada salah satu pulau di kepulauan Riau.

Kian lama kian berguncang dan Jeta memejam rapat matanya. Nafas kian sesak saat telapak tangan menggenggam lengan di bahu. Ternyata lelaki itu mencoba membantunya bertenang.

"Kencangkan seat belt. Sebentar lagi mendarat dan mungkin keras berguncang. Di bawah hujan deras." Lelaki itu bicara tidak keras, suasana tegang membuat pendengaran menajam. Juga mulutnya lebih mendekat pada Jeta.

Jeta teleh merapatkan sabuk pengaman. Tepat dengan guncangan heli yang jauh terasa lebih keras tiba-tiba. Seketika disembunyikan kepala ke arah lelaki di samping dengan tangan mencengkeram pundaknya.

"Maaf, aku sangat terkejut. Keras sekali guncangan ini," keluh Jeta kikuk setelah menjauhkan diri ke posisinya kembali.

"Tidak masalah. Masih bagus kamu tidak minta kupangku. Hanya pernah merengek minta digendong," ujar lelaki itu santai tetapi dingin. Guncangan berhenti dan lelaki itu sudah melepas sabuk pengaman. Sama hal dengan sopir muda di sebelah.

"Sudah tugasmu menyelamatkan. Lagipula kenapa membawaku ke jalur yang penuh lintah?!" Jeta bertanya keras, berusaha meralat.

Merasa tidak nyaman jika proses penyelamatan saat turun dari Gunung Kinabalu kembali diungkit. Yang dirinya pernah memohon hingga menangis untuk diangkat saat mereka akan menyeberangi sungai kecil yang penuh dengan lintah.

"Lain kali jika akan menjelajah ke alam mana pun, belilah obat anti parasit," ucap lelaki itu sambil menyorong dagu ke arah pintu. Mereka benar-benar sudah mendarat. Jeta pun segera mengeluarkan diri dari heli melewatinya.

"Naiklah," ucap lelaki itu.

Mereka sudah berpijak kaki di tanah. Heli pun sudah terbang menjauh. Jeta dibawa menghampiri sebuah mobil.

"Ini … ini … aku mau ke mana lagi?!" Jeta panik saat pintu mobil sudah dihempaskan. Namun, lelaki itu masih di luar dengan tas carrier kembali menempel di punggung.

"Hubungi keluarga serta kawan-kawanmu bahwa kamu selamat. Ini milikmu," lelaki itu berbicara sambil mengulur sebuah tas cantik yang dia keuarkan dari carrier.

"Aku mau dibawa ke mana?! Kamu kenapa tidak naik?!" Jeta kembali berseru panik dari kaca pintu yang tidak merapat. Mobil telah meluncur meninggalkan lelaki itu hingga tidak lagi terlihat.

"Kamu akan membawaku ke mana?" Jeta bertanya pada sopir.

"Saya diminta mengantar Anda ke sebuah alamat. Namun, perjalanan masih sangat jauh. Anda akan menginap lagi di satu tempat. Tenang saja, Anda akan selalu selamat. Buka saja tas itu, Nona," ucap sang sopir muda dengan hangat.

Jeta tercengang luar biasa. Semua harta benda miliknya ada dalam tas yang diberikan Mr. Batam. Bahkan juga ponsel, dokumen dan identitas, semua ada di sana. Itu adalah asli miliknya dan bukan baru. Andai mengurus lagi pun, tidak akan dapat terganti secepat itu.

Jeta benar-benar merasa dipermainkan sekaligus sangat heran. Sedang tenda miliknya, dia lihat dengan mata kepala sendiri bergeser dan terkubur tanah amat cepat. Tidak ada seorang pun berani mendekat. Bagaimana lelaki itu bisa menyimpan seluruh barang pentingnya?

🙏🍎🙏

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status