Laura dan Chelsea sama-sama tersentak, mendengar Christian meninggikan suara secara tiba-tiba.
Terlebih, Laura. Wanita itu langsung mundur dengan tatapan tak percaya. Ini bukan bentakan pertama yang dia terima dari Christian. Sejak awal pernikahan, dirinya sudah mendapat perlakuan tak baik seperti itu. Namun, seiring berjalannya waktu, Laura tak lagi menerima tindakan atau kata-kata buruk. Dia justru merasa bahwa Christian mulai berubah, meskipun tak pernah menyatakan cinta secara gamblang.
Laura membalikkan badan. Dia melangkah gontai meninggalkan ruang makan. Laura langsung kembali ke kamar, lalu masuk ke kamar mandi. Setelah menanggalkan seluruh pakaian, wanita cantik berperawakan semampai itu berdiri di bawah shower.
Lagi. Hati Laura kembali tersakiti. Dia yang
Laura menghadapkan tubuh ke jalan. Dia mencari taksi yang bisa mengantar ke Cotswolds. Akan tetapi, yang berhenti di hadapannya justru kendaraan lain. “Ya, Tuhan,” gumam Laura dalam hati. “Nyonya Lynch,” sapa si pemilik kendaraan yang tak lain adalah Lewis. “Kenapa Anda senang sekali —”‘Kuharap Anda bukan seorang penguntit, Tuan Bellingham,” sela Laura.Lewis yang sudah berdiri di hadapan Laura, menatap heran. Pria tampan itu menautkan alis karen tak mengerti. “Maksud Anda?” tanyanya. “Kenapa Anda selalu muncul di hadapanku?” Laura tampak begitu resah. Dia tak mampu menyembunyikan perasaannya. “Apa yang terjadi?” Lewis mengabaikan pertanyaan Laura. Dia lebih fokus pada ekspresi yang diperlihatkan wanita itu. Tanpa berpikir panjang, Lewis segera membukakan pintu mobil. “Masuklah dulu.”“Tidak,” tolak Laura, seraya bergerak mundur. “Tidak apa-apa, Nyonya. Masuklah. Tak baik berada di luar dalam cuaca seperti ini,” desaknya. Dia memberi isyarat, agar Laura menuruti ucapannya. Terleb
Selagi Laura tengah menikmati waktu dengan ratusan buku dalam rak khusus, Christian justru dilanda kegalauan luar biasa. Dia tak mengurung diri di kamar, tapi tetap membawa kegundahan ke ruang kerja. Alhasil, seluruh berkas yang seharusnya diselesaikan dalam waktu cepat jadi terbengkalaiChristian tak dapat berkonsentrasi. Pertengkaran dengan Laura pada pagi ini, berhasil membuat perasaan serta pikirannya jadi tak karuan. Belum pernah dirinya begitu kalut, setelah berselisih dengan seorang wanita, bahkan Chelsea sekalipun.“Apa-apaan kau, Laura?” gumam Christian, diiringi gelengan pelan. Dia tak mengerti dengan apa yang terjadi. “Aku tidak peduli padamu atau wanita manapun. Tidak.” Christian kembali menggeleng.Bersamaan dengan itu, terdengar ketukan di pintu. Alfred membukanya, l
Christian melangkah gagah menuju kamar. Dia mengabaikan rasa lapar. Setibanya di ruangan yang dituju, pria itu langsung meraih telepon genggam dari meja sebelah tempat tidur.Setelah membuka layar ponsel, Christian mencari nomor kontak Laura. Sebelum memutuskan menghubungi sang istri, pria tampan tersebut beberapa kali mengembuskan napas berat. Dia seperti ragu untuk sekadar menanyakan keberadaan istrinya.“Ah! Persetan dengan apa pun yang akan kau lakukan, Laura!” Christian meletakkan telepon genggam di kasur. Dia termenung beberapa saat, sebelum mengambil kembali alat komunikasi canggih tadi. Mau tak mau, Christian harus melawan rasa angkuh dalam diri karena penasaran dengan keberadaan Laura.Akhirnya, Christian mengalah. Namun, setelah beberapa detik berlalu, panggilan itu tak tersam
“Ta-tapi —”“Permisi, Tuan. Ada tamu untuk Anda.” Seorang pelayan menyela perbincangan Laura dengan Lewis. Lewis menoleh. Dia tak bertanya, berhubung sudah tahu siapa tamu yang datang malam itu. “Terima kasih. Kau boleh kembali.” Sepeninggal pelayan, Lewis kembali mengalihkan perhatian pada Laura. “Jangan keluar dari kamar. Aku akan menemui Tuan Lynch dulu,” pesannya. Pria tampan itu menatap sejenak, lalu tersenyum hangat. Tanpa banyak bicara, dia berlalu dari hadapan wanita cantik berambut pirang itu. Laura terus memperhatikan Lewis yang terus berjalan menjauh, hingga tak terlihat lagi. Dia ingat dengan pesan Lewis, yang mengatakan agar jangan keluar kamar. Namun, seperti ada dorongan kuat dalam diri wanita cantik dua puluh tiga tahun itu. Menggerakkan kakinya perlahan keluar dari kamar, hingga tiba di ujung koridor. Laura bersembunyi di balik dinding penyekat ruangan. Dari sana, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun, tak terlihat sosok Lewis ataupun Christian. “Mereka t
Christian tersenyum simpul. “Apakah karena itu Anda mengirimkan buku pada pagi-pagi buta untuk istriku?” Pertanyaan yang dilayangkan Christian terdengar santai, tetapi menghujam langsung ke jantung Lewis. Membuat ekspresi pengusaha retail dan smartphone tersebut langsung berubah.Namun, Lewis pintar menguasai diri. Pria tampan berambut cokelat tembaga itu menanggapi dengan senyum kalem. “Saat bangun tidur, aku langsung teringat pada buku-buku yang disukai Nyonya Lynch. Daripada lupa, lebih baik segera kukirimkan. Semoga istri Anda menyukainya.”“Laura pasti suka. Jangan khawatir,” ucap Christian berusaha tetap terlihat tenang. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. “Boleh kutahu ada berapa kamar di sini?” tanyanya.“Satu kamar utama dan delapa
Laura terperanjat mendengar penawaran dari Lewis. “Aku sudah menikah,” ucap wanita itu pelan, diiringi tatapan tak mengerti.“Tentu. Namun, tak ada salahnya hanya menerima undangan makan malam. Lagi pula, kurasa Tuan Lynch tidak akan keberatan.” Lewis membalas tatapan Laura, dengan sorot penuh cinta.“Bagaimana Anda bisa berpikir demikian?”Lewis tidak segera menjawab. Dia tersenyum kalem. Setelah beberapa saat, barulah dirinya berkata, “Aku seorang pria, Nyonya. Aku bisa menelaah sikap pria lain dari bahasa tubuhnya. Apa yang kulihat dari Tuan Lynch, sepertinya tak jauh dari yang ada dalam pikiranku. Jawaban lebih pasti, ada dalam hati Anda. Hati tak pernah bohong, meskipun Anda tak ingin mengakui.”
“Chelsea?” Christian menaikkan sebelah alis. “Ya. Dia sedang mengandung darah dagingmu. Wajar jika kau akan lebih memprioritaskan wanita itu dan … ya, kalian adalah sepasang kekasih.” Laura segera mengambil dress yang sudah disiapkan tadi, lalu memakainya. Dia bergegas keluar dari walk in closet, meninggalkan Christian yang masih terpaku. Christian mengembuskan napas dalam-dalam. Dia mengepalkan tangan, menahan rasa berkecamuk dalam dada. Ada sebuah ganjalan di hatinya. Namun, pria itu tak tahu dan tak bisa mencerna dengan jelas. Tak ingin larut dalam kegalauan seorang diri, Christian mengikuti Laura keluar dari walk in closet, bersamaan dengan sang istri yang baru muncul dari kamar mandi. Christian langsung meraih lengan Laura. Menariknya cukup kencang, hingga wanita cantik itu membalikkan badan. “Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Di mana dirimu tidur semalam?” Christian bertanya dengan penuh penekanan, sambil mencengkram erat lengan sang istri. “Lepas, Christian. Kau menyak
Laura berjalan sambil mengendap-endap menyusuri koridor, hingga tiba di salah satu ruangan. Dia melihat sekeliling, memastikan tak ada siapa pun yang melihatnya. Wanita itu lupa bahwa di sudut ruangan tadi terpasang kamera pengawas, yang siap mengintai setiap pergerakan.Merasa situasi aman, Laura melanjutkan langkah ke pintu depan. Kali ini dia berjalan dengan tergesa-gesa menuju pintu gerbang samping, yang dikhususkan untuk orang. Dia berusaha membuka, tetapi pagar besi berukuran tidak terlalu lebar itu dalam kondisi terkunci.Laura sempat berpikir sejenak. Dia tak mungkin meminta penjaga keamanan membukakan kunci. Walaupun sejak tadi pergerakannya tertangkap kamera pengawas, setidaknya bukan mata manusia secara langsung yang menyaksikan.“Oh, astaga.” Laura mengeluh pelan. Dia mendongak. P