Christian tersenyum simpul. “Apakah karena itu Anda mengirimkan buku pada pagi-pagi buta untuk istriku?” Pertanyaan yang dilayangkan Christian terdengar santai, tetapi menghujam langsung ke jantung Lewis. Membuat ekspresi pengusaha retail dan smartphone tersebut langsung berubah.Namun, Lewis pintar menguasai diri. Pria tampan berambut cokelat tembaga itu menanggapi dengan senyum kalem. “Saat bangun tidur, aku langsung teringat pada buku-buku yang disukai Nyonya Lynch. Daripada lupa, lebih baik segera kukirimkan. Semoga istri Anda menyukainya.”“Laura pasti suka. Jangan khawatir,” ucap Christian berusaha tetap terlihat tenang. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. “Boleh kutahu ada berapa kamar di sini?” tanyanya.“Satu kamar utama dan delapa
Laura terperanjat mendengar penawaran dari Lewis. “Aku sudah menikah,” ucap wanita itu pelan, diiringi tatapan tak mengerti.“Tentu. Namun, tak ada salahnya hanya menerima undangan makan malam. Lagi pula, kurasa Tuan Lynch tidak akan keberatan.” Lewis membalas tatapan Laura, dengan sorot penuh cinta.“Bagaimana Anda bisa berpikir demikian?”Lewis tidak segera menjawab. Dia tersenyum kalem. Setelah beberapa saat, barulah dirinya berkata, “Aku seorang pria, Nyonya. Aku bisa menelaah sikap pria lain dari bahasa tubuhnya. Apa yang kulihat dari Tuan Lynch, sepertinya tak jauh dari yang ada dalam pikiranku. Jawaban lebih pasti, ada dalam hati Anda. Hati tak pernah bohong, meskipun Anda tak ingin mengakui.”
“Chelsea?” Christian menaikkan sebelah alis. “Ya. Dia sedang mengandung darah dagingmu. Wajar jika kau akan lebih memprioritaskan wanita itu dan … ya, kalian adalah sepasang kekasih.” Laura segera mengambil dress yang sudah disiapkan tadi, lalu memakainya. Dia bergegas keluar dari walk in closet, meninggalkan Christian yang masih terpaku. Christian mengembuskan napas dalam-dalam. Dia mengepalkan tangan, menahan rasa berkecamuk dalam dada. Ada sebuah ganjalan di hatinya. Namun, pria itu tak tahu dan tak bisa mencerna dengan jelas. Tak ingin larut dalam kegalauan seorang diri, Christian mengikuti Laura keluar dari walk in closet, bersamaan dengan sang istri yang baru muncul dari kamar mandi. Christian langsung meraih lengan Laura. Menariknya cukup kencang, hingga wanita cantik itu membalikkan badan. “Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Di mana dirimu tidur semalam?” Christian bertanya dengan penuh penekanan, sambil mencengkram erat lengan sang istri. “Lepas, Christian. Kau menyak
Laura berjalan sambil mengendap-endap menyusuri koridor, hingga tiba di salah satu ruangan. Dia melihat sekeliling, memastikan tak ada siapa pun yang melihatnya. Wanita itu lupa bahwa di sudut ruangan tadi terpasang kamera pengawas, yang siap mengintai setiap pergerakan.Merasa situasi aman, Laura melanjutkan langkah ke pintu depan. Kali ini dia berjalan dengan tergesa-gesa menuju pintu gerbang samping, yang dikhususkan untuk orang. Dia berusaha membuka, tetapi pagar besi berukuran tidak terlalu lebar itu dalam kondisi terkunci.Laura sempat berpikir sejenak. Dia tak mungkin meminta penjaga keamanan membukakan kunci. Walaupun sejak tadi pergerakannya tertangkap kamera pengawas, setidaknya bukan mata manusia secara langsung yang menyaksikan.“Oh, astaga.” Laura mengeluh pelan. Dia mendongak. P
“Tentang apa?” tanya Henry penasaran. “Aku tidak berwenang memberitahukan itu padamu. Kau bermain api dengan saudara kembarku. Kelakuan laknat kalian telah membuat hidup banyak orang jadi hancur dan … betapa bodohnya dirimu,” cerca Laura. Henry terdiam menatap wanita cantik berambut pirang itu. Seseorang yang sangat mirip dengan wanita dari masa lalunya. Namun, secara karakter terasa begitu berbeda. “Kau sudah diberi kesempatan menikahi adik dari pengusaha besar dengan kekayaan melimpah. Harga dirimu terangkat karenanya. Namun, kau terlalu serakah dan tak tahu diri! Lihatlah nasibmu sekarang! Kau memang pantas menjadi gelandangan —”“Tutup mulutmu!” Henry mengangkat tangan, bermaksud hendak menampar Laura. Namun, gerak pria itu tertahan oleh seseorang yang memegangi pergelangannya dari belakang. Henry bahkan memekik cukup nyaring sehingga mengundang perhatian beberapa orang yang melintas di dekat mereka. “Akhirnya, kau kutemukan juga,” ucap seorang pria yang tak lain adalah Christ
Laura terus berjalan menyusuri trotoar, dalam cuaca yang terasa makin menusuk. Dia tak tahu akan tidur di mana malam ini. Padahal, suasana sudah beranjak sepi. Hanya ada satu, dua orang yang masih berkeliaran di jalan. “Ya, Tuhan,” ucap Laura lirih. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Laura sudah merasa lelah. Kakinya terasa pegal. Begitu pula dengan telapak tangan yang kedinginan, meskipun dimasukkan ke saku mantel. Embusan napas pelan meluncur dari bibir wanita dua puluh tiga tahun itu. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya, berada di luar dalam waktu selarut seperti sekarang. Laura merasa takut. Dia sadar betul bahwa dunia malam jauh lebih berbahaya. Terlebih, bagi dirinya yang tak terbiasa. Berhubung sudah terlalu lelah, Laura memutuskan duduk di tangga sebuah bangunan beberapa lantai, sambil memeluk tubuh sendiri. Entah akan aman atau tidak dengan berada di sana, tetapi Laura tak memiliki pilihan. Dia bersandar pada pegangan besi pinggiran undakan anak tangga, menuju pin
Laura meletakkan sendok dan garpu di piring yang sudah kosong. Wanita itu terdiam sejenak, sebelum tersenyum pada Kenneth. “Aku hanya sedang mengalami hari yang buruk,” jawabnya, berusaha terlihat tenang.“Apa kau melarikan diri dari rumah?” tanya Kenneth santai.“Anggap saja begitu,” jawab Laura enteng. Dia berdiri, lalu membawa peralatan makan yang kotor ke dekat bak pencuci piring. Tanpa sungkan, wanita berambut pirang itu membersihkannya.Sementara Kenneth berdiri memperhatikan.“Omong-omong, terima kasih untuk makanan tadi. Rasanya sungguh luar biasa. Aku benar-benar tulus mengatakan itu.” Laura tersenyum hangat dan akrab, sambil mengeringkan tangan.K
Henry menghadapkan wajahnya kembali pada Christian. Pria tampan dengan usia beberapa tahun lebih muda dari suami Laura tersebut, melayangkan tatapan protes. “Kematian Maria?” ulangnya ragu. “Ya. Adikku yang tewas bunuh diri.” Christian menatap intens mantan adik iparnya. Apa yang dia lakukan, berhasil membuat Henry merasa terintimidasi. Pria itu makin salah tingkah. “Kenapa? Ada apa dengan kematian Maria?” tanya Henry, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang tetap terlihat jelas oleh Christian. “Maria mati bunuh diri. Adikmu melakukan itu atas kesadarannya. Jadi, kenapa kau harus berpikir macam-macam tentang diriku?” Henry menggerutu pelan karena tak ingin Christian sampai mendengarnya. “Apa aku berpikir macam-macam tentang dirimu? Memangnya apa yang kukatakan tadi?” Christian menaikkan sebelah alis, dengan bahasa tubuh serta tatapan yang mengintimidasi Henry tanpa henti. Henry seakan terjebak oleh kata-katanya. Kegugupan pria itu kian menjadi. Namun, mantan suami Maria tersebut be