Laura meletakkan sendok dan garpu di piring yang sudah kosong. Wanita itu terdiam sejenak, sebelum tersenyum pada Kenneth. “Aku hanya sedang mengalami hari yang buruk,” jawabnya, berusaha terlihat tenang.“Apa kau melarikan diri dari rumah?” tanya Kenneth santai.“Anggap saja begitu,” jawab Laura enteng. Dia berdiri, lalu membawa peralatan makan yang kotor ke dekat bak pencuci piring. Tanpa sungkan, wanita berambut pirang itu membersihkannya.Sementara Kenneth berdiri memperhatikan.“Omong-omong, terima kasih untuk makanan tadi. Rasanya sungguh luar biasa. Aku benar-benar tulus mengatakan itu.” Laura tersenyum hangat dan akrab, sambil mengeringkan tangan.K
Henry menghadapkan wajahnya kembali pada Christian. Pria tampan dengan usia beberapa tahun lebih muda dari suami Laura tersebut, melayangkan tatapan protes. “Kematian Maria?” ulangnya ragu. “Ya. Adikku yang tewas bunuh diri.” Christian menatap intens mantan adik iparnya. Apa yang dia lakukan, berhasil membuat Henry merasa terintimidasi. Pria itu makin salah tingkah. “Kenapa? Ada apa dengan kematian Maria?” tanya Henry, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang tetap terlihat jelas oleh Christian. “Maria mati bunuh diri. Adikmu melakukan itu atas kesadarannya. Jadi, kenapa kau harus berpikir macam-macam tentang diriku?” Henry menggerutu pelan karena tak ingin Christian sampai mendengarnya. “Apa aku berpikir macam-macam tentang dirimu? Memangnya apa yang kukatakan tadi?” Christian menaikkan sebelah alis, dengan bahasa tubuh serta tatapan yang mengintimidasi Henry tanpa henti. Henry seakan terjebak oleh kata-katanya. Kegugupan pria itu kian menjadi. Namun, mantan suami Maria tersebut be
Tubuh Henry seketika membeku, mendengar ucapan Christian tadi. Tatapan pria itu tak dapat diartikan. Dia sadar tidak mungkin mengelak lagi dari apa yang dituduhkan mantan kakak iparnya. Henry tertunduk lesu. Keluhan pelan meluncur, seiring dengan pikirannya yang tiba-tiba kacau.“Apa pembelaanmu kali ini?” Nada pertanyaan Christian terdengar penuh penekanan.“Aku tidak akan membela diri karena memang datang ke sana,” jawab Henry pelan.“Kau datang bersamaan dengan Maria yang menggantung diri di kamarnya,” ucap Christian lagi. “Andai saja Delila mengatakan itu pada hari kejadian, aku pasti tak akan membiarkanmu pergi dan menghilang. Beruntung sekarang kau kutemukan lagi.”“Apa yang akan kau lakukan? Menjebloskanku ke penjara?” tantang Henry sok berani. Padahal, dalam hati ada rasa waswas luar biasa.Christian tak langsung menjawab. Dia menatap tajam mantan suami mediang ad
Chelsea duduk tenang di sebelah Christian. Dia bersikap seolah sudah menjadi nyonya besar. Chelsea tak mengatakan apa pun, selain menatap Henry.Christian menoleh sekilas, lalu kembali mengarahkan perhatian pada kedua polisi yang telah siap membawa Henry. “Aku masih punya banyak urusan. Bisakah agar tidak bertele-tele?” Ucapan itu ditujukan kepada mantan adik iparnya, yang hanya diam dengan wajah tertunduk. “Mari ikut kami.” Kedua petugas polisi tadi berdiri. Mereka menunggu Henry yang masih terdiam membisu.“Apa kau dengar itu, Henry?” Christian menatap tajam mantan adik iparnya. Tanpa banyak bicara dan masih menundukkan wajah, Henry beranjak dari duduk. Dia melangkah keluar bersama dua petugas polisi tadi. Sementara Christian dan Chelsea memperhatikan dari teras, ketika mantan suami Maria tersebut dimasukkan ke mobil. “Kami akan segera melakukan penyelidikan dan memberi kabar, untuk setiap perkembangan yang diperoleh kepada Anda,” ucap salah seorang petugas, sebelum menyalami Chr
Beberapa hari telah berlalu. Henry menjalani pemeriksaan secara intens. Para petugas yang menangani kasus itu juga terus mendalami hasil penyelidikan sementara. Namun, sayang sekali mantan adik ipar Christian tersebut belum bersedia buka suara secara gamblang. Entah apa atau siapa yang berusaha dia sembunyikan dan lindungi dari jerat hukum. Sementara itu, Laura masih berada di flat milik Kenneth. Makin lama, wanita cantik tersebut merasa tak enak karena terus menggantungkan hidup dari orang lain. “Aku sudah bertanya pada beberapa teman. Namun, belum ada lowongan pekerjaan yang cocok untukmu,” ujar Kenneth, sambil menikmati menu sarapan buatan Laura. “Lama-kelamaan, aku merasa tak enak karena tinggal di sini dengan cuma-cuma.” “Itu tidak jadi masalah untukku. Aku hanya takut kau merasa bosan karena di rumah sepanjang hari.”Laura meneguk minuman, sebelum menanggapi ucapan Kenneth. “Aku pernah menjalani hari-hari seperti ini,” ujar wanita itu pelan. Ingatannya kembali pada beberapa
Tak berbeda dengan pria itu, Laura pun sama terkejut. Sepasang mata biru wanita cantik tersebut seakan berbicara dan memberi isyarat, pada si pria yang tak lain adalah Lewis Bellingham.“Bagaimana tadi?” tanya pria yang menjadi lawan bicara Lewis, berhubung perbincangan mereka harus terjeda karena kehadiran Laura yang menyuguhkan minuman.Lewis tersadar. Dia yang awalnya menoleh mengikuti langkah kecil Laura kembali ke bar counter, terpaksa mengalihkan perhatian pada pria di hadapannya. “Ah, maaf,” ucap Lewis, diiringi senyum kikuk.Pria yang menjadi lawan bicara Lewis tersenyum, seraya mengarahkan pandangan ke bar counter, di mana Laura tengah berdiri. “Wanita berambut pirang memang selalu terlihat menawan. Benar, kan?” candanya. Sebagai sesama
Laura memaksakan diri berjalan meniti undakan anak tangga, lalu masuk ke bangunan beberapa lantai yang menjadi tempatnya bernaung dalam beberapa hari terakhir. Meskipun tak kuat menahan pusing, tetapi dia tetap berusaha naik ke lantai dua. Setelah tiba di depan pintu flat yang ditempati Kenneth, wanita itu segera membuka kunci. Dia bergegas masuk, lalu mengempaskan tubuh ke sofa.Laura tak kuat berjalan sampai ke kamar. Dia bahkan tidak melepas mantel serta sepatu. Tas pun diletakkan begitu saja di lantai. Laura memejamkan mata, demi menghalau rasa pusing yang membuat kepalanya seperti berputar kencang. Tak berselang lama, wanita cantik itu tertidur tanpa meminum obat terlebih dulu.Beberapa jam berlalu. Kenneth telah kembali dari tempat kerja. Dia heran karena pintu flatnya dalam keadaan tidak terkunci. Kenneth langsung masuk. Pria tampan itu terke
Seseorang berperawakan tinggi tegap serta berpenampilan semi formal mendekat ke ambang pintu. Pria tampan rambut cokelat tembaga dengan raut wajah yang terlihat ramah itu berdiri di sebelah Nyonya Collins. Dia melihat ke dalam flat sederhana yang ditempati Kenneth. “Laura!” panggil pria yang tak lain adalah Lewis Bellingham.Laura terkejut bukan main, mendapati kolega bisnis sang suami ada di sana. Dia yang baru selesai minum obat, memaksakan bangkit dari tempat duduk. “Tuan Bellingham?” sebutnya pelan.Namun, seperti ada gelombang kuat yang menyampaikan suara pelan Laura ke telinga Lewis. “Syukurlah. Akhirnya aku menemukanmu.” Senyum kalem mengiringi tatapan penuh cinta yang dilayangkan Lewis terhadap Laura.Sementara Laura hanya berdiri terpaku dengan sorot tak