“Tidak usah, Tuan. Aku tidak ingin merepotkan. Anda sudah memberiku terlalu banyak sore ini,” tolak Laura halus. Dia meraih tas, lalu mengangguk samar sebagai tanda pamit. “Terima kasih untuk semuanya.” Setelah berkata demikian, wanita cantik itu berlalu dari hadapan Lewis. Laura melangkah anggun diiringi tatapan sang pengusaha.
Tak ingin terlihat bodoh, Lewis bergegas menyusul Laura. “Nyonya Lynch!” panggilnya tidak terlalu nyaring.
Laura yang sudah keluar dari cafetaria, langsung menoleh. Namun, dia tak menyahut.
“Biar kuantar. Tidak apa-apa. Aku tidak merasa direpotkan,” bujuk Lewis, dengan sikap yang tidak terlihat berlebihan. Namun, sorot matanya menyiratkan harapan besar, agar Laura menerima ajakannya.
“Kenapa kau senang sekali memancingku dengan pertanyaan seperti itu?” Christian mengembuskan napas berat, lalu menyimpan ponsel di saku kemeja. Sepertinya, pria itu terganggu dengan pertanyaan yang diajukan Laura. “Aku hanya ingin tahu karena kau tak pernah menunjukkan secara langsung. Kau mengatakan bahwa hubungan kita mulai membaik. Aku tidak tahu hubungan mana dan seperti apa yang dimaksud.” “Ayolah, Laura. Untuk apa membahas sesuatu yang tidak penting seperti ini?” protes Christian. Dia menghindari kontak mata secara langsung dengan sang istri, yang terus menghujamkan tatapan tajam. “Apakah tidak ada pembahasan lain?” gumam sang pengusaha muda tersebut, tak habis pikir. “Pembahasan lain?” ulang Laura. “Kau suka jika aku bertanya tentang apa saja yang kau lakukan selama seharian ini, dalam merawat dan memberi perhatian lebih pada Chelsea?” Christian tertawa pelan mendengar pertanyan Laura. Dia merasa istrinya kian aneh. Christian tak menjawab. Pria tampan dengan iris gelap te
“Maria adikku. Itu jelas berbeda,” jawab Christian cukup tegas. Dia berusaha tak termakan oleh amarah dalam dada, yang tersulut karena sikap membangkang Laura. “Kau tidak bisa menyamakan seperti apa perasaanku terhadap Maria. Kami tumbuh dan hidup bersama selama bertahun-tahun. Dia sangat istimewa bagiku,” tegas pria itu lagi.“Lalu, apa bedanya? Kebersamaan kita memang baru seumur jagung. Namun, kau sudah mengikatku dengan sumpah di hadapan Tuhan. Walaupun tujuan awalmu adalah membalas sakit hati atas kematian Maria, tetapi kau tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa aku adalah istrimu. Tak bisakah kuminta hakku sebagai Nyonya Lynch?” protes Laura dengan sorot kecewa yang berusaha disembunyikan, meskipun sudah terlambat. Linangan air mata menjadi bukti rasa sakitnya, atas sikap serta pernyataan Christian.&ldquo
Christian menatap lekat sedan hitam yang tak asing lagi baginya, hingga si pemilik kendaraan mewah itu muncul. “Tuan Lynch? Apa ada masalah?” tanya seseorang yang tak lain adalah Lewis. Dia berjalan mendekat ke hadapan Christian dan Laura. “Nyonya Lynch,” sapanya, diiringi senyum kalem menawan penuh makna. Laura membalas senyuman tadi. Tidak ada alasan baginya untuk bersikap tak ramah pada Lewis. Lagi pula, dia yakin itu tak akan membuat Christian cemburu. “Apa kabar, Tuan Bellingham?” Meskipun tak nyaman, tetapi Laura memaksakan diri bersikap hangat pada pengusaha tampan berambut cokelat tembaga tersebut. “Sangat baik, Nyonya.” Lewis terus melayangkan senyumnya. Seperti biasa. Pancaran penuh kekaguman tampak jelas, pada sorot mata pria tiga puluh lima tahun itu. Namun, Lewis segera menguasai diri. Dia tak boleh larut dalam keindahan Laura karena ada Christian di sana. Pengusaha tampan tersebut langsung mengalihkan perhatian. “Kenapa Anda ada di jalanan pada jam seperti ini? Maksud
Christian hendak menanggapi sanjungan Lewis. Namun, hal itu dia urungkan karena Wayne lebih dulu tiba di sana. Pengusaha tampan tiga puluh lima tahun tersebut akhirnya dapat mengembuskan napas lega.“Maaf terlambat, Tuan,” ucap Wayne sopan, setelah berdiri di hadapan sang majikan.“Tidak apa-apa,” balas Christian datar, kemudian mengalihkan perhatian pada Laura. “Ayo, pulang,” ajaknya, seraya meraih tangan sang istri.Laura mengangguk. Sebelum masuk ke mobil, dia sempat berpamitan pada Lewis. “Terima kasih sudah menemani kami di sini, Tuan Bellingham. Terima kasih juga atas undangannya.”“Sama-sana, Nyonya. Kutunggu kedatangan Anda dan Tuan Lynch.” Lagi-lagi, Lewis memperlihatkan senyum k
Laura dan Chelsea sama-sama tersentak, mendengar Christian meninggikan suara secara tiba-tiba. Terlebih, Laura. Wanita itu langsung mundur dengan tatapan tak percaya.Ini bukan bentakan pertama yang dia terima dari Christian. Sejak awal pernikahan, dirinya sudah mendapat perlakuan tak baik seperti itu. Namun, seiring berjalannya waktu, Laura tak lagi menerima tindakan atau kata-kata buruk. Dia justru merasa bahwa Christian mulai berubah, meskipun tak pernah menyatakan cinta secara gamblang.Laura membalikkan badan. Dia melangkah gontai meninggalkan ruang makan. Laura langsung kembali ke kamar, lalu masuk ke kamar mandi. Setelah menanggalkan seluruh pakaian, wanita cantik berperawakan semampai itu berdiri di bawah shower.Lagi. Hati Laura kembali tersakiti. Dia yang
Laura menghadapkan tubuh ke jalan. Dia mencari taksi yang bisa mengantar ke Cotswolds. Akan tetapi, yang berhenti di hadapannya justru kendaraan lain. “Ya, Tuhan,” gumam Laura dalam hati. “Nyonya Lynch,” sapa si pemilik kendaraan yang tak lain adalah Lewis. “Kenapa Anda senang sekali —”‘Kuharap Anda bukan seorang penguntit, Tuan Bellingham,” sela Laura.Lewis yang sudah berdiri di hadapan Laura, menatap heran. Pria tampan itu menautkan alis karen tak mengerti. “Maksud Anda?” tanyanya. “Kenapa Anda selalu muncul di hadapanku?” Laura tampak begitu resah. Dia tak mampu menyembunyikan perasaannya. “Apa yang terjadi?” Lewis mengabaikan pertanyaan Laura. Dia lebih fokus pada ekspresi yang diperlihatkan wanita itu. Tanpa berpikir panjang, Lewis segera membukakan pintu mobil. “Masuklah dulu.”“Tidak,” tolak Laura, seraya bergerak mundur. “Tidak apa-apa, Nyonya. Masuklah. Tak baik berada di luar dalam cuaca seperti ini,” desaknya. Dia memberi isyarat, agar Laura menuruti ucapannya. Terleb
Selagi Laura tengah menikmati waktu dengan ratusan buku dalam rak khusus, Christian justru dilanda kegalauan luar biasa. Dia tak mengurung diri di kamar, tapi tetap membawa kegundahan ke ruang kerja. Alhasil, seluruh berkas yang seharusnya diselesaikan dalam waktu cepat jadi terbengkalaiChristian tak dapat berkonsentrasi. Pertengkaran dengan Laura pada pagi ini, berhasil membuat perasaan serta pikirannya jadi tak karuan. Belum pernah dirinya begitu kalut, setelah berselisih dengan seorang wanita, bahkan Chelsea sekalipun.“Apa-apaan kau, Laura?” gumam Christian, diiringi gelengan pelan. Dia tak mengerti dengan apa yang terjadi. “Aku tidak peduli padamu atau wanita manapun. Tidak.” Christian kembali menggeleng.Bersamaan dengan itu, terdengar ketukan di pintu. Alfred membukanya, l
Christian melangkah gagah menuju kamar. Dia mengabaikan rasa lapar. Setibanya di ruangan yang dituju, pria itu langsung meraih telepon genggam dari meja sebelah tempat tidur.Setelah membuka layar ponsel, Christian mencari nomor kontak Laura. Sebelum memutuskan menghubungi sang istri, pria tampan tersebut beberapa kali mengembuskan napas berat. Dia seperti ragu untuk sekadar menanyakan keberadaan istrinya.“Ah! Persetan dengan apa pun yang akan kau lakukan, Laura!” Christian meletakkan telepon genggam di kasur. Dia termenung beberapa saat, sebelum mengambil kembali alat komunikasi canggih tadi. Mau tak mau, Christian harus melawan rasa angkuh dalam diri karena penasaran dengan keberadaan Laura.Akhirnya, Christian mengalah. Namun, setelah beberapa detik berlalu, panggilan itu tak tersam