Cincin Berlian Palsu Gundik Suamiku
Bab 63
Jessica langsung menutup wajah dan meletakan ponsel yang masih menyala itu di atas kasur. Aku heran dengan perangai anehnya.
Lekas kulihat gawai itu dan membaca pesan di sana. Begitupun sebuah foto testpack bergaris dua yang dikirim seseorang.
Nomor bernama Mama itu yang mengirimkan foto alat tes kehamilan dengan garis dua dengan pesan bertuliskan.
[Jessica! Ini apa maksudnya?! Mama menemukan testpack ini di tempat sampah kamar kamu.]
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 64"Papaku meninggal Vin. Barusan aku dapat telepon dari pihak rumah sakit. Katanya mamaku yang menyuruh pihak rumah sakit buat melepaskan semua alat medis yang dipakai Papa karena kami sudah tidak mampu membayar.""Innalilahi wainnailaihi rojiun," ucapku dengan dada yang berdegup cepat. Teringat pada masanya aku pernah ditinggalkan Ibu pulang ke Rahmatullah.Isak tangis terdengar dari sambungan telepon."Jess, ini sekarang kamu lagi ada di mana? Masih ada di kontrakan 'kan? tanyaku juga panik."Iya, Vin. Aku mau ke rumah sakit tapi aku nggak punya uang buat naik ojek."Aku menghela napas. Ya Allah, tadi aku lupa nggak ninggalin uang buat Jessica."Kamu tunggu aku ya, jangan ke mana-mana. Aku akan segera ke kontrakan kamu
Cincin Berlian Palsu Gundik SuamikuBab 65"Duh, maaf ya, Mas. Saya nggak sengaja," ucapku segera ikut tertunduk memunguti barang-barang yang berupa makanan ringan tersebut.Aku dan orang yang tadi kutabrak menggunakan troli itu sama sama tercengang ketika saling tatap."Kamu!" ucapku tertahan. Bisa-bisanya ya, aku juga ketemu dia di sini."Bu Vina, bisa-bisanya ya kita ketemu juga di sini?" Perkataan William mewakili apa yang aku katakan dalam hati."Haduh, nggak di kantor, enggak di mall. Semua ketemunya sama kamu kamu aja Will." Aku bersungut."Lagian sih, Bu Vina kenapa na
GUNDIK SUAMIKU (1)"Jeng, coba lihat, tadi malam aku di kasih kado cincin berlian loh sama suamiku," ucapku pada Ibu-ibu arisan yang biasa disebut Jeng. Seraya menunjukan cicin cantik nan berkilau yang tersemat di jari manisku."Wah, cantik banget ya, Jeng. Harganya berapa? Kepo dong kita-kita, iya nggak Jeng?" sahut Jeng Lina sambil mencolek lengan Ibu-ibu lainnya."Murah kok, Jeng. Suami aku bilang, cuman 400 jutaan harganya," jelasku dengan senyum merekah."Wah, emang suami idaman banget ya, eh Jeng Selin, kamu 'kan punya toko perhiasan tuh, paham dong mana yang asli dan mana yang bukan." kali ini Jeng Marisa yang menimpali. Dia memang agak sensi kalau punya barang-barang mahal. Orang bilang mah syirik istilahnya."Mana coba, lihat." Jeng Selin menelisik jemariku. Tentu aku tak keberatan. Dan dengan percaya diri menujukan cincin ini pada mereka. Biar bungkam mulutnya. Enak saja main nuduh asli atau bukan. Dasar mulut kompor. Ir
GUNDIK SUAMIKU (2)Mataku terbelalak saat sampai di pekarangan rumah yang kutempati. Mobil Mas Ari sudah terparkir di sana. Itu artinya Mas Ari sudah pulang. Oh Tuhan, bagaimana ini?Cepat kutepis semua kekhawatiran yang berkecamuk di dalam hati. Dan lantas memarkirkan mobil yang kutumpangi di sebelah mobil berwarna hitam pekat milik Mas Ari."Nyonya sudah pulang?" aku terperanjat mendengar suara itu. Baru saja pintu mobil setengah terbuka. Pak Slamet, supir mertuaku sudah berada di teras depan. Ia berdiri dan menyambutku dengan senyum hangatnya.Namun, untuk apa beliau berada di sini? Bukankah dia supir pribadinya Mama mertuaku? Yang rumahnya lumayan agak jauh dari sini.Belum kujawab pertanyaannya, mataku sibuk celingukan memandangi sekeliling. Siapa tahu Mas Ari di sekitar sini, bisa gawat kalau dia udah pulang, atau ... dia sedang mencari cincin itu. Duh, bisa gagal semua rencanaku.Kuhampiri Pak Slamet yang
GUNDIK SUAMIKU (3)Wanita itu mengenakan kebaya berwarna pink salmon dan jilbab yang menutupi bagian dadanya.Hatiku mendadak nyeri melihat pemandangan ini. Apakah dia wanita selingkuh suamiku? Parasnya yang cantik dan terlihat kalem mana mungkin mau merebut suami orang. Ah, jaman sekarang. Apa saja bisa dilakukan, tak perduli penampilannya seperti apa.Aku menghela napas panjang. Sebah di dada tak kunjung mereda. Lututpun terasa melemas dan tak mampu menopang tubuhku. Kucengkram baju gamis yang tergantung di depanku. Tahan Vina, jangan menangis. Air matamu terlalu mahal untuk menangisi lelaki tak punya malu seperti Ari.Mas Ari dan Mama kompak menoleh ke arah wanita itu."Nah itu, Marisa udah dateng." ucap Mama mertua sumringah. Oh, jadi itu yang namanya Marisa. Kukira Marisa teman arisanku. Ternyata tidak. Dugaanku salah, dia Marisa ... wanita yang penampilannya tertutup dan bahkan lebih baik dariku. kelihatannya sih begit
GUNDIK SUAMIKU (4)Kulirik ke arah mobil. Mobil Mas Ari masih di tempat semula. Lantas di mana Pak Slamet?Gegas kuberlari kecil menuju pintu yang langsung terhubung dengan ruang tamu.Pintu pun tidak dikunci. Mungkin Mbok Darmi belum tidur."Nyonya, dari mana?" kutelan saliva yang terasa mengganjal di tenggorokan. Kakiku pun sontak berhenti tepat di keramik pembatas antara pintu dan teras. Cepat aku menoleh ke sumber suara. Benar dugaanku, bahwa itu suara Pak Slamet yang berasal dari depan garasi."Oh, saya habis cek pintu di samping pagar, Pak. Sudah dikunci apa belum. Hanya untuk memastikan, takutnya Mbok Darmi lupa. Maklum, Pak. Sekarang banyak maling." alibiku meyakinkan. Untung saja, tadi masker dan jaket sudah kulepas dan kutinggal dalam mobil. Jadi, kini penampilanku biasa saja."Oh, kalau begitu saya mau pamit, Nya. Mau jemput Pak Ari." pamit lelaki berkumis itu. Aku mengangguk dan menyunggingkan senyum
GUNDIK SUAMIKUPart 5"Hah! Apa?!" pekik Mas Ari terdengar syok. "argh! kenapa kamu gak bilang dari tadi, Vin?""Ya aku mana tahu, Mas. Kalau tamu itu tiba-tiba datang." jawabku kembali membuka mata. Mas Ari tak menjawab lagi. Ia melangkah jengah menuju lemari dan membukanya dengan kasar.'Rasain kamu, Mas. Itu hanya kejutan kecil buat kamu. Belum kejutan manis yang lainnya.' batinku tersenyum devils.Sesaat. Ranjang empuk ini terasa berkempis. Mas Ari tengah menata posisi untuk berbaring di sampingku. Namun ia memilih memunggungiku. Aku tahu, seberapa besar rasa kecewanya terhadapku dan kejadian tadi. Namun, itu tak sepenuhnya membuat hatiku lega dan merasa puas. Kalau belum aku melihat dia dan keluarganya menderita.*"Aku pergi ke kantor dulu ya, kamu baik-baik di rumah." selepas sarapan, Mas Ari berpamitan padaku. Ia bilang akan pergi ke kantor. Ini kesempatanku untuk mengurus surat-surat berharga yang suda
GUNDIK SUAMIKUPart 6Rasa penasaranku semakin membuncah. Hingga kuputuskan untuk diam dan tetap menguping.Dibuat bingung akan kejadian ini. Benakku terus bertanya, ada apa antara mereka orang-orang terdekatku?"Baik, nanti kita ketemu di rumah sakit." tak lama. Pak Slamet menuntup sambungan teleponnya. Lalu memasukan ponsel itu ke dalam saku celana.Rumah sakit?Siapa yang sakit?Pak Slamet bergegas menaiki motor lalu menyalakan mesinnya. Terlihat ia sedang memencet remote control pagar.Gawat jika aku sampai ketahuan. Karena pintu pagar akan segera bergeser ke araku. Cepat kulangkahkan kaki menjauh dan bersembunyi di dekat pohon bunga bougenville.Motor Pak Slamet ke luar dari pagar dan terpacu cepat ke arah barat.Tak habis akal. Lantas aku masuk ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil. Rencanaku adalah, mengikuti ke mana pria tua yang kuanggap baik itu pergi.