Share

Intrik dalam kehidupan

"Oh, jadi sekarang sudah jadi simpanan orang kaya ya?"

Aku melihat Raka meludah, seolah jijik. Renata merasa semakin sakit hati. Tidak pernah dibayangkan kalau Raka bisa berubah sejauh ini.

"Tutup mulut sampahmu itu!" bentak Alvin, yang membuat Renata semakin kaget.

"Hei tuan, wanita itu bekasku. Aku sudah menjamah seluruh inci tubuhnya, apa kau tak jijik?"

"Apa--"

"Bajingan!"

Sebelum Renata berteriak, Alvin sudah lebih dulu berteriak dan memukul pria itu.

Satu pukulan melayang ke arah wajah pria itu, tubuhnya roboh ke trotoar, terlihat darah segar mengalir dari sela bibirnya.

"Pergi dari sini atau nanti kau akan tahu akibatnya!" nada suara Alvin membuat pria itu terlihat agak takut. Renata sontak menggenggam tangan Alvin agar tak memukuli pria itu lagi.

"Dasar pelacur jalanan!" umpat pria itu sambil berjalan pergi dari sana.

Alvin melirik wanita yang berdiri di belakangnya, tangan Renata gemetar, matanya berkaca-kaca. Alvin membalikan tubuhnya, sekarang mereka berhadapan.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Alvin dengan prihatin.

Renata menggeleng, air mata menetes di pipi mulusnya, "Siapa si bangsat itu?" Alvin penasaran

"Mantan pacarku. Dia sangat kasar, saya putusin dia tahun lalu dan dia selalu datang untuk memaksa saya balikan." Jelas Renata

"Saya pikir kamu hanya bodoh, ternyata sangat bodoh. Cukup bodoh sampai bisa berpacaran dengan si brengsek itu." Alvin tak habis pikir.

"Apa kamu baik-baik saja?" Alvin memegang lengan Renata.

"Awhhh," Renata merintih.

"Ada apa? Sini saya lihat!" ada memar di lengan Renata. Mata Alvin langsung menatap Renata dengan tajam.

Renata yang tak mau hal ini menjadi lebih panjang segera menutup lengannya. "Terima kasih Pak, sebaiknya Bapak pulang saja." Renata langsung segera masuk ke rumahnya.

Sampai di dalam rumah, dia melihat Alvin masih berdiri di tempat tadi. Mereka saling bertatapan lewat jendela itu.

Renata tak menggubris Alvin sama sekali, dia malah masuk ke dalam dan mandi. Setelah selesai membersihkan diri, dia merebahkan tubuhnya di kasur. Matanya menatap foto keluarga yang terpajang di meja samping kasurnya.

'Ayah, Ibu, kenapa kalian pergi begitu cepat?' batin Renata saat menatap kedua orang tuanya di foto itu. Saat sedang sedih mengingat orang tuanya, tiba-tiba teleponnya berdering.

"Halo kak?" suara di seberang sana sangat familiar di telinganya.

"Adek? Ada apa dek?" tanya Renata dengan ingus yang masih ditahan-tahan. Itu Kevin, adik Renata, jadi dia tidak mau terdengar lemah kalau sampai Kevin tahu dia menangis.

"Gimana hari pertama kakak kerja?"

"Hmm, aman." Jawab Renata singkat seolah-olah tidak mau membahasnya lebih dalam.

"Syukurlah kak. Oh ya, bulan depan waktunya bayar semester kak." Renata menggigit bibirnya, bingung.

"Kak? Halo? Kakak masih di sana?" tanya Kevin penasaran sebab tak ada jawaban dari kakaknya.

"Egh iya iya dek, nanti kakak bayar ya. Kamu kuliah yang bener, jangan nakal di sana."

"Iya kak, udah dulu ya. Aku mau ngerjain tugas. Dahh." Telepon itu ditutup. Renata memijit kepalanya, dia bingung harus bagaimana. 'Semoga saja hari gajian tepat sebelum batas pembayaran semester' batinnya.

 

Hari begitu cepat berlalu sampai tak terasa Renata sudah seminggu bekerja di Axidira Company, seperti perusahaan pada umumnya setiap hari kantor itu begitu sibuk.

Kriingg!!!

Telepon di meja kerja Arini berdering. "Halo?"

"Arini, cepat ke ruangan saya!" perintah orang itu.

"Baik Pak." Arini tak berani membantah. Itu suara Bosnya.

Arini mengetuk pintu ruangan Alvin dan masuk ke dalam.

"Duduk," Arini duduk di kursi depan meja bosnya.

"Saya perlu kandidat untuk sekretaris. Si Dewi resign katanya setelah melahirkan, mau fokus untuk anaknya."

Sejenak ruangan itu hening, Arini berpikir keras mencari kandidat yang cocok untuk dijadikan sekretaris bosnya. Selain harus pintar dan sigap, calon sekretaris itu harus punya mental yang kuat menghadapi sifat bosnya.

"Pak, saya cuma punya satu kandidat," kata Arini memecah suasana.

"Siapa? Jangan bertele-tele," Alvin menatap tak puas.

"Renata Pak, karyawan baru lulusan UI itu. Seminggu ini saya pantau kerjanya bagus, dan dia sangat disiplin dengan semua hal yang dia kerjakan Pak, gimana Pak?"

"Kamu urus saja, jelaskan job desk-nya, Senin saya mau semua sudah ready," perintah Alvin. Arini keluar dengan senyum sumringah, setidaknya Pak Alvin setuju dengan idenya. Dia berjalan menuju ke arah meja kerja Renata.

"Renata..." panggil Arini dengan nada menggoda.

"Wah, kalau manggilnya kayak gitu pasti aku dikasih tugas yang banyak nih," ujar Renata pesimis.

"Ih, nggak kok, aku punya kabar baik buat kamu. Nanti makan siang kita obrolin ya, soalnya sekarang aku masih sibuk." Arini melambai meninggalkan Renata.

"Uhhh, bikin penasaran aja nih," gerutu Renata sambil lanjut mengetik.

Waktu makan siang tiba, Renata dan Arini duduk di kantin kantor. "Jadi kabar baik apa yang mau kamu bilang tadi Rin?" Renata menyeruput es teh manis di depannya.

"Oh iya, jadi mulai Senin kamu diangkat jadi sekretaris Pak Alvin dan..." Belum sempat Arini meneruskan kata-katanya, Renata tersedak mendengar kalimat itu. Es teh yang dia seruput tadi menyembur keluar dari mulut, untungnya tidak mengenai baju Arini.

Uhuk... uhuk...

"Ya ampun Ren, kamu gak apa-apa kan?" Arini panik melihat temannya.

"Uhuk.. gak apa-apa kok. Aku cuma kaget aja, kamu bercanda kan Rin? Nggak mungkin dong anak baru tiba-tiba langsung jadi sekretaris. Aku masih belum terlalu ngerti loh sama cara kerjanya."

"Hm, ini beneran Ren. Dan cuma kamu yang cocok, nanti aku bantu sebisaku. Oh iya, gajinya juga banyak loh Ren," Arini sedikit berbisik dengan kalimat terakhirnya.

"Dandan yang cantik dan rapih ya," Arini sedikit menggoda Renata.

"Ih apa sih kamu, pasti kerjaan kamu nih," Pipi Renata merona. Mereka berjalan ke arah ruangan kerja sambil tertawa-tawa kecil dengan perbincangan itu.

"Ehm... Jangan ngobrol sambil jalan nanti nyenggol orang lagi," singgung Alvin yang ternyata berada tepat di belakang mereka.

"Eh, iya Pak," jawab kedua wanita itu serentak, berdiri menyamping agar Bos mereka bisa lewat.

"Tuh kamu sih bahas dia terus, akhirnya dia datang kan kayak setan," Renata menyikut lengan Arini.

"Haha.. udah yuk lanjut lagi," mereka kemudian langsung kembali ke meja kerja masing-masing. Saat kantor sedang sibuk-sibuknya setelah selesai jam makan siang, tiba-tiba Velicia datang keluar dari arah lift dan berjalan bak seorang model di atas red carpet, membuat semua mata menatapnya terpana.

"Cantik banget ya tunangan Pak Alvin," terdengar suara karyawan lelaki memuji.

"Arini, Suci kemana? Saya telpon nggak diangkat?" Velicia menatap sinis.

"Suci resign Bu," jawab Arini sopan. Velicia memutar matanya tak perduli lalu masuk ke ruangan Alvin.

"Sayang, jadi siapa sekretaris kamu yang baru?" tanya Velicia yang langsung masuk ke ruangan Alvin tanpa permisi.

"Sudah aku bilang kalau mau masuk ketuk pintu dulu," sela Alvin.

"Ih iya-iya, jawab dulu pertanyaanku," Velicia menuang wine di gelasnya.

"Karyawan baru namanya Renata, hanya dia yang cocok untuk jadi sekretaris, yang lain kurang kompeten," jelas Alvin.

Velicia mendekat ke meja Alvin dengan wine di tangannya, dia membungkuk ke arah Alvin sehingga belahan dadanya terlihat begitu menggoda. "Yang lain kurang kompeten atau kurang seksi?" goda Velicia.

"Kantor lumayan sibuk hari ini, aku sedang banyak pekerjaan," Alvin mendecak menepiskan pandangannya dari hal yang biasanya langsung disosor saat dia melihat itu.

"Oh baiklah," Velicia duduk di arah sofa dan memainkan ponselnya, membiarkan Alvin melanjutkan kesibukannya.

"Permisi.." seseorang mengetuk dari luar, suara sopan dan lembut.

"Masuk!" seru Alvin.

"Pak, ini proposal untuk meeting yang sudah saya sediakan dan beberapa jadwal meeting sudah saya email ke Bapak untuk persetujuan." Renata menerangkan perlahan suara agak sedikit gugup.

"Baik, nanti saya cek. Silahkan lanjutkan pekerjaan kamu," mata Alvin tak berpindah dari monitor laptopnya. Renata berjalan keluar ruangan itu.

Velicia yang sedari tadi menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki berpikir sejenak, "Sok cantik, lagian kenapa harus dia sih? Apa nggak ada orang lain? Kalau begini bisa..."

Velicia tenggelam dalam pikirannya. Dia tahu tunangannya ini buaya darat, semua yang terlihat cantik dan seksi pasti di mangsanya. Velicia melirik Alvin yang masih tak bergeming.

"Ehm, aku nggak suka dia jadi sekretarismu," ujar Velicia.

"Lalu siapa yang bisa gantikan Dewi? Pak Johan?" Alvin terkekeh.

"Yah terserah, tapi aku ingatkan kalau sampai kamu ada hubungan sama dia, aku bakal laporin papi sama mami," Velicia mengancam.

"Yah yah yah..." jawab Alvin remeh.

Velicia keluar ruangan dengan kesal, menuju meja Renata. "Ingat, Alvin adalah tunangan saya. Kerjakan pekerjaanmu sebagaimana mestinya, jangan libatkan perasaan," ancam Velicia.

Renata yang terkejut dengan perkataan itu hanya mengangguk setuju. Dia tak mengerti apa yang dimaksud tunangan bosnya itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status