"Ram, gue enggak keberatan lu interogasi. Tapi tolong waktunya dijadwal ulang. Gue cuma sebagai saksi bukan, bukan tersangka?""Iya, kamu sebagai saksi saja. Kami hanya ingin meminta keteranganmu tentang korban.""Apa gue harus ke kantor polisi?""Hm, apa kamu bisa kesini?""Gue usahakan setelah pulang kantor gimana?" Tawar Damian."Itu juga boleh. Oke, gue tunggu jam 5 ya." Lalu telepon ditutup.Damian meletakkan hape kembali di atas meja, dia mengusap wajahnya. Kenapa jadi begini?Tiba tiba terdengar bunyi sambungan telepon dari Titania."Ya Tit?""Pak, ada yang ingin bertemu?"Damian mengernyitkan kening, "Pak Samsul?" Damian teringat bahwa hari ini dia ada janji bertemu seorang klien."Bukan pak. Belum ada janji sebenarnya. Dia, Eng...pak Johan Bahar.""Eh, Johan Bahar?" Damian sedikit terkejut. Dia mengenal nama Johan Bahar sebagai pewaris perusahaan rokok Sempurna. Pengusaha kelas kakap di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu Johan Bahar yang terbilang muda menerima perusahaan ke
Anggela?" Panggil Damian memastikan tapi Aniela hanya menatap Damian dengan bingung."Maaf, namaku Aniela." Ucap Aniela sambil menatap Damian bingung."Maaf, kau mirip sekali dengan perempuan yang aku kenal." Ucap Damian, "apa kau benar tidak mengenalku?"Aniela menatap Damian lurus-lurus, perempuan itu menggeleng, "ini pertemuan pertama kita. Tuan Damian, apakah kau bisa menolongku untuk keluar dari sini. Aku benar benar bingung, tiba-tiba saja polisi datang ke tempat tinggalnya dan menuduhku atas pembunuhan yang bahkan aku tidak pernah tahu. Mereka bilang aku membunuh seorang detektif swasta, itu aneh banget. Aku bahkan tidak kenal dengan detektif swasta itu." Terang Aniela pada Damian."Saya akan berusah semampu saya Bu." Ucap Damian.**Damian keluar ruangan, di depan Rama menunggu dengan melipat tangan di depan dadanya. Dia lalu kemudian memberi isyarat pada Damian untuk ikut dirinya."Pak Johan dimana?""Ada diruangan depan, apa kau ingin menemui dia dulu tuan pengacara?""Sarka
Steve melenggang ke meja Titania, dia sempat melongok ke dalam Sekat kaca, lalu bertanya pada Titania yang masih mengetik sambil melihat layar komputer."Tit, bos ada? Tanya Steve."Tadi keluar sama klien pak.""Oh," Steve mengangguk, lalu kemudian dia kembali keruangannya. Steve diam, wajahnya terlihat keruh, lalu kemudian dia mendesah dan akhirnya mengambil jas kerjanya lalu pergi keluar. Di luar, Cantika, sekretarisnya sedang asyik mengetik dokumen."Can, tolong rescedul lagi jadwalku. Aku mau keluar, mungkin lama. Kalau pak Damian cari, bilang ada perlu,""Baik pak."Steve lantas berjalan keluar kantor. Sebenarnya dua hari ini dia gelisah. Telah terjadi sesuatu pada dirinya. Steve ingin berkonsultasi pada Damian, tapi hal itu diurungkan. Setelah menimbang dengan hati-hati, akhirnya Steve memutuskan sendiri apa yang harus dia lakukan.Steve mengarahkan mobilnya ke sebuah rumah sakit yang tempatnya jauh dari kantor. Setelah melakukan pendaftaran, Steve beruntung langsung mendapat no
Duh, dari SMP kamu memang ahli merayu. Kakak senior saja kamu rayu sampai klepek-klepek." Dokter Monik menimpali rayuan steve sambil merobek kertas resep, "ini nanti di kasih perawat di depan, setelah itu langsung aja ke apotik." Ucap Monik sambil menyerahkan kertas resep tersebut.Steve melihat ke arah monik, lalu kemudian dia menodong bertanya, "eh, boleh tahu nomor kamu?""Wah," Monik tertawa, lalu dia mengeluarkan sesuatu dari lacinya. Sebuah kartu nama. "Ini kartu namaku."Steve menerima kartu nama itu dengan senyum lebar, lalu Steve mengeluarkan dompetnya dan mengulurkan kartu nama miliknya, "ini kartu namaku."Monik menerima dan memeriksa isi kartu nama tersebut, mata gadis itu membulat, lalu menatap ke arah Steve, "lawyer?""Kenapa? Enggak cocok ya?" Steve terlihat memperbaiki jas kerjanya.Monik mengulum senyum, "enggak, cocok kok. Keren malah." Puji monik tulus membuat Steve tersipu."Eng, kalau nanti aku ajak kamu keluar un
Rama menatap ke arah Damian, merasa iba. "Sorry bro, hasil ini bisa jadi bukti valid bahwa nyonya Aniela sempat menemui korban dan melakukan pembunuhan, rambutnya tertinggal ditubuh korban." Rama mengibas-ngibaskan map hasil dari forensik.Damian melipat tangannya di depan, "Begitu," Damian lalu kemudian menatap ke arah Rama, "Apa senjata pembunuhnya sudah ditemukan?" tanya Damian tajam."Kami masih melacaknya." ucap Rama.Damian berdiri, lalu kemudian berkata, "Kalau senjata pembunuhnya ditemukan dan valid di sana ada sidik jari klien gue, bisa jadi itu akan membuat gue sulit membebaskan nyonya Aniela. Tapi, kalau hanya bukti rambut ditubuh korban, gue masih bisa melawannya dipengadilan dan membuat bukti itu tidak berkutik untuk memberatkan klien gue.""Kamu itu sebenarnya mau bekerja sama atau tidak sih Dam?" Rama sedikit merasa jengkel dengan cara bicara Damian yang arogan. Tapi, Rama tahu ucapan Damian benar. Dengan berlandaskan bukti rambut milik Ani
Steve kaget melihat Cantika berdiri mematung di dekat pintu dengan wajah kikuk karena melihat bosnya sedang menari. Langsung saja Steve memperbaiki sikap."Kok enggak ngetuk pintu dulu?" Tanya Steve dengan galak, menutupi rasa malu Karena terlihat berindak konyol dihadapan sekretarisnya."Sudah pak, dari tadi. Bapak tidak dengar." Jelas Cantika, sambil mengepit map di dadanya dengan ketat.Steve masuk kembali ke belakang meja, lalu kemudian menatap gadis dihadapannya, "Ada apa?" Tanyanya dengan sikap seolah tidak terjadi apa-apa."Oh, saya mau memberi laporan untuk ditandatangani," Cantika mengangsurkan map berwarna biru pada Steve yang langsung diambil Steve dan dibuka."Ini mau diantar ke pak Damian?""Iya pak, tadi pak Damian minta," terang Cantika.Steve memberi tanda tangannya di kertas tersebut dan menyerahkan pada Cantika. Setelah menerima map tersebut, Cantika keluar ruangan sambil geleng-geleng kepala dan menahan senyum yang sudah ditekannya dari tadi.**Damian menatap ke ar
Steve turun dari mobil dan masuk ke dalam cafe mimosa. Cafe tempat biasa dia nongkrong dengan Damian kalau sedang menunggu waktu malam untuk berburu perempuan.Ternyata dokter Monik sudah lebih dulu menunggunya. Dia mengambil meja di sudut kafe dekat jendela yang membentang besar hingga terpampang pemandangan jalan raya. Tempat itu memang bagus, selain tidak mencolok, pengguna juga bisa menikmati pemandangan di luar jendela.Ketika Monik melihat Steve muncul dari pintu cafe, dokter itu langsung melambai ke arah Steve sehingga Steve langsung tahu posisi Monik.Steve mendekat, "kau sudah pesan sesuatu?" Tanya Steve sambil mengambil duduk di hadapan Monik, "kamu dapat posisi oke ya di sini," puji Steve."Aku baru datang." Ucap Monik."Aku pesankan teh ya. Disini, kopi dan tehnya enak." Terang Steve yang dijawab dengan anggukan Monik."Aku baru kali ini keluar sama teman SMP, yang lain kayaknya banyak yang terpencar ke luar kota." Tukas Monik ketika Steve sudah duduk."Aku juga kaget dan
Damian menangkap keterkejutan pada wajah Aniela, bahkan dia menangkap mata yang ketakutan. Damian juga memergoki jari jari Aniela bergetar dan perempuan itu berusaha menyembunyikannya dengan menurunkan tangannya dan menyembunyikannya di balik meja.Lalu, Damian bertanya lagi, "nyonya kenal pemuda di photo ini?"Aniela menaikkan wajahnya, lalu matanya menatap ke arah Damian, perempuan itu terlihat gelisah. Lantas kemudian menggeleng, setelahnya aniela menunduk."Nyonya," Damian berujar, "nyonya tidak perlu takut, saya berada di pihak nyonya. Seperti yang saya bilang tadi, saya adalah pengacara nyonya, saya harus mengetahui semua hal yang nyonya tahu secara jujur. Bagaimana saya membela nyonya kalau nyonya tidak jujur kepada saya?" Aniela menatap Damian, wajahnya terlihat cemas. Perempuan itu meremas remas ujung bajunya."Nyonya Aniela?" Panggil Damian lagi.Aniela menggeleng-gelengkan kepalanya, entah maksudnya menggeleng karena tidak mengenal, atau karena tidak ingin bicara.Damian m