“Taraaa!!!” Nabila menyerahkan sebuah bungkusan pada Kiara yang berbaring di ranjang.
Sudah hampir tiga minggu sejak Kiara diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dan untuk sementara waktu ini dia menetap di apartemen Gian demi keamanan. Kiara sudah dimintai keterangan oleh polisi soal kemungkinan besar pelaku penusukannya. Namun, sepertinya sulit untuk melacak keberadaan Alisa.
Kiara membuka bungkusan itu. Lantas keningnya mengernyit begitu melihat isinya. “Alat penyetrum?”
“Yap, ini buat jaga-jaga kalo ada yang menyerang lo.” Ungkap Nabila yang duduk di atas ranjang. Sejak kepindahan Kiara ke apartemen Gian, Nabila juga mendapatkan kartu akses khusus untuk menyambangi sahabatnya itu. Sementara itu, Gian masih harus bolak-balik Jakarta-Singapura untuk keperluan bisnis.
Kiara menaruh alat penyetrum itu di atas nakas dan bangkit. “Kayaknya minggu depan aku bisa masuk kantor lagi.”
“Yang bener? Dok
Dari balik selimut, Gian mendekap erat tubuh Kiara. Mereka menikmati malam yang intim setelah sekian lama. Diciumnya ujung kepala Kiara dengan lembut.“Ki, gimana kalau kamu cuti sejenak?” usul Gian kemudian.Kiara yang merebahkan kepalanya di dada Gian yang bidang berujar, “Cuti? Aku sudah lama absen dari kantor setelah operasi.”“Aku tahu, tapi kurasa kamu butuh liburan. Lagi pula, pembukaan butikmu juga berjalan sukses.”“Tapi aku nggak enak kalo ambil cuti lagi. Kasihan Nabila yang harus bekerja sendirian.” Tukas Kiara.“Baiklah, aku ngaku. Sebenarnya aku sih yang butuh liburan.” Gian terkekeh. “Kamu tahu sendiri kan bagaimana kesibukanku akhir-akhir ini?”Kiara mengangguk pelan dan beringsut menatap Gian. “Memangnya kamu mau liburan kemana?”“Entahlah. Yang pasti jangan yang jauh-jauh. Dua minggu lagi aku harus kembali ke Singapura. Kamu ada
“Cih, gala dinner?” tuding Prita ke arah suaminya dengan nada sinis. “Kamu bahkan nggak menceritakan hal itu padaku!”Dari balik kemudi, Ray menarik napasnya dalam-dalam. Mobil mereka terjebak di tengah kemacetan begitu memasuki kawasan Dago. Kupingnya panas mendengar Prita yang marah-marah ditambah api cemburu yang kembali menguasainya saat mendapati kebersamaan mantan istrinya itu dengan Gian, penyelamat reputasi perusahaannya yang hampir hancur.“Sudahlah, Ta. Hal itu bukan kejadian penting. Memangnya kalau aku pernah bertemu mereka berdua sebelumnya, kerugian di perusahaanku bakal tertutupi? Nggak kan? Hal itu hanya akan membuatmu naik pitam.”Prita bersedekap. Walaupun Ray tidak menoleh ke arah istrinya, dia tahu Prita sedang menembakkan tatapan setajam laser padanya.“Oh, jadi kamu pikir aku bakalan cemburu lihat kehidupan cewek brengsek itu sekarang, hah? Makanya kamu nggak mau cerita. Jangan-janga
“Ray?!” Pekik Kiara, memandangi pantulan mantan suaminya itu di cermin. “Ngapain kamu di sini?! Ini toilet perempuan!” Walaupun begitu Ray tetap melangkah santai menghampirinya. Kiara memutar tubuhnya. Kini tatapan mereka saling beradu. Lantas, Ray memandangi tubuh indah Kiara dari balik balutan gaunnya itu. “Mau apa kamu?” suara Kiara terdengar gemetar saat Ray maju selangkah yang membuat Kiara mundur hingga menyentuh pinggiran konter wastafel. Ray hanya tersenyum tajam lalu merengkuh pinggang Kiara yang membuatnya memekik kaget. Jantung Ray berdetak begitu kencang. Perasaan itu kini hadir kembali, memompa aliran darahnya dengan cepat. Hidung mereka hampir bersentuhan sehingga Ray bisa merasakan napas Kiara yang berembus di wajahnya. Tak butuh waktu lama, Ray langsung menautkan bibirnya. “Ray!” Sontak Kiara melepaskan ciuman itu. “Sst…” bisiknya. “Aku tahu kamu menginginkannya.” Ray menyentuh lembut pipi Kiara dan kembali mencumbunya. Seketik
Kedua alis Gian bertautan begitu Ira, sekretarisnya, menyerahkan sebuah amplop cokelat tanpa nama pengirim padanya.“Amplop ini ditujukan untuk Bapak. Reni, resepsionis di depan, yang memberikan ini pada saya.” Terang Ira.“Reni juga nggak tahu siapa yang kirim?” Gian masih menekuri amplop itu.“Nggak, Pak. Amplop itu diantar oleh tukang ojek biasa. Apa nggak sebaiknya kita berhati-hati sama isinya, Pak?” Ira memandang amplop di tangan Gian itu dengan curiga.“Saya rasa isinya bukan bom,” ucap Gian dengan nada bercanda, mengibas-ngibaskan amplopnya.Kemudian, Ira mengingatkan bosnya itu perihal jadwal penerbangannya ke Singapura hari ini sebelum dia pamit dari ruangan.Lantas, Gian segera merobek ujung amplop itu. Di dalamnya terdapat beberapa buah foto. Mata Gian mengamati foto-foto itu dengan seksama. Dahinya mengerut sambil menggeleng pelan.Dia mendapati Kiara bersama seorang pria be
“Jadi, lo nggak tahu kalau dulu Gian pernah lama tinggal di London?” Nabila menjulurkan kepalanya dari balik layar laptopnya.Kiara menggeleng. “Dia nggak pernah menyinggung soal itu.” jawabnya setelah dia memberi tahu sahabatnya itu perihal rencana Gian untuk memperkenalkan dirinya pada keluarga Gian dalam waktu dekat.Kemudian Nabila menyipitkan matanya. “Jangan-jangan, lo juga nggak tahu siapa Keluarga Hardjodiningrat itu?”“Yah, awalnya aku nggak tahu siapa mereka. Tapi, akhirnya aku menanyakan soal latar belakang keluarga Gian. Gian sering menceritakan bisnis keluarganya tapi dia nggak pernah menyinggung pernah tinggal di London.”Nabila bersandar di kursi putarnya. Matanya menerawang ke atas. “Yang gue tahu, dia itu lulusan SMA di London. Setahun setelah lulus dia balik ke Indo dan kuliah di sini. Itu sih yang gue dengar dari orang-orang. Tapi aneh juga sih. Kalau gue jadi dia, gue bakal lanjut k
Dengan perasaan gundah, Gian melangkah cepat di sepanjang lorong. Kepalanya benar-benar penat, dia butuh udara segar. Dia sudah membayangkan dirinya dibasuh oleh dinginnya air kolam renang di gym yang ada di lantai 12.Tidak pernah terbesit sedikit pun di benaknya jika Kiara ternyata memiliki masa lalu yang kelam seperti itu. Tapi, apa bedanya dengan dirinya? Masa lalunya juga kelam, mungkin lebih kelam dari Kiara. Dan masa lalunya-lah yang membawanya kembali pulang ke Indonesia.Gian bersedekap, memandangi pantulan dirinya di pintu lift. Kenyataan bahwa dia belum sepenuhnya berterus terang pada Kiara tentang dirinya, membuatnya merasa begitu bersalah. Padahal Kiara sudah menceritakan semua padanya. Entah apa yang membuat nyalinya ciut. Mungkin dia takut kehilangan Kiara atau mungkin dia memang seorang pecundang, tak jauh beda dengan mantan suami kekasihnya yang brengsek itu.Pintu lift berdenting. Begitu dia melangkah masuk, seketika pandangannya bersirobok den
Sepuluh Tahun LaluTeriakan penonton begitu memekakan telinga saat seorang DJ yang ternama itu naik ke atas panggung. Hentakan musik yang berdentum keras membuat mereka mulai mengangkat tangan ke udara sambil menggoyangkan tubuh.Ini bukan selera musiknya. Maka Gian memilih menyingkir dari kerumunan. Dia kembali ke tendanya dan duduk di kursi lipat. Dari kejauhan dia masih bisa melihat kemegahan panggung itu dengan kelip lampunya yang menawan serta lautan orang yang semakin menggila.Gian mengambil brosur di dekatnya, melihat line up keesokan harinya. Sudah dua hari dia berada di sini dengan beberapa temannya, sengaja menginap demi konser musim panas yang mereka tunggu-tunggu.Konser ini diadakan di lapangan besar di pedesaan. Sebuah camp ground khusus disediakan untuk para pengunjung yang menginap.Matanya kemudian memandang langit gelap yang dipenuhi taburan bintang. Semilir angin malam memberinya kesejukan di t
“Aku nggak akan kembali ke Indonesia,” Gian duduk di ruang tengah kediaman ibunya.“Tapi, ayahmu ada benarnya juga,” Nia, ibunya Gian, menarik kursi di hadapan putranya. Dia menatap wajah Gian yang berantakan. “Kau hidup terlunta-lunta di sini. Kalau kau ikut ayahmu, hidupmu akan jauh lebih baik. Lagi pula, Fiona membutuhkanmu. Dia tidak bisa mengurus bisnis keluarga itu sendirian. Atau setidaknya kau bisa menerima tawaran ayahmu untuk melanjutkan kuliah.”Gian menghela napas panjang. “Aku nggak ingin hidup bergantung pada orang lain, Bu. Jika ayah membiayai kehidupanku, pasti hidupku akan dikontrol olehnya.”Nia membenarkan posisi cardigan rajut abunya itu. Gerak-geriknya nampak sedikit gelisah. “Gian, selama ini ayahmu-lah yang membiayai hidupmu. Dia selalu mengirimkan uang dalam jumlah besar padaku. Kau tahu sendiri kan kehidupan John dan aku seperti apa? John bahkan berterima kasih karena ayahmu membiayai