"Nak, minumlah," ucap Tabib Gilovich sembari meneteskan air pada bibir Aricia yang mengering."Aku ... aku di mana?" tanya Aricia dengan suara paraunya. Pria itu menyentu dahi Aricia kemudian kembali duduk di bangku yang ada didekat ranjang kasu itu. Pria berjubah putih menatap Aricia tajam dan tak bersahabat meski sikapnya baik hati padanya. "Kau cukup bodoh mendatangi Negara yang paling membenci keberadaanmu, seharusnya kau sudah mati,"desak Pria Tua itu.Aricia tertegun, kedua matanya merjab terkejut tak kala ketika Pria Tua itu tampak mengenalnya dengan baik. Kala Aricia masih terkejut panel menampilkan dekripsi pemberitahuan mengenai Pria Tua itu. [Pemimpin Markas Penyembuhan, Tabib Agung Gilovich, Sang Healer tertinggi]. Aricia menghela napas cukup panjang karena orang yang paling ia temui sejak dulu ada dihadapannya. Beruntung selama ini Aricia sering membaca mengenai dirinya dari Afokrifa. Aricia tak mengelak karena keputusannya mendatangi Plumeria memang karena hendak menem
"Apa maksud dari semua ini?" tanyanya heran."Itu adalah upacara pengukur energi seorang Healer, setiap lukisan sudah dimanterai untuk mengetahui potensimu dan sebenarnya kau punya Energi yang hampir menyeimbangi seorang Dewa." Tabib Gilovich menjawab sembari duduk disalah satu bangku. "Tapi tampaknya kau lupa menggunakan kekuatanmu, maka aku akan melatihmu lagi," ucapnya. "Aku ingin menanyakan satu hal juga," ucap Aricia."Katakan, aku tak suka berbasa basi.""Apa kau tahu mengenai kematianku?" tanya Aricia dengan pandangan mata yang serius, ia tau jika Tabib Agung Gilovich mengetahui kebenaran dari semua ini. Setidaknya itulah dugaan Aricia karena menganggap Tabib Gilovich sebagai salah satu yang berpengaruh. Tabib Agung Gilovich menatap Aricia. "Kau memang kembali tapi seolah jadi orang lain." Pria Tua itu berucap sembari beranjak berdiri dan mengibas ujung lengan jubahnya yang lebar itu. "Bergegaslah, latihan akan dimulai," ucap Pria itu sembari beranjak pergi.Sepeninggalan Tabi
"Nak, Gracewill terakhir terlihat lima tahun lalu, itupun karena Kepala Keluarga Gracewill dipanggil Yang Mulia Clara untuk melaporkan kematian dari Putri Termuda mereka yang berbakat itu," jawab Sang Nenek."Mengapa semua orang membenci Gracewill?" tanya Aricia."Itu karena ... Putri Termuda mereka jadi Healer paling berbakat disepanjang sejarah, ia dibenci karena kemampuannya yang luar biasa hebat bukan karena kesalahannya." Nenek itu tersenyum. "Satu kesalahan saja akan diingat oleh manusia meski kau membuat seribu kebaikan sekalipun, itulah yang membuat Iblis mudah menyerang kita." Nenek itu melambaikan tangannya kala Aricia memulai perjalanannya. Aricia menggunakan petunjuk Sang Nenek untuk pergi menuju kediaman Gracewill. Kala itu hari nyaris menjelang petang, Aricia tiba di tengah hutan belantara. Pepohonan wisteria tumbuh subur di sekitar hutan ini. warna kelopak magenta yang gugur memenuhi sepanjang jalanan setapak menuju ke sebuah kediaman.Aricia mendadak gugup karena temp
"Jangan mencoba lebih mahir dariku atau Emily," cibir Gadis itu. "Akulah yang akan lolos jadi lulusan terbaik Healer," ucap Gadis itu dengan tatapan sinisnya. Kemudian meninggalkan Aricia yang mematung di ruang tamu."Apa ... yang baru saja terjadi?" gumam Aricia masih memengangi pipinya sendiri. Demi menyelesaikan Quest agar bisa kembali ke alur dunia ini, Aricia menghela napas dan membiarkan rasa berdenyut di pipi usai diberi tamparan oleh Karina. Aricia menatap kediaman mewah ini kemudian berjalan keluar dari ruang tamu. Ia mendapati para pelayan sibuk mengurusi seisi mansion, ada yang sedang membukakan pintu untuknya, ada yang berjalan membawa hidangan makanan dan ada yang sedang mengelap vas-vas kaca yang mahal itu. Aricia menghela napas. Ia sadar jika Aricia di dunia ini benar-benar anak seorang bangsawan yang hidupnya tragis. "Aku ... benar-benar tak menyangka, sebenarnya apa yang Babushka itu hendak perlihatkan padaku?" tanya Aricia seorang diri. Aricia pu mendatangi ruang
"Ayah, tunggu!" teriak Aricia sembari bangkit berdiri. Ia berjalan menghadapi ayahnya dikala Earl Gracewill baru saja hendak meninggalkan ruang makan. "Aku anakmu, katakan kepadaku kenapa aku selalu dianggap tabu dan aneh?" tanya Aricia. Ia pikir hanya itulah satu-satunya cara untuk mendapatkan informasi mengenai dirinya saat ini agar bisa mengetahui teka-teki dari Babushka. Babushka yang sedari tadi menunduk dan patuh terhadap tuannya mulai tertawa usai mendengar pertanyaan dari Aricia. "Kedua mata merah kutukan, katakan Earl ... Putri bungsumu tiada memiliki warna mata warisan dari Gracewill melainkan mata dari Sang Iblis," celetuk Babushka. "Oh, aku mulai bosan mendengar hal itu," sahut Aricia. "Kau menyadari permainan waktu ini?" tanya Babushka. Aricia tersenyum miring. "Ini masa lalu bukan? kau mau menunjukkan bagaimana hidup Aricia sebelum ini atau ... kau mau menunjukkan hidupmu di masa lalu?" terka Aricia sembari melipat kedua tangan di depan dadanya bersidekap. Seluruh
Di tengah terik matahari dengan perut yang keroncongan. Seorang gadis memakan roti yang dibeli dari Toko Serba dengan bibir manyunnya. Sesekali menyeka keringat yang mengucur di dahinya. Ini kali kesekiannya dia luntang lantung di jalan untuk mencari pekerjaan, meskipun tidak mudah dia tak mau menyerah. "Mau Rumah Sakit mana lagi ya yang harus aku kunjungi? kenapa susah sekali mencari pekerjaan," keluh Gadis muda ini. Seharian menghampiri setiap Rumah Sakit untuk melamar pekerjaan yang sesuai kualifikasi dirinya sebagai Perawat. Tidak hanya di rumah sakit bahkan klinik-klinik kecil pun sudah dihampiri demi kabar baik untuk pekerjaan tapi semuanya nihil. "Uang hasil kerja freelancer sudah semakin menipis, gajian juga kecil tidak akan cukup untuk bayar kos yang nunggak tiga bulan ini," ucap Gadis muda itu sembari duduk bersandar di salah satu kursi kayu di depan sebuah toserba. Perut keroncongan sudah biasa asalkan jangan diusir dari tempat tinggal karena belum membayar uang sewa tem
“Kumohon ... setidaknya biarkan aku hidup kembali dengan takdir yang layak,” ucap Aricia. Setelah itu kesadarannya benar-benar sirna. Bunyi cuitan burung menganggu tidur seseorang dari dalam tempat yang tak biasa. Sebuah tangan keluar dari dalam sebuah coffin. Seorang gadis berambut hitam menguap sembari menduduki dirinya dalam sebuah coffin yang terbuka. “Aku di mana?” tanyanya kebingungan. Gadis bermata merah lembayung itu menatap ke arah sekitarnya. Ia berada di dalam sebuah reruntuhan bekas sebuah kuil. “Apa aku sudah mati?” tanyanya lagi.Ingatannya memutar kembali saat-saat terakhirnya menghadang perampok yang hendak menikam Nenek Tua. “Ya, aku memang sudah tiada,” ucap Gadis itu. “Aricia Anahita Gracewill,” ucap suara seorang pria. Aricia menoleh pelan-pelan kemudian mendapati seorang pria berzirah perak yang tengah berdiri di ambang pintu yang terbuka lebar. Pria bermata biru laut itu menatapnya dingin, sementara Aricia mengedip-ngedipkan matanya kemudian sebuah panel mist
"Sudah kukatakan, aku tak suka dibantah," ucap Duke sembari menyentuh dagu Aricia. Aricia tak berkutik karena mampu merasakan tekanan dari Pria itu, belum lagi kedua mata biru menyalangnya yang tajam itu. "Kurasa Anda salah sangka, Duke," sahut Aricia menunduk. "Ha? apa maksudmu?" Duke kini meraih rahang Aricia agar menatap kedua matanya langsung. "Aku tidak suka orang yang tak menghargai lawan bicaranya!" bentak Duke menggelegar. Ck, telingaku bisa tuli padahal aku dengar kok, batin Aricia mendumel. "Maksudku adalah ... aku Healer yang tidak bisa menggunakan kemampuanku, kurasa mungkin Anda sudah salah menculik orang," ucap Aricia. Duke melototkan kedua mata birunya. "Sungguhan?" Aricia mengangguk. "Sungguhan, Tuan," jawab Aricia. Ya, habisnya setelah mati tiba-tiba di dunia antah berantah ini, mana mungkin aku bisa tahu cara mengendalikan kekuatanku, batin Aricia. Kedua mata biru Duke yang saat ini ada dihadapan Aricia berhasil membuatnya gugup karena sosok Duke memanglah