"Itu dia, Anak Kutukan, masih punya nyali ternyata memasuki kelas," ucap Murid Laki-laki.Aricia Anahita Gracewill memakai jubah putih dan seragam Markas Penyembuh namun kali ini penampilannya berbeda karena ia merelakan rambut hitam panjangnya jadi lebih pendek seperti laki-laki. Rambut pendek itu tetap saja tak bisa menipu keindahan wajahnya yang jelita itu. Aricia tidak lagi terkejut menghadapi Para Murid yang memang terdiri atas para pria. "Berkat ulahmu, tiada murid perempuan yang lagi boleh bersekolah di Markas Penyembuh untuk jadi seorang Healer, itu perintah Ratu." Pemuda berwajah bintik-bintik itu berucap sembari menghadang Aricia yang hendak duduk di salah satu bangku.Aricia terkekeh sendiri. "Oh, Ratu terlalu takut kalah saing sampai-sampai tak memperbolehkan Wanita bersekolah," ucap Aricia dengan santai. Ia melintasi Pemuda itu kemudian duduk di sebuah bangku pada kelas ini. Lamban laun Aricia mulai terbiasa dengan kebencian para murid padanya. Seorang Pengajar berjalan
"Manusia itu lebih kejam dari pada iblis karena mereka masih bisa tertawa usai menyakiti orang lain," celetuk Aricia di pagi hari. Ia tengah bersiap dengan memakai atasan putih polosnya, baru usai mandi karena rambut hitam pendeknya masih basah. Aricia membenahi poni panjang rambutnya, seperti Pemuda dengan wajah jelita. Aricia mengenakan jas mantel hitamnya, salah satu seragam di musim dingin. Aricia menghela napas sembari memasang dasi kupu-kupunya. "Rasanya lelah juga bergulat dengan kebencian," ucap Aricia sembari beranjak keluar dari kamarnya sembari menenteng buku yang akan ia baca sembari berjalan menuju ke kelas. "Nona Gracewill!" Aricia langsung menoleh mendapati Pengajar Arlo yang terperanjat kaget sementara disebelahnya Tabib Agung Gilovich hanya menatap biasa sosok Aricia. Aricia memberi hormat pada guru-gurunya itu, sementara mengabaikan keterkejutan Pengajar Arlo karena masih bisa menatap Aricia yang masih hidup. "Salam Pengajar Arlo, Tabib Agung Gilovich," ucap Aric
"Aku Alfred Slyvian," ucap Pemuda itu."Ah, aku tidak tahu dari keluarga mana dirimu tapi terima kasih, kupikir tiada yang mau berteman denganku," sahut Aricia."Siapa bilang? aku mengangumimu Nona Gracewill, orang dari kalangan biasa saja yang beruntung masuk ke Markas Penyembuhan karena beasiswa sepertiku ini." Pemuda itu berucap sembari mengangguk malu. "Kalau begitu, Aku akan kembali ke kamar sebelum Pengawas menemukanku, semoga tanganmu lekas sembuh Nona Gracewill." Pemuda itu beranjak pergi usai berucap.Aricia melambaikan tangannya namun setelah itu ia memasuki kamarnya kembali. Aricia melihat jar kecil berisi salep tumbuhan itu. "Setidaknya ada yang mau berteman denganku," ucap Aricia. Kala itu Aricia menaiki ranjang tidurnya kemudian lelap dalam tidurnya. Sesuatu yang aneh terjadi padanya, Aricia tidur sembari mengenakan kalung liontin milik mendiam Sang Ayah. Aricia ingat sekali jika ia terlelap dalam mimpi tapi yang tidak ia ketahui jika Liontin itu juga yang membawanya ke
"Ayo, kau masih harus melakukannya selama 30 kali lagi," ucap Tabib Agung Gilovich sedang duduk dibangku sembari menikmati secangkir tehnya. Ia sedang mengawasi Aricia yang sedang melakukan push up usai berlari sebanyak lima kali mengelilingi lapangan Markas Penyembuh. Aricia sudah bermandikan keringat menahan lelah, sudah tiga minggu ia melakukan kegiatan fisik seperti ini. Tabib Gilovich tidak memandang Aricia sebagai Perempuan untuk melatihnya dengan keras, tidak tanggung jika Aricia gagal maka ia akan dihukum. "Awww!" jerit Aricia ketika salah satu telapak tangannya terluka akibat menyentuh permukaan tanah yang berkerikil kasar itu. Tubuhnya jadi berbaring di tanah kemudian mengatur napas yang sudah tak beraturan itu. Aricia merasa lelah melakukan latihan fisik sepanjang tiga minggu ini."Apa yang kau lakukan murid bodoh! latihanmu belum selesai!" bentak Tabib Gilovich. Aricia jadi kesal. Mengabaikan kedua tangannya yang sudah dipenuhi lecet itu, dia memandangi Tabib. "Datang,
"Grace ... Gracewill, apakah kau monster? tidak ada Healer yang bisa memulihkan dirinya sendiri," ucap Alfred. Aricia terkejut kemudian menoleh pada Alfred sembari terkekeh hambar. "hahaha ... asal berlatih bisa kok," kekeh Aricia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Mustahil, kita hanya pemberi sihir penyembuhan bukan menyembuhkan diri sendiri ... kau benar-benar diluar nalar!""Ya aku setuju," sahut Ksatria Rever yang menampaki dirinya. Pria rupawan berbalut zirah itu berjalan mendekati Aricia sembari tersenyum lebar. "Ya, hai, akhirnya aku bisa menemuimu secara langsung, Ricchie," ucap Ksatria Rever."K-ksatria Suci Rever!" kejut Alfred kemudian buru-buru memberi hormat, namun sebaliknya pada Aricia yang mematung dan membelalakkan kedua matanya."Bagaimana kau bisa tahu keberadaanku?" tanya Aricia heran.Pria Muda itu terkekeh pelan. "Itu perkara mudah, seluruh penjuru Plumeria heboh berkat kedatanganmu dan mengulang tahun pelajaran kembali di Markas Penyembuh, sangat bernostalg
Aricia menatap sengit Oscar Arlo. Koridor yang gelap dan sepi membuat keuntungan bagi Oscar Arlo, menjadikannya tak bisa menghindari pertarungan. Aricia menggengam erat gagang pedangnya."Apa yang kau inginkan?" tanya Aricia.Oscar Arlo hanya menatap Aricia, sosok Gadis itu mengingatkannya dengan Vincent Gracewill, sehingga rasa dendamnya yang sirna jadi kembali muncul. "Sejak kau tiba di Markas Penyembuh, sejak kau memotong rambutmu dan sejak kau berani menantang Tabib Agung Gracewill, kau ... mirip seperti dia," ucap Pengajar Arlo.Aricia menghela napas. "Ayah maksudnya?" kekeh Aricia menikmati wajah murka Oscar Arlo. "Kenapa kau masih hidup? keturunan Gracewill." Oscar Arlo berucap dengan sengit. Aricia terdiam. Ia tak tahu harus menjawab atau menanggapi Pria itu. Bagi Aricia tidak akan ada yang memercayainya. Keberadaannya di dunia ini. Kematiannya di dunia asal dan hidupnya yang melanjutkan jati diri dari Aricia Gracewill. "Kenapa kau menanyakannya? atau jangan-jangan ...," uc
"Aku tak sabar dengan upacara ini," ucap Alfred antusias pada Aricia yang berdiri di sisi kirinya.Aricia hanya menatap lurus ke depan. Sejak tiga bulan lalu pertarungannya dengan Oscar Arlo, Pengajar itu tak pernah lagi menampaki batang hidungnya sementara itu Tabib Agung Gilovich juga tidak mengetahui keberadaannya. "Tidakkah kau antusias? Aricia, Aricia, hey kau dengar aku?" tanya Alfred tak sabaran"Aku mendengarmu." Aricia menyahut kemudian berjalan memasuki aula. Kini Aricia bersama Alfred bergabung dengan murid-murid lainnya untuk melakukan upacara dari seorang penyembuh junior jadi seorang Healer meskipun akan ada satu ujian lagi untuk meraih Healer Senior. Aricia berbaris bersama para murid lainnya dengan seragam Markas Penyembuh yang dilengkapi dengan jubah putih bersihnya. Aricia sempat dilirik sinis oleh salah seorang Healer Senior. "Kau mengulang kelas tahun ini, Gracewill?" ledeknya pada Aricia. Aricia menaikkan kedua bahunya tidak tahu. "Entahlah, kurasa iya juga, ak
Aricia berdiri tegap. Ia mulai meregangkan kedua tangannya dan kakinya. "Ah, aku tidak bisa menghindar ternyata," ucap Aricia sembari merentangkan tangan kanannya. "Datanglah, Asvaldr," perintah Aricia pada pedangnya yang sedari tadi ia tinggalkan dikamarnya.Tranggggg Asvaldr langsung berada dalam genggamannya. Aricia langsung berdiri menghadang Monster itu. "Ingat Aslvaldr jangan melukainya, okay?" ucap Aricia sembari melakukan kuda-kuda yang akan melawan Monster itu. "Manusia sepertimu memerintahku?" celetuk Aslvadr dari telepatinya. "Maaf-maaf, ini permintaan darurat," sahut Aricia sembari mengayunkan pedangnya kemudian melompat demi menghindari serangan dari Monster itu. Aricia berlari dengan cepat ke sisi yang berlawanan untuk mencari kelemahan dari monster itu. Aricia hampir saja terkena paruh Monster itu yang hendak mencabik tubuhnya beruntung Aricia memiliki refleks tubuh yang cepat. Napasnya kini tersengal dan mulai merasa kelelahan. Sedari tadi hanya menghindar tanpa ma