“Gemma, tidak mau pulang. Mau di sini.” Seharian tadi Gemma berada di rumah Ghea bersama Dean. Saat daddy-nya pulang gadis kecil itu justru tidak mau pulang. Semua orang saling tatap. Sekali pun kemarin sudah dijelaskan tetap saja hari ini lupa. Memang begitulah sifat anak-anak. Harus diberitahu dengan perlahan dan berkali-kali. “Baiklah, Gemma biarkan saja di sini.” Ghea akhirnya memilih untuk membiarkan gadis kecil itu tinggal di rumahnya. Dia yang baru saja pulang dari Klinik tepat bersamaan dengan Rowan yang menjemput Gemma. Rowan tidak bisa berbuat apa-apa ketika anaknya sudah memutuskan untuk tetap tinggal. “Baiklah, kalau begitu daddy akan pulang,” ucapnya seraya membelai lembut kepala Gemma. “Tapi, aku juga mau daddy di sini,” ucap lirih Gemma. Semua kembali saling menatap. Mereka tahu jika ini adalah sesuatu hal yang tidak mungkin. Jika Gemma saja yang tinggal itu tidak masalah, tetapi jika Rowan yang tinggal, ini akan jadi masalah. “Gemma—” “Iya, Daddy akan tinggal di
Ghea, Rowan, Gemma, Dean, Raya siap untuk pulang ke rumah masing-masing. Raya yang kebetulan ingin pulang juga memilih menumpang di mobil Dean, sedangkan Ghea berada dalam satu mobil dengan Rowan dan Gemma. Mereka memilih untuk berangkat pagi menghindari macet yang sudah menjadi biasa untuk ibu kota. Dean melajukan mobilnya. Membelah jalanan yang masih lengang. Mobilnya yang berada di belakang mobil Rowan membuatnya terus fokus mengikuti mobil Rowan.“Sepertinya aku menyerah sebelum mencoba.” Suara Raya seketika memecah keheningan. Dean menoleh pada raya. Membagi konsentrasinya pada jalanan. Dia mengerti apa yang dimaksud oleh Raya. Apalagi jika bukan tawarannya yang memintanya untuk membujuk Ghea ke Rumah sakitnya. “Iya, sepertinya kamu kalah berperang.” Dean tertawa.“Padahal tadinya aku mau bernegosiasi dengan.” Raya menekuk bibirnya. Kesal karena rencananya akhirnya gagal juga. “Negosiasi apa?” Dean justru penasaran. “Meminta bea siswa untuk adikku.” Raya tadinya ad
“Aku baru kerja di Klinik itu, secara etika tidak baik jika langsung pindah. Aku akan pertimbangkan, Dad, nanti setelah sudah cukup lama di sana. Jadi agar sama-sama enak. Jangan sampai membuat nama aku jadi jelek karena main keluar saja.” Ghea mencoba memberikan pengertiannya pada daddy-nya. “Iya, paling tidak biarkan tiga bulan Ghea di sana. Itu waktu pas untuk mengundurkan diri.” Mommy Shea kali ini sependapat dengan anaknya. “Yang dibilang Mommy benar.” Ghea senang ketika sang mommy mendukungnya. Paling tidak dia kali ini dalam posisi yang kuat untuk mempertahankan argumennya.“Apa? Tiga bulan?” Daddy Bryan meninggikan suaranya. “Tidak-tidak. Bisa-bisa duda beranak itu mendekati Ghea dengan waktu yang selama itu.” Daddy Bryan mendengus kesal. Tak akan dia biarkan putrinya di dekat orang macam itu. Ghea mengembuskan napas pasrah. Dia tahu yang dimaksud daddy-nya adalah Rowan. Entah kenapa Ghea tidak yakin dengan keputusannya untuk menerima Rowan lagi ketika melihat daddy-nya sep
Sesuai dengan janji, Ghea mengantarkan mommy-nya ke toko kue kakak iparnya. Sebenarnya toko kue itu dikelola oleh Cia, sayangnya kini Cia tinggal di London. Alhasil toko kue itu dikelola oleh Kak Freya-kakak ipar Ghea sekaligus kakak Cia sendiri. “Kamu benar-benar mendengarkan kata daddy bukan?” Pertanyaan itu memecah keheningan di dalam mobil. Ghea yang sedang fokus menyetir pun menoleh pada sang mommy yang sedang berbicara. Membagi konsentrasinya pada jalanan yang dilaluinya. “Tentang apa?” tanya Ghea. “Tentang pria yang punya anak itu.” Ghea terdiam. Yang dimaksud mommy-nya pastinya adalah Rowan. Saat membahas Rowan, dia tidak tahu harus mulai dari mana. Mengingat terlalu rumit untuk dijelaskan. Ghea sendiri yang mengatakan jika Rowan memiliki istri. “Mom, semua tidak seperti yang mommy bayangkan.” Ghea mencoba mencari celah untuk menjelaskan. “Memang apa yang mommy bayangkan?” tanya Mommy Shea yang menatap anaknya lekat. “Kemarin, aku bilang bukan jika dia sudah punya istr
Setelah perjalanan yang cukup macet, akhirnya mereka sampai di rumah Dean. Dari dalam mobil dia memerhatikan mobil siapa saja yang berjajar di depan rumah orang tua Dean. Ghea memerhatikan mobil itu adalah milik, Al-kakak sepupunya, El-kakaknya, Daddy Regan-daddy dari Al, Papa Felix-papa dari kakak iparnya, dan dua mobil lagi yang Ghea tidak tahu. Dia yakin itu adalah mobil teman Papa Erik. Dari mobil yang terparkir itu tidak ada mobil Rowan. 'Apa jangan-jangan Dean sudah memindahkan Rowan ke hotel?' Ghea menebak hal itu ketika tidak menemukan mobil Rowan tidak terparkir di rumah Dean. “Ghe, ayo turun.” Mommy Shea yang melihat Ghea hanya duduk manis dan tidak bergeming ketika mobil berhenti, langsung memanggilnya. “Iya,” jawabnya ketika mendengar panggilan dirinya. Mereka semua masuk ke rumah. Menekan bel dan menunggu pintu dibuka. Saat pintu dibuka, tampak Dean yang membuka pintu.“Selamat datang.” Dean dengan semringahnya menyambut keluarga Ghea. Melihat wajah dengan penuh sen
“Mommy.” Gemma yang melihat Ghea ada di pesta itu langsung berlari.Semua orang yang melihat pemandangan itu terperangah. Mereka saling menatap siapa gerangan yang dipanggil mommy oleh anak kecil itu. Alangkah terkejutnya jika ternyata yang dipanggil mommy itu adalah Ghea. Gadis kecil yang berlari tadi langsung memeluk Ghea, itu artinya yang dimaksud mommy adalah Ghea. Daddy Bryan, Mommy Shea, El, dan Freya sudah tahu jika yang dimaksud oleh Gemma adalah Ghea, sedangkan yang lain belum ada yang tahu sama sekali tentang panggilan yang disematkan Gemma. Hal itu membuat mereka semua jadi bingung. “Gemma kenal Aunty Ghea?” Mama Lyra dengan lembut membelai rambut Gemma. “Ini mommy Gemma, Bu dokter, bukan aunty.” Mata kecil bocah lima tahun itu tidak suka Ghea dipanggil aunty. Setahunya memang Ghea adalah mommy-nya. “Jadi ini mommy Gemma?” Mama dari Dean itu memastikan kembali. “Iya,” jawab Gemma mengangguk pasti.Mama Lyra hanya tersenyum saja. Dia masih bingung dengan situasi yang ad
Daddy Bryan menatap tajam pada Rowan. Dia benar-benar tidak suka dengan kehadiran Rowan, tetapi sayangnya dia adalah tamu Papa Erix. “Hai, Aku Felix Julian.” Felix lebih dulu mengulurkan tangan. Dia tidak tahu jika yang dimaksud oleh temannya kala itu adalah pria di depannya. “Saya Rowan. Senang bertemu dengan Pak Felix.” Rowan tersenyum seraya mengulurkan tangan. Daddy Bryan terdiam. Dia tak bergeming sama sekali ketika melihat Rowan. Dia masih merasa kesal karena Rowan mendekati anaknya. “Apa kabar Pak Bryan?” Rowan mengulurkan tangan pada Daddy Bryan. Daddy Bryan masih tak merespon. Dia memilih diam saja. Hingga akhirnya Papa Felix menyenggolnya. Meminta temannya itu untuk menerima uluran tangan. “Aku baik.” “Kalian sudah kenal?” tanya Papa Erix. “Oh … iya, mungkin karena kamu teman Ghea jadi kamu sudah kenal.” Papa Erix pun menebak. “Iya, saya mengenal dari Ghea.” Rowan pun membenarkan. “Baiklah, ayo aku akan kenalkan dengan yang lain.” Papa Erix membawa Rowan bertemu
Ghea terperangah mendengar apa yang diucapkan oleh Rowan. Rasanya Ghea ingin tenggelam di dasar samudra hingga membuatnya tidak menemukan dirinya. Tatapan semua orang yang mengarah padanya membuatnya tak bisa mengatakan apa-apa. Apalagi tatapan sang daddy yang bagai menghujam ke jantungnya. Membuat jantungnya seketika berhenti berdetak. Daddy Bryan yang mendengar apa yang diucapkan oleh Rowan begitu geram. Rahangnya mengeras menahan semua amarahnya, tetapi tatapan tajamnya pada sang anak tak bisa dielakan. Bagi Daddy Bryan, Rowan melewati batasannya. Sebagai pria yang beristri dia tidak bisa melamar anaknya begitu saja. Mommy Shea menatap sang suami. Menyadari jika sang suami sedang dirasuki dalam amarah yang luar biasa. Mommy Shea menatap lekat wajah suaminya itu. Tatapan itu diartikan Daddy Bryan agar mengontrol diri, mengingat jika ada klien Papa Erix yang juga ada di sini. Melihat tatapan dari istrinya, Daddy Bryan berusaha mengontrol dirinya. “Kamu bisa saja bercanda.” Daddy B