Ghea terperangah mendengar apa yang diucapkan oleh Rowan. Rasanya Ghea ingin tenggelam di dasar samudra hingga membuatnya tidak menemukan dirinya. Tatapan semua orang yang mengarah padanya membuatnya tak bisa mengatakan apa-apa. Apalagi tatapan sang daddy yang bagai menghujam ke jantungnya. Membuat jantungnya seketika berhenti berdetak. Daddy Bryan yang mendengar apa yang diucapkan oleh Rowan begitu geram. Rahangnya mengeras menahan semua amarahnya, tetapi tatapan tajamnya pada sang anak tak bisa dielakan. Bagi Daddy Bryan, Rowan melewati batasannya. Sebagai pria yang beristri dia tidak bisa melamar anaknya begitu saja. Mommy Shea menatap sang suami. Menyadari jika sang suami sedang dirasuki dalam amarah yang luar biasa. Mommy Shea menatap lekat wajah suaminya itu. Tatapan itu diartikan Daddy Bryan agar mengontrol diri, mengingat jika ada klien Papa Erix yang juga ada di sini. Melihat tatapan dari istrinya, Daddy Bryan berusaha mengontrol dirinya. “Kamu bisa saja bercanda.” Daddy B
Semua orang terkejut dengan yang dilakukan oleh Rowan. Bisa-bisanya dia melakukan hal itu demi hanya untuk mendapatkan Ghea. Padahal jelas-jelas sejak awal Rowan menjelaskan jika Rowan adalah daddy Gemma. “Rowan, jangan melakukan hal seperti itu hanya untuk mendapatkan Ghea, itu bisa menyakitkan Gemma.” Mommy Shea merasa tidak masuk akal apa yang dikatakan oleh Rowanm, mencoba mengingatkan.“Mom, yang diucapkan Rowan memang benar. Jadi biarkan kami menjelaskan lebih dulu.” Ghea memberikan pembelaan pada Rowan. “Sudah-sudah cukup. Kalian benar-benar sudah keterlaluan.” Daddy Bryan kali ini tidak mau mendengarkan lagi. “Ayo, Sayang, kita pulang saja.” Daddy Bryan menarik tangan istrinya. Berlalu meninggalkan rumah Papa Erix. “Mom, Dad.” Ghea mengejar kedua orang tuanya. Papa Erix dan Mama Lyra yang kembali dari mengantar klien pulang, melihat suasana begitu kacau di taman belakang. Padahal baru sebentar mereka tinggal. Mereka melihat Daddy Bryan dan Mommy Shea bersiap untuk pulang,
“Aku sudah mendengarkan mereka, lalu mau apa lagi?” Daddy Bryan yang melihat Papa Erix kembali menarik tangannya. “Kamu sudah mendengarkan penjelasan dari mereka, tetapi kamu belum mendengar penjelasan dari aku dan Lyra bukan?” tanya Papa Erix. Dahi Daddy Bryan berkerut dalam. Penjelasan apa yang dimaksud oleh temannya itu, dia tidak mengerti sama sekali. “Memang kamu mau menjelaskan apa?” tanyanya. “Duduklah dulu!” pinta Papa Erix. “Jika ini—” “Duduklah dulu, Bry,” pinta Papa Erix kembali.Daddy Bryan kembali duduk. Dia tidak mengerti penjelasan apa yang akan diberikan oleh temannya. Mommy Shea pun yang berniat untuk mengikuti suaminya pun ikut mendudukkan tubuhnya. “Cepat! Apa yang ingin kamu katakan.” Daddy Bryan sudah tidak sabar menunggu apa yang dijelaskan oleh Papa Erix. Papa Erix menoleh pada istrinya. Kemudian mendapatkan anggukan dari istrinya itu. “Yang dikatakan Rowan adalah kenyataan. Dia memang belum menikah dan Gemma adalah anak kakaknya.” Dia pun menjelaskan apa
Ghea hanya bisa menggeleng heran dengan apa yang dilakukan daddy-nya. Dia pikir sang daddy akan tersentuh seperti yang lain, tetapi nyatanya tidak. Hal itu membuat air matanya mengalir.“Jangan dimasukkan hati apa yang dilakukan daddy. Mungkin dia butuh waktu untuk menerima kenyataan ini.” El yang melihat adiknya menangis pun langsung berusaha menenangkan. Mommy Selly pun langsung menghampiri keponakan yang sudah dianggapnya anak sendiri itu. “Aku tahu dia sedang merasakan hal yang sama dengan kita, hanya dia tidak bisa mengungkapkan seperti kita. Benar kata El, dia butuh waktu untuk menerima semua,” ucapnya membelai lembut rambut Ghea. Ghea hanya bisa membenamkan di dada sang mommy. Baginya, Mommy Selly adalah mommy keduanya. Dia benar-benar kecewa dengan tanggapan daddy-nya. Bagaimana bisa hubungannya berlanjut jika daddy-nya bersikap seperti ini.“Terima kasih Dr. Erix dan Dr. Lyra sudah menjelaskan semua.” Rowan menatap Papa Erix dan Mama Lyra. Tidak menyangka jika mereka akan m
Ghea menuruni anak tangga. Dari kejauhan dia melihat sang mommy sedang sibuk di dapur membuatkan kopi. Seperti yang dikatakan oleh kakaknya, dia harus membujuk sang mommy terlebih dahulu, agar sang mommy berada di pihaknya dan dapat membantu. Dengan segera Ghea menghampiri mommy-nya. “Pagi,” sapanya. “Pagi.” Mommy Shea tersenyum. Seperti biasa senyumannya itu selalu menghiasi hari-harinya. “Mom,” regek Ghea. Tanpa Ghea mengatakan apa-apa seorang ibu selalu tahu yang dirasakan anaknya. Pun dengan Ghea kali ini. Dia tahu anaknya sedang sangat sedih karena perihal semalam. “Apa?” tanyanya pura-pura ingin tahu. “Apa Mommy tidak percaya yang dikatakan Rowan?” Ghea mendekat. Berada di tepat di belakang sang mommy menyandarkan dagunya di bahu sang mommy. Mommy Shea menahan senyuman muncul di wajahnya. Ingin melihat usaha anaknya sebesar apa lebih dulu. “Mama Lyra dan Papa Erix sudah mengatakan juga yang mereka ketahui. Apa Mommy masih belum yakin?” Ghea melanjutkan ucapannya. “Lalu k
Di saat kedua orang tuanya di taman belakang, Ghea yang berada di dalam rumah mencoba menghubungi Rowan. Untuk sesaat telepon tidak terhubung, hingga akhirnya Gemma yang mengangkat sambungan telepon. “Hello, Mommy,” ucap Gemma dengan suara khas anak kecil. “Hello, Sayang, apa daddy ada?” tanya Ghea pada Gemma. “Daddy sedang mandi.” “Oh … ya sudah, sampaikan pada daddy untuk membawa Gemma ke rumah grandpa dan grandma.” Ghea memilih untuk menyampaikan pesan itu. “Ye … ke rumah grandpa … ke rumah grandma.” Gemma tampak senang. Ghea tersenyum ketika mendengar suara yang begitu riang dari Ghea. “Baiklah, Sayang, sampai jumpa.” “Da … Mommy.” Ghea mematikan sambungan telepon. Dia berharap jika Gemma akan menyampaikan pada Rowan untuk datang ke rumah. ***Rowan keluar dari kamar mandi dengan menggosok rambutnya yang basah. Dilihatnya anaknya sedang memegang ponselnya di tempat tidur. “Siapa yang telepon, Gem?” tanyanya. “Mommy.” Gemma menjawab dengan senyuman d
Rowan melajukan mobil Daddy Bryan. Tidak ada yang memulai bicara. Hingga akhirnya Rowanlah yang memulainya. “Apa ada kerusakan, Pak?” tanya Rowan menoleh sejenak. Membagi konsentrasinya dengan jalanan. “Bagian mana?” Rowan begitu ingin tahu. Sesama pria dia tahu sedikit tentang mobil. “Hati.” Tanpa sadar jawaban itu yang keluar dari mulut Daddy Bryan. Rowan mengerutkan dahinya. Bingung dengan yang sedang dibahas oleh Daddy Bryan. Padahal jelas yang dibahas adalah mobil dan tidak mungkin salah mendengar. “Maksudnya?” tanyanya. Daddy Bryan yang menyadari jika salah bicara pun memilih mengalihkan pembicaraan. “Hati-hati maksud aku, kamu bicara terus sedari tadi. Aku masih mau hidup lama. Masih mau menimang anak Ghea. Jika aku mati sekarang karenamu, semua impianku sirna.” Bisa saja Daddy Bryan mengelak. “Jika Anda mati karena kecelakaan, artinya saya juga. Artinya Ghea akan jadi janda sebelum menikah.” Rowan tersenyum tipis. Kali ini dia tanpa menoleh sama sekali. Pandanganny
Mereka berdua menikmati kopi. Daddy Bryan memang pencinta kopi. Berbeda dengan putranya yang lebih suka teh. Menikmati sesapan kopi yang dibuat Rowan membuat Daddy Bryan merasakan kenikmatan. Banyak kopi yang pernah diminumnya, tetapi tidak ada yang senikmat ini. “Bagaimana, Pak, apa enak?” tanya Rowan yang menatap Daddy Bryan. “Lumayan tidak mengecewakan. Rowan tersenyum tipis. Dari ekspresi Daddy Bryan tadi saat meminum kopi, Rowan tahu jika sang daddy begitu menyukai kopi buatannya, tetapi terlalu gengsi untuk mengatakannya. “Kopi memang harus dibuat dengan benar. Dari komposisi bahan dan dari waktu yang ada. Jika waktunya terlalu lama hasilnya pun tidak enak.” Daddy Bryan tahu sedikit tentang kopi, jadi dia mengerti yang dijelaskan oleh Rowan. “Seperti halnya cinta, komposisinya juga harus pas. Wanita yang mencintai dan pria yang mencintai. Sebagai pelengkap adalah restu orang tua. Maka jadilah pernikahan itu akan jadi bahagia.” Rowan menatap Daddy Bryan. Dia mengibaratkan di