‘Aneh tapi nyata, gadis itu mulai sedikit menyukainya. Ia suka akan perasaan menggelitik yang muncul tiap kali dirinya mendapat perlakuan manis dari kakak tirinya.’ *** Mata pemuda itu langsung membulat sempurna ketika melihat nama yang tertera dari layar ponselnya. “Ayah?” Sebelum mengangkatnya, Adam melempar manik hitamnya ke arah Pricillia, mengamati sejenak gadis yang saat ini duduk termangu di atas ranjang yang hampir menjadi tempatnya melampiaskan hawa nafsu. Entah kenapa, tatapan intensnya membuat gadis itu sedikit salah tingkah hingga reflek mengencangkan balutan selimutnya di sekujur tubuhnya. Pemuda mix-raced itu kembali memfokuskan pandangannya ke layar ponselnya. Ia usap lembut layar ponselnya untuk mengangkat sambungan telepon dari sang Ayah— “Halo.” [Halo, Adam. Maaf mengganggu waktumu ya.] Terdengar suara pria paruh baya dari seberang sana. [Begini, setelah mempertimbangkannya sejenak, Ayah dan Ibu sepakat untuk menghabiskan waktu dengan kalian sebentar sebelum
‘Dunianya yang semula damai, kini porak poranda akibat kebejatan pemuda yang telah resmi menjadi kakak tirinya itu.’ *** “Pricillia ….” Suara berat Adam kini menyebut namanya. Sorot mata pemuda itu kembali memancarkan makna tersirat pada si pemilik nama. Tatapannya begitu dalam, mengandung seribu makna yang mampu menghipnotis banyak wanita untuk ‘bermain’ dengannya di atas ranjang dengan sukarela. Satu tangan kekarnya yang ia gunakan untuk memegang stir mobil, kini berpindah ke wajah gadis yang sudah resmi menjadi adik tirinya. Perlahan ia singkirkan helaian rambut yang menghalangi wajah cantiknya, kemudian ia belai lembut kulit mulusnya yang telah menjadi tempat baginya menghujani ribuan kecupan mesra. Sentuhan tangan Adam kembali memberikan sensasi menggelitik pada Pricillia untuk yang kesekian kalinya. “Hari ulang tahunmu minggu depan ‘kan?” tanya pemuda itu kemudian. Seketika itu juga, kedua manik Pricillia membulat dengan sempurna. Ia tidak menyangka kalau kakak tirinya ta
‘Meski sorot matanya tersirat sebuah emosi yang menggebu-gebu, tapi tetap saja tidak ada yang bisa menebak isi pikirannya. Karena pemuda berpredikat womanizer itu selalu bertindak secara spontan dan penuh kejutan.’ *** Tap tap tap— Setibanya mereka di terminal, terdapat beberapa LCD monitor yang menampilkan jadwal keberangkatan dari New York ke berbagai kota maupun negara. Di layar tersebut juga menampilkan jam keberangkatan kedua orang tua mereka ke Honolulu. Selang beberapa menit kemudian, terdengar suara pengumuman. [Selamat sore penumpang. Ini adalah pengumuman pra-boarding dengan nomor penerbangan HA051 ke Honolulu. Kami sekarang mengundang para penumpang dengan anak kecil, dan setiap penumpang yang membutuhkan bantuan khusus, untuk mulai menaiki pesawat pada saat ini. Harap siapkan boarding pass dan identifikasi Anda. Boarding reguler akan dimulai dalam waktu sekitar sepuluh menit. Terima kasih.] “Baiklah, sudah waktunya kita berangkat,” ujar Thomas sembari melihat ke arah
‘Warna hitam legam pada gitar akustik tersebut tampak begitu mempesona sekaligus mengingatkannya pada seseorang.’ *** “Semua keputusan ada di tanganmu. Jadi, pikirkanlah baik-baik.” Tanpa berkata-kata lagi, Adam langsung menyalakan mesin mobilnya dan melaju keluar dari tempat parkir bandara menuju unit apartemennya dengan kecepatan normal. Sama seperti di awal, sepanjang perjalanan tidak ada suara apapun. Hanya ada keheningan yang menemani mereka. Sepasang saudara tak sedarah itu memilih untuk fokus pada kegiatan masing-masing. Adam fokus mengemudi, sedangkan Pricillia memfokuskan pandangannya pada jendela mobil memandangi langit yang kini sudah kehilangan cahayanya. . . . Setibanya di gedung apartemen yang ditempati Pricillia, Adam menghentikan laju mobilnya tepat di depan gerbang apartemen tersebut. Tanpa menoleh, pemuda itu menyuruh adik tirinya untuk keluar dari dalam mobilnya. “Kita
‘Sorot matanya tiba-tiba saja berubah menjadi tajam, tersirat perasaan cemburu dan amarah yang begitu dalam.’ *** “Apa kamu menyukainya?” Suara berat yang begitu familiar memenuhi gendang telinganya. Yakni, suara khas pemuda bermanik hitam legam yang saat ini berdiri tepat di sampingnya. Seketika itu juga, manik biru langit Pricillia membulat sempurna, bahkan peluh mulai mengalir dari ujung dahinya membasahi wajahnya yang kini memucat. Begitupun dengan David yang juga diam mematung, tak berani menatap atau bahkan bergerak sedikitpun. Bukan tanpa alasan pemuda bermanik emerald itu begitu ketakutan. Saat ini, Adam sedang menatap tajam dirinya. Sorot mata sang womanizer itu penuh dengan amarah dan emosi yag menggebu-gebu, seolah mampu mencekik bahkan menebas lehernya saat itu juga. Membayangkannya saja sudah membuat jantungnya hampir merosot dari tempatnya. “Apa Anda tertarik untuk membeliny
‘Menjauhlah dariku, gadis bisu! Apa kamu tidak sadar kalau keberadaanmu membuatku sesak!?’ *** “Kenapa kamu pergi dengan pria itu?” Pertanyaan Adam membuat Pricillia semakin beringsut mundur ke tepi kasur. Kedua manik biru langitnya kembali bergetar menyiratkan perasaan takut ketika mendapati pemuda mix-raced itu perlahan mendekatinya dengan sorot mata yang sama seperti saat malam pertemuan pertama mereka di mana pemuda itu tega menyetubuhinya. Ia tahu kalau kakak tirinya itu akan berbuat macam-macam padanya sebentar lagi. Untuk menghindari hal yang tak diinginkan, gadis itu beranjak dari atas kasur dan berlari secepat yang ia bisa ke arah pintu unit. Namun, baru saja Pricillia membuka pintu unitnya, dari dalam kamar Adam berseru dengan lantang, “Kartu aksesmu ada padaku!” Gadis bersurai hitam itu sontak menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sang womanizer yang kini sudah berdiri
‘Alunan biola yang terdengar cukup jelas di gendang telinganya, berhasil mengiringinya ke dalam sebuah kenangan masa kecilnya bersama sang Ibu.’ *** Suasana lorong kampus seketika menjadi sunyi senyap. Tampak semua mata tertuju pada dua orang yang saat ini sedang dalam keadaan yang tidak baik, Pricillia dan David. Raut wajah gadis bermanik biru langit tersebut langsung berubah menjadi mendung, seolah kehilangan sinarnya. “Berhenti menggangguku! Asal kamu tahu saja, alasan aku mau berteman denganmu hanya karena aku mengasihanimu, tidak lebih!” Usai melampiaskan rasa frustasinya, pria bermanik emerald itu langsung pergi meninggalkannya begitu saja. Sementara itu, Pricillia hanya diam, lidahnya terasa kelu. Dadanya bagaikan tersayat pisau bermata dua, begitu menyakitkan sampai ke ulu hati. Ia tak menyangka kalau hari ini ia akan kehilangan teman satu-satunya di kampus ini. Sungguh memilukan, dan ju
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. ‘Hanya malam ini saja, ia ingin tahu bagaimana dan seperti apa itu cinta.’ *** Saat Pricillia hendak membuka kedua matanya, sebuah ciuman mendarat tepat di bibirnya. Sebuah ciuman yang dilakukan oleh Adam, kakak tirinya itu berhasil mengantarkan sensasi berdebar yang berbeda dari biasanya. Kali ini disertai sensasi menggelitik di sekitar perutnya. Terasa baru, namun anehnya itu tidak mengganggunya sama sekali. Sebaliknya, ia menyukai perasaan ini. Kedua manik biru langitnya langsung membulat dengan sempurna ketika merasakan benda lunak tak bertulang milik kakak tirinya melesat masuk dan bertukar saliva dengannya. Namun, kelihaian Adam berhasil menghanyutkan Pricillia untuk mengikuti permainannya ke tahap yang lebih panas lagi. Di sela-sela sesi bercumbu, Adam tampak membisikan sesuatu. Hembusan napasnya menggelitik kulit, memberi sang gadis sebuah sensasi baru. Seketika suasa