Teh Kotak, Twisko, es krim dan cokelat, lalu apa lagi, ya? Danish tidak benar-benar mengetahui apa saja makanan kegemaran Sayna dan apa yang kira-kira tidak disukainya. Memegang kantong plastik dan paper bag keemasan yang berisi seserahan dari ibunya, Danish berdiri di depan pagar hitam bangunan 2 lantai yang dia ketahui sebagai rumah Sayna, calon pacarnya.
Danish mengenakan jaket khas kurir pengantar yang dia pinjam dari Anggun karena abangnya Anggun seorang driver ojek online demi berkamuflase untuk bertemu Sayna hari ini. Namun yang dilakukannya setelah sampai adalah, berdiri mematung dengan tangan berkeringat menjinjing kantong-kantong hadiah. Danish ragu-ragu, dia harus bagaimana sekarang? Apa memencet bel adalah ide bagus?
Dia juga tidak tahu. Dan ponsel sialannya mati, bagaimana caranya Danish meminta Sayna untuk turun? Danish tahu kamar gadis itu ada di lantai dua.
“Paket, Mas?”
Danish terperanjat—nyari
Herdian dan Arvin berlarian dari arah kantin dengan segelas es teh manis cap mpok Jenab dan roti isi kacang merah yang biasa Danish beli. Sementara itu, di sisi kirinya Hamam tengah mengipas-ngipasi Danish dengan topi sekolah, di sisi kanan ada Rafid yang mengelap butiran keringat di dahi Danish memakai handuk cap merah putih.Suasana kelas 2 IPA 3 pagi itu benar-benar berbeda, karena pukul 8 pagi tadi Danish seperti kerasukan Jungkook BTS muncul di tengah-tengah lapangan upacara lalu ikut berbaris bersama teman-teman sekelasnya. Sebuah keajaiban luar biasa melihatnya merelakan diri berjemur tanpa riasan seperti donat gula dan berbaris dengan tenang dalam upacara bendera hari Senin pagi. Meskipun setelahnya, Danish menggelepar seperti ikan kekurangan air, seperti musafir di padang pasir.“Nish, minum nih minum.” Herdian menyodorkan es teh manis ke hadapan teman sekelasnya yang terkenal sebagai idola SMA Nyusu dengan wajah panik. Nyaris setahun satu kelas de
Jagakarsa ke Kemang Raya membutuhkan waktu tempuh sekitar 18 sampai 20 menit lewat Jalur-Jalur tertentu. Dan berhubung Michiko masih memakai plat nomor sementara, Danish harus pintar-pintar menyiasati jalan-jalan tikus dari sekolah ke rumah Sayna demi menghindari polisi. Karena sejatinya plat nomor sementara tidak boleh dipakai oleh kendaraan baru dengan jangkauan jarak tertentu. Dan Danish membawa Michiko terlalu jauh.“Say,” panggil Danish saat mereka berhenti di lampu merah dengan untaian kendaraan berjejer yang tidak manusiawi lagi di hadapan.“Apa?” Sayna mendekat ke bahu sebelah kirinya, dan helm mereka beradu karena hal itu.“Gue sayang sama lo.” Danish tersipu-sipu. Ditatapnya gadis itu lewat spion dan terlihat sama tersipunya.“Gue juga,” bisik Sayna pelan. Suara kendaraan di seberang mereka meredamnya, tapi Danish masih bisa mendengar suara gadis itu dengan jelas. “Banget malah,” imbuhn
“Oh, begini ya rupanya kelakuan di luar rumah. Pulang sekolah pacaran di pom bensin!” Sayna dan Danish kontan menoleh saat seorang bocah ingusan mengendarai Vario putih dan helm cokelat susu memepet jalan mereka dari sisi kanan. Dan yang Danish ingat tentang anak itu adalah, mata sipit serta rambut lurusnya yang bagus, mirip dengan Sayna. “Siapa yang pacaran di pom bensin?” Sayna nyolot sambil menoyor kepala adiknya yang berbalut helm. “Pulang lo!” Dia membentak. “Teteh yang harus pulang, buruan turun! Pulang sama aku. Aduin ke ibu nih.” “Heh!” “Hai.&rdqu
“Tuh, dia datang. Gue ke perpus dulu, Say. Kalau lo sempet nanti susul aja.”“Oke.” Sayna mengangguk sambil mengacungkan ibu jari di udara, sementara matanya sibuk memindai deretan kalimat dari cerita fiksi dalam buku yang terbuka di atas mejanya sekarang. Dia baru mendongak saat bunyi kursi plastik di hadapannya bergeser tanda ditarik oleh seseorang.“Udah laper? Tumben jam segini ngajak ke kantin.”“Haus,” ujar Sayna, mengisyaratkan tatapan matanya pada kemasan Teh Kotak yang bertengger di sebelah kiri meja. “Jadi lo mau tetap terlibat dalam organisasi geng Kobang itu?” tembaknya langsung, setelah tadi susah payah menahan diri dan meminta Danish tidak lagi terlibat dalam hal tercemar seperti itu.“Salah satu syarat kalau gue mau keluar, ya gue harus tetap bayar uang kas bulanan.”Apakah benar begitu? Sayna baru tahu bahwasannya geng sekolah abal-abal itu ternyata memiliki sus
“Gombal anjir!” Sayna mendorong pelan bahu Danish dan tertawa geli. Kesempatan sekali menjauhkan diri dari pemuda itu karena dia kelelahan sejak tadi menahan diri dan juga suara jerit-jerit di hati sebab Danish menyentuh—mengelus-elus wajahnya untuk pertama kali. Ya, meskipun itu dalam rangka meratakan sunblock, bukan karena hal lain.“Gue suka sama lo 100%, banyakan gue.” Gadis itu kembali buka suara karena Danish diam saja. Dia hanya senyum-senyum seperti orang gila.“Kita kan beda.” Danish melipat tangan di dada. “Lo tahu kan, bedanya gue sama lo?”“Beda gender?”“Salah.” Dia menggelengkan kepala. “Lo itu you, kalau gue yours.”“Apa sih, Danish? Geli ih!”Keduanya terkekeh dan menjauh dari ruang cuci, berjalan menuju lapangan sepak bola di bagian utara gedung sekolah, tempat di mana anak-anak klub taekw
Setelah ciuman dadakan itu, rupanya ada yang lebih merepotkan daripada debar di dada Sayna. Danish—partner ciumannya, mendadak demam dan seluruh wajahnya memerah dengan mata sayu yang susah payah dia sembunyikan. Apa bersentuhan bibir dengan Sayna membuatnya sampai seperti itu? Apa Sayna menularkan virus kepadanya? Tapi kan dia sedang tidak sakit, Sayna juga sudah gosok gigi. Jadi Danish kenapa, sih?“Nish...” panggil Sayna sambil menggoyangkan lengan teman sekelasnya itu. Danish memejamkan mata di bangku panjang dekat parkiran, rencananya mereka akan pulang tapi dia bilang tunggu sebentar, dan ini sudah lebih dari 10 menit. Danish di sebelahnya menyandarkan kepala ke sandaran kursi dengan kelopak mata tertutup rapat.Sayna diam-diam memperhatikannya dari sisi sebelah kiri, pasti Danish sudah kelelahan dipuji ganteng selama dia hidup, tapi jika pemandangan yang dilihat orang lain adalah figur seperti ini, mana mungkin pujian itu berhenti meng
“Dek, kenapa?”Sayna memperhatikan interaksi anak dan ibu yang baru pertama kali dia lihat saat ini di depan matanya. Begitu turun dari sepeda motor dan menuntun Danish berjalan masuk rumah, seorang wanita dengan setelan kemeja dan celana kulot berwarna salem muncul tergopoh-gopoh menyambut kedatangan mereka. Sayna bisa menebak bahwa wanita itu adalah ibu kandung Danish, Melia Adiswara, pengusaha laundry terkaya di Indonesia yang sering masuk berita dan majalah enterpreneur nasional.Jika ibunda di rumah selalu mengenakan daster batik dan ke kantor memakai seragam, maka ibunya Danish tipe yang terlihat siap kapan saja meski di rumah sekalipun. Dia bisa tinggal menenteng tas dan keluar rumah begitu saja dengan pakaian apa pun yang menempel di tubuhnya saat ini tanpa perlu berdandan sama sekali. Sebab, ibu kandung Danish sangat cantik.Rambut pendek, hidung mancung, kulit yang sehat terawat serta wangi semriwing di udara tercium dari
Sayna refleks menunjuk dada dengan telunjuk dan bertampang tolol saat ini.“Kamu?” Beliau memastikan dan Sayna mengangguk ragu. “Sayna boncengin Danish naik motor karena dia sakit dan dibawa ke klinik terus dianterin ke rumah dan dituntun jalannya sampai ke depan pintu buat dikasihin ke tante?”Dikasihin? Memangnya Danish boneka? “I...iya, Tan...te.” Sayna mendadak gagu.“Ya ampun! Kenapa nggak pacaran aja, sih?”Hah? Sayna kontan memiringkan kepala dan memasang ekspresi tak percaya mendengar penuturan itu. Sementara Sayna kebingungan dengan pertanyaan barusan, Melia justru tertawa lepas dan tampak bahagia meski di sebelahnya sang anak tengah demam tinggi, belum sempat diobati.“Aduh, gemesin banget anak-anak ini.” Ibu kandung Danish itu kembali bersuara. “Nish, hei... Nish... pelet bunga pacar kita kayaknya berhasil, tuh.”Melia menepuk-nepuk p