Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3 Kalau berkenan follow I6 author ya... @MeowMoe21 @_meowmoe_
“Apa semuanya aman?” tanya Steven setelah melihatku keluar dari kamar.Aku menanggapinya dengan tawa canggung saat merasa kalau dia benar-benar peduli padaku yang selalu mengkhawatirkan uang di dalam brankas dan lemari pakaian sepanjang 'kencan' kami tadi. 'Kupikir dia ingin mengejekku.'“Sepertinya aman.”“Senang mendengarnya. Saya lupa memberitahu. Mereka akan mengantar sisa perabotannya besok,” ucap Steven lagi sambil menatap beberapa perabotan penting yang sudah di antar terlebih dahulu bersama banyak perabotan kecil yang masih tersimpan rapi di dalam kardus.Aku ikut memerhatikan barang-barang besar yang sudah tersusun rapi di tempat-tempat yang sangat pas hingga rumah kecil kami tidak terlihat sesak. 'Dia pandai memperhitungkan tata letak barang dalam ruangan sesempit ini. Lumayan juga.'Aku menoleh lagi, menatap Steven yang kini sedang membongkar kardus-kardus, mengeluarkan perabotan-perabotan kecil dari sana. Aku pun menghampiri dan membantunya.“Boleh aku bertanya?” kataku set
Aku berpikir sejenak ingin memantapkan hatiku —jika memang harus mengembalikan uang 2 miliar darinya.Dengan suara pelan aku berbicara lagi, “Harusnya kau tidak perlu melakukan sejauh itu. Bagaimana dengan orang tuamu? Jangan katakan kau menjual tanah orang tuamu secara diam-diam lalu melarikan diri ke kota untuk menikah dengan wanita yang tidak kau kenal,” ucapku sembari menyipitkan mata mengawasi ekspresinya.Aku rela mengembalikan uang yang dia berikan padaku kalau uang itu didapatnya dari hasil menjual tanah warisan keluarga, apalagi jika dia mendapatkannya dengan cara mencuri sertifikat milik orang tuanya. Jika aku jadi dia, aku tentu tidak akan melakukannya hanya untuk pernikahan konyol seperti ini.Aku rela melakukannya —mengembalikan uang— karena aku juga merasakan bagaimana sulitnya mempertahankan tanah dan rumah kami agar tidak dijual ibu tiriku. Aku bisa membayangkan bagaimana rasa kecewa kedua orang tuanya saat tahu jika dia melakukan hal tersebut pada mereka.Steven mengan
“Saya tidak tahu Anda suka roti isi sebagai sarapan pagi atau tidak. Tapi cuma itu yang bisa saya buat dari apa yang kita beli kemarin," ucap Steven lalu tersenyum hangat sembari menunjuk ke belakangku.Aku menoleh ke meja makan baru kami dan melihat ada sepiring sandwich di bawah tudung transparan.“Jangan khawatir, aku pemakan segalanya. Maksudku, terima kasih.”Aku menghampiri meja makan dan memeriksa sandwich yang ternyata memiliki isi sangat lengkap seperti sandwich buatan restoran dekat kantorku yang sering kukunjungi untuk sarapan.'Apa di desanya menu sarapannya juga seperti ini? Ah... aku lupa. Orang dengan banyak uang sepertinya sudah pasti tahu makanan jenis ini.'Aku menggigit roti isinya dan wah...'Ini mirip seperti yang biasa ku makan di restoran langgananku.'“Ini enak... terima kasih.”Tidak ada jawaban darinya. Dia sepertinya sangat fokus mengebor dinding untuk memasang besi gorden. Lagian suara mesin pengebornya juga sangat berisik. Dia pasti tidak mendengarku.Seben
Baru saja keluar rumah, kami sudah langsung bertemu dengan tetangga seberang jalan yang langsung melambaikan tangan pada kami, tepatnya pada Steven, karena mereka memanggil nama Steven juga setelahnya."Nak Steven..."'Mereka sudah berkenalan?'Steven mengajakku mampir sebentar untuk menyapa pasangan paruh baya itu. Aku hanya memperkenalkan diri seadanya lalu berdiam diri setelahnya. Bukan karena aku anti bersosialisasi, namun karena aku memang sudah terbiasa tidak bergaul lagi dengan para tetangga.Semuanya dimulai sejak 5 atau 6 tahun lalu. Pertanyaan para tetangga kami di rumah ayahku mengenai “kapan aku menikah” itulah yang sebenarnya membuatku berhati-hati untuk tidak bergaul dengan mereka lagi.Aku sedikit takjub saat mendengar dan memerhatikan cara Steven berinteraksi dengan pasangan paruh baya ini. Bukan hanya sekedar menyapa atau berbicara hal tak penting, Steven membicarakan beberapa hal tentang toserba yang jauh dari pemukiman kami, juga susahnya mencari bahan makanan segar
Steven menoleh dan tersenyum padaku.“Maksudku... harga tanah di sini cukup mahal,” aku menjelaskan maksudku bertanya.“Ayo kita lihat nanti. Kalau harganya sedikit cocok dengan tabungan saya, saya akan coba bernegosiasi.”'Wah…'Aku terdiam dan masih mendongak menatapnya dengan mulut menganga. “Sebenarnya seberapa banyak tabunganmu?” tanyaku lagi. “Apa hasil penjualan tanahmu memang sebanyak itu?”Steven hanya tertawa. Dia kemudian mengajakku berjalan kembali menuju rumah kami tanpa memberikan jawaban, membuatku agak sedikit kesal.“Maaf kalau aku lancang. Tapi kau terlalu membuatku syok karena sebelumnya aku mengiramu tidak memiliki pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Jadi tolong dimaklumi.”'Selain itu aku juga jadi sulit menceraikanmu, kan? Kau sepertinya sudah mempertaruhkan segalanya untuk hidup bersama istrimu yang jauh lebih tua ini, bahkan harus sampai menjual tanah.'Sebenarnya cuma tebakanku saja yang mengira kalau dia sudah menjual tanah orang tua hingga mendapatkan uang
Steven juga membantu mencuci semua piring dan peralatan memasak kotor setelah kami selesai makan malam.Seperti yang dikatakannya tadi, dia mengerjakannya seakan itu memang hal yang sudah biasa dilakukannya. Aku tidak melihat adanya niat tersembunyi dari apa yang ia lakukan. Jelas sekali kalau dia bukannya ingin terlihat baik dimataku.Karena terlalu fokus memerhatikan punggung lebar Steven yang tampak kokoh di balik t-shirt ketatnya, hasratku tiba-tiba ‘naik’ tanpa kusadari. Di saat yang bersamaan aku juga bisa merasakan basah di area dekat pangkal pahaku, bersama dengan perasaan gelisah yang tiba-tiba saja muncul. Aku sudah melakukan kesalahan karena terlalu lama menatapnya!Aku buru-buru masuk ke dalam kamar, menutup pintunya rapat lalu duduk di ranjang untuk menenangkan kembali keinginan memalukan yang muncul secara tiba-tiba.Tapi melarikan diri ke dalam kamar seperti ini sama sekali tidak membantu. Justru sebaliknya, berada di sini, di atas ranjang kami, malah membuat keinginan i
Aku terbangun saat alarm di ponselku berbunyi. Setelah mematikannya aku berbalik, ingin tahu apakah Steven tidur bersamaku atau tidak, dan aku tidak melihatnya ada disampingku.Kami tidak melakukannya tadi malam. Steven tidak datang menghampiriku sampai aku akhirnya tertidur.Walau merasa harga diriku sedikit jatuh karena penolakan tidak langsungnya, aku tidak mempermasalahkannya. Aku yakin pasti ada yang dipertimbangkannya hingga masih tidak mau melakukannya, atau mungkin karena aku tidak mengatakan kalau aku menginginkannya secara jelas hingga ia ragu untuk melakukannya.Yang terpenting aku sudah memberinya izin dan aku juga sudah tahu kalau dia tampak tertarik pada tubuhku. Aku melihatnya dengan sangat jelas saat duduk di sebelahnya tadi malam.“Pagi...,” sapaku pada Steven yang sedang sibuk dengan laptopnya.“Pa...gi...,” sahut Steven. Terlihat jelas kalau dia tampak takjub memandangi tubuh di balik gaun tidurku yang lumayan transparan.Aku mengalihkan tatapanku ke meja makan, seng
Aku menyentuh pelan bibirku. Mengingat kembali bagaimana Steven melumatnya dengan lembut sebelum memasukkan lidahnya ke dalam mulutku.'Apa begitu caranya berciuman?'Sebelum hari ini, aku benar-benar belum pernah melakukannya sama sekali. Baik itu hanya sebuah kecupan di pipi, kening, terutama di bibir. Jadi selama kami melakukannya tadi, aku hanya diam dan mempelajari cara dia melakukannya.Aku benar-benar seperti seorang perawan tua yang tidak berpengalaman. Jadi apa yang dikatakan teman-teman ibu tiriku sebenarnya tidaklah salah.'Apa dia sudah sering melakukannya? Dia sepertinya sudah sangat—'“Neng?”Aku baru tersadar dari lamunan saat sopir taksi memanggilku. “Ya, Pak?”“Kita sudah sampai.”Aku melihat keluar jendela dan kaget karena gedung kantorku sudah berada di sana, padahal seingatku kami baru berkendara beberapa menit saja.“Oh maaf... Terima kasih, Pak.”Dengan perasaan malu aku segera turun dari taksi dan berlari kecil menuju pintu utama gedung kantorku.Dari suasana lob