Dina masih terdiam merenungkan ucapan suaminya saat punggung Al menghilang di balik pintu kamar mandi."Kenapa dia bilang begitu? Bukannya memang benar apa yang kukatakan?" batinnya merasa aneh dengan jawaban Al, kemudian memutuskan untuk tak ambil pusing, lalu membaringkan dirinya sejenak di ranjang.Sepuluh menit berlalu, saat Al terlihat keluar dari kamar mandi, lelaki dewasa itu hanya mengenakan handuk yang melilit di perutnya, menampilkan tubuh bagian atasnya yang begitu indah.Ia berjalan ke arah lemari untuk memilih pakaian yang akan dikenakannya, sedangkan Dina, matanya terus melekat memandangi suami tampannya. Ingin rasanya ia menyentuh dada bidang yang masih setengah basah itu, memberinya kecupan penuh cinta di sana. Namun, rasa malu dan tak percaya diri menghalanginya untuk melakukan itu.Rasanya ia tak rela, jika tubuh itu nantinya akan mendapatkan sentuhan dari wanita selain dirinya. Mungkin dulu hal itu memang menjadi kebiasaan bagi
Sesaat setelah mobil suaminya berlalu, Dina segera mengetikkan pesan pada seseorang yang sudah dihubunginya lima belas menit yang lalu.Setelah itu, ia bergegas menemui Bi Ina, berniat meminta nomor ponsel suaminya dari ART yang diperkerjakannya."Bi Ina!""Ya, Non?""Bi Ina simpan nomor hp Aa' Al, kan?""Iya, simpan, Non. Kenapa memangnya?" tanya Bi Ina heran, merasa aneh dengan pertanyaan Dina."Boleh aku minta?""Loh, kok malah minta sama Bi Ina? Kan Non Dina istrinya tuan muda, masa nggak simpan nomornya?" tanya wanita paruh baya itu seraya terkekeh."Panjang ceritanya, Bi. Kita belum sempat tukar nomor hp sih, boleh ya, Bi?" jelas Dina."Owalah, gitu toh? ada-ada aja ya pasangan jaman now ini," celetuk Bi Ina mengomentari. Namun tak urung dia segera merogoh sakunya untuk mengambil ponsel miliknya, mencari kontak dengan nama 'Tuan Muda' lalu menyerahkannya pada Dina. Segera Dina menerimanya lalu dengan cepat menyalin di layar benda pipihnya."Makasih, ya, Bi. Aku mau mandi dulu, s
"Dina ngirim gambar apa, ya?" batinnya penasaran kemudian segera membuka pesan dari istrinya.Sejenak Al dibuat terkejut melihat gambar yang dikirimkan oleh Dina, bahkan kedua matanya sampai membulat sempurna, cukup lama Al memandangi gambar di layarnya tampa berkedip, sesekali ia menelan kasar salivanya, merasakan tenggorokannya tiba-tiba tercekat."Ini beneran Dina?" gumamnya merasa takjub dalam hati, melihat Dina dengan penampilan yang sangat berbeda di layar pipihnya. Istrinya itu tengah berpose miring di atas ranjang, dengan tangan sebagai penyangga kepalanya. Dina yang biasa tampil dengan busana muslimnya kini tampak lebih menggoda dengan lingerie merah yang dikenakannya.Lingerie merah itu begitu pas membalut tubuh sexynya, juga begitu kontras dengan kulit putihnya, membuat pesona Dina semakin terpancar berkali-kali lipat.Tidak hanya lingerie merah yang membuatnya tampil berbeda, tapi, riasan tipis di wajahnya yang polos membuatnya tampak
Al melangkahkan kakinya cepat memasuki rumah, mengabaikan Bi Ina yang menyapa dengan ramah. Langkahnya lebar-lebar ke arah kamarnya, seolah sudah sangat tak sabar untuk segera menyalurkan hasratnya.Bayangan Dina dengan lingerie merahnya benar-benar membuatnya lemah, lemah untuk sekedar mengendalikan dirinya sendiri.Al meraih kenop pintu kamarnya, kemudian dengan cepat memutarnya, mendorong daun pintunya hingga terbuka, menampilkan Dina yang tengah terduduk di tepi ranjang.Sejenak Al terpaku, terpesona melihat kecantikan Dina yang tengah tersenyum manis ke arahnya. Ia menegang, merasai desiran darah yang tiba-tiba terasa deras, membelai titik sensitivnya dengan kenikmatan yang tiada bisa diungkap dengan kata-kata.Al menutup pintu perlahan, memutar kuncinya agar tak ada satu orang pun yang akan mengacaukan ritualnya bersama Dina. Bersamaan dengan itu, Dina yang semula duduk, kini beranjak berdiri menyambut kedatangan suaminya.Al melangkahkan kakinya perlahan, mendekat ke arah Dina
"Terus Aa' nyesel?""Nggak juga.""Kenapa? Kan Aa' kehilangan banyak uang," sahut Dina."Karena sejumlah uang yang hilang itu tidak ada harganya dibanding kepuasan yang saya dapatkan, " jelas Al.Lagi-lagi Dina hanya tersenyum tak berdosa. Ada bahagia dalam hatinya, karena harapan dan usaha yang ia lakukan ternyata tak sia-sia."Kalau memang belum disentuh kenapa nggak diminta balik uangnya sama tante Merry?"dengan polos Dina kembali bertanya."Nggak sempet, nggak kepikiran kesana juga,* jawab Al apa adanya."Pasti gara-gara Aa' dah kepikiran Dina terus, kan? Jadi nggak sempet mikir apa-apa lagi? Mikirnya asal cepet pulang aja, iya kan A'?" goda Dina membuat seorang lelaki kulkas mendadak bersemu merah."Nggak usah kege-eran!""Udah Aa' ngaku aja deh!" Dina terus menggoda."Lagian kamu kenapa biarin saya pergi kalau memang berniat mencegah?''tanya Al mengalihkan pembicaraan."Karena ak
"Kenapa diblokir?" tanya Al heran.Sesaat Dina hanya terdiam, pandangannya kosong, tampak ia sedang ketakutan."Din, are you okey?" pertanyaan Al kembali menyadarkan Dina."Oh, A', aku nggak apa-apa kok," sahutnya kikuk.Al memperhatikan gerak-gerik Dina, gestur tubuh Dina yang semula tenang berubah menjadi gelisah, walau ia berusaha untuk menutupinya, tapi Al dapat merasakannya. Setiap hari hidup berkutat dengan ribuan karyawan yang bermacam-macam membuatnya pandai membaca keadaan."Hei kamu tenang dulu," ucap Al menenangkan.Dina menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya."So, coba jelaskan pada saya, itu tadi nomor saudara kamu? Kakak kamu?"tanya Al pelan.Dina mengangguk."Lalu kenapa malah kamu blokir?" tanya Al heran, ia mulai menyadari ada sesuatu yang tak beres dengan hubungan keluarga Dina."Dia suka ganggu aku A', aku nggak mau lagi diganggunya," jawab Dina dengan pandangan kos
"Ngomong-ngomong siapa seseorang yang mengatakan tentang filosofi air mata itu ke kamu, sepertinya orang yang sangat berarti dalam hidup kamu, sampai kamu mengingatnya begitu baik. Apa itu ibu atau ayah kamu?" tanya Al penasaran."Kenapa Aa' bertanya seperti itu? Pasti karena kata-katanya memang mengena di hati ya?" tanya Dina membuat Al berpikir."Ya, bisa di bilang begitu. Dia memandang air mata dari sisi lain, berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya," sahut Al."Ya Aa' betul, dan orang yang mengatakannya bukanlah Ayah atupun Ibu, sebab Ayah dan Ibu tak pernah memberiku nasihat tentang air mata, karena semasa mereka masih hidup, mereka sangat menyayangiku, sedikitpun tak akan membiarkan sesuatu membuatku sedih apalagi menangis.Aku mengetahui filosofi itu saat merasa terpuruk sepeninggal Ayah dan Ibu. Lalu seseorang datang dengan sebuah kalimat yang membuatku bangkit dan menjadi lebih kuat sampai saat ini," jelas Dina membuat Al semakin pen
Part 15"Oma video call, Din," ucapnya masih terkejut sembari melihat dirinya dan Dina yang masih sama-sama tak berbusana."Astaga, gimana ini?" pekik Al mulai kelimpungan."Duh, Oma ini selalu deh, mengganggu di waktu-waktu sakral," gerutu Al membuat Dina terkekeh. Al buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya dan Dina. Kemudian dengan cepat mengangkat video call dari Omanya, sebelum wanita sepuh itu ceramah agama sebab panggilannya yang tak kunjung mendapatkan jawaban.[Halo, Oma.] [Halo, Al, kamu kenapa? Sakit?][Nggak kok, Oma, Al sehat.][Terus ngapain kamu pakai selimut rapet gitu? Nggak ada hujan nggak ada angin juga.][Di sini dingin, Oma. Oma ada apa, tumben video call malam-malam?][Besok kan hari minggu, ajaklah istri kamu main ke rumah Oma, biar Oma ada temannya nonton drakor. Mana istri kamu sekarang?]Al dan Dina saling berpandangan sesaat, setelah itu dengan ragu Al mengarahkan kamera ke arah istrinya.[Halo, Oma,] sapa Dina canggung, merasa tak nyaman har