Bab 11 PRUKKamila meneguk ludahnya sendiri, matanya membola memandang ke bawah. Tenggorokannya tiba-tiba tercekat mendengar pertanyaan Kyai Husein.Tak hanya Kamila, Gus Zainal pun turut terkejut mendengar pertanyaan Abahnya, seketika membuatnya menghentikan aktivitas menyendok nasinya.Melihat kebingungan Kamila, Gus Zainal segera berinisiatif untuk menjawab."Ngapunten, Bah. Kamila ini kan baru mengetahui prihal perjodohan ini tadi pagi. Mungkin dia masih butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Kasihan kalau buru-buru dituntut jawaban, lihat wajahnya sampai tegang begitu. Yang terpenting, kan, sekarang dia sudah di sini, setidaknya pemanasan dulu, kenal dulu sama keluarga ini, betah dulu, nyaman dulu di sini, baru ditanyain kapan mau selamanya tinggal di sini," ucap Gus Zainal yang membuat Kamila bernafas lega."Huuffh, Gus. Hari ini kamu berhasil menjadi pahlawanku," batin Kamila seraya memandang Gus Zainal penuh makna.Sedangkan Kyai Husein hanya manggut-manggut paham. Ya ya, Abah
Bab 12 PRUK"Kenapa dengan Kamila, Zain?" tanya Kyai Husein yang sebenarnya sudah mengetahui maksud kedatangan putranya."Zain, ingin tahu alasan kenapa Abah menjodohkan Zain dengan Kamila?" jawab Gus Zainal sambil tertunduk sopan.Kyai Husein tampak tersenyum memandang putranya. "Memangnya kenapa kamu baru mempertanyakannya? Bukankah kamu sudah menerima perjodohan ini sejak sepuluh tahun lalu tanpa tapi dan tanya?" sahut Kyai Husein justru balik bertanya."Ngapunten sebelumnya, Abah. Sebab Zain baru bertemu dengan Kamila, dan ternyata, sosok Kamila jauh dari yang Zain bayangkan." Gus Zainal berkata apa adanya."Memangnya bagaimana bayangan kamu tentang Kamila selama ini?" tanya Kyai Husein balik."Menurut pandangan Zain, sosok Kamila tak jauh-jauh dari perangai putri-putri Abah. Sebab selama ini, yang Zain lihat, Abah selalu memilihkan jodoh untuk putri-putri Abah dengan kualitas super, minimal dari segi agamanya, sehingga Zain beranggapan, Abah juga akan memberikan hal yang sama unt
Bab 13 PRUK"Sembilan belas tahun lalu, tepatnya saat Abah baru mulai merintis dakwah, banyak jamaah pengajian Abah yang ingin menitipkan anak-anaknya untuk mesantren dan belajar ilmu agama pada Abah.Akan tetapi saat itu, Abah masih terkendala ekonomi. Jangankan untuk membangun pesantren, untuk makan sehari-hari saja kadang harus berhemat-hemat agar cukup.Namun, Abah tertuntut dan merasa perlu untuk mewujudkan permintaan jamaah pengajian Abah, sebab jika bukan Abah yang mengayomi mereka, siapa lagi?Abah mulai membuat proposal untuk mencari dana. Prosesnya sungguh sangat tidak mudah, sebab Abah tidak punya banyak hal yang bisa meyakinkan para donatur untuk memberikan uangnya pada project Abah.Banyak yang menolak, atau memilih memberi tapi dengan jumlah yang sangat sedikit. Hingga akhirnya Abah dipertemukan oleh Pak Alfaro, yang saat itu sedang ingin mewakafkan tanah miliknya di jalan Allah, untuk memenuhi nadzarnya atas kelahiran Kamila dengan selamat.Melalui Pak Lurah yang memper
Bab 14 PRUKGus Zainal segera mengayun langkahnya ke luar rumah, mengecek keberadaan Kamila melalui jendela kamarnya. "Ya Allah, Kamila, masa iya sih kabur lagi?" gumamnya seraya terus mempercepat langkah kakinya menuju bagian luar dari kamarnya.Gus Zainal menyingkap korden yang menutupi jendela kamarnya dengan cepat, dan seketika ia bernafas lega, sebab terntaya Kamila tengah terlelap dalam buaian alam mimpinya."Ya Allah, Kamila ... Bisa-bisanya nih bocah malah tidur," gumam Gus Zainal pelan seraya tersenyum simpul. Ia lalu menyalakan AC melalui remot di hp yang sudah ia sinkronkan, kemudian menutup rapat jendela dari luar, membiarkan Kamila istirahat dengan nyaman, setidaknya sampai waktu ashar hampir tiba.Ia lalu kembali memasuki rumahnya, mempersiapkan segala sesuatu yang perlu dipersiapkannya.Ia memanggil ketua asrama putri, untuk menitipkan pemantauan Kamila padanya, kemudian memintanya untuk selalu melaporkan apapun aktivitas Kamila di dalam asrama. "Ini nomor saya, Mbak.
Bab 15 PRUKTanpa banyak menjawab lagi, Kamila segera memasuki kamar mandi untuk mengambil wudhu, kemudian segera melakukan sholat dzuhur tanpa banyak drama.Kata-kata yang diucapkan Gus Zainal terasa sangat menohok hatinya. Ia tak dapat lagi mendebat ucapan Gus Zainal. Bahkan, pertanyaan tentang adakah cinta di hatinya untuk Tuhan terus terngiang-ngiang di benaknya.Melihat Kamila yang hanya menurut pasrah, Gus Zainal tersenyum penuh makna. Ia memutuskan untuk keluar dan menunggu Kamila di luar.Beberapa menit kemudian, Kamila kembali keluar dari kamar."Sudah selesai?" tanya Gus Zainal memastikan."Sudah, Gus.""Ya sudah, mari saya antar ke asrama," ajak Gus Zainal seraya membantu membawakan barang-barang Kamila."Baju-baju yang saya belikan tadi, kamu bawa saja, untuk ganti-ganti sementara. Baju-baju kamu yang tidak bisa dipakai di pesantren ditinggal di sini saja, supaya nggak menuhin lemari kamu," ucap Gus Zainal menyarankan."Oke, Gus." Kamila pun meninggalkan mini kopernya di k
Bab 16 PRUK"Wa'alaikumsalam warahmah. Oh, Mbak Aqilah, ya?" jawab Gus Zainal yang menoleh ke belakang, diikuti oleh Kamila."Nggih, Gus.""Oh, ya, Mbak, ini Kamila, yang tadi saya ceritakan," ucap Gus Zainal memperkenalkan Kamila."Oh, nggih, perkenalkan, Ning, saya Aqilah," ucap Aqilah seraya mengulurkan tangan ke arah Kamila.Kamila tersenyum ramah, kemudian menjabat tangan Aqilah, "Aku Kamila, panggilnya Kamila, atau Mila aja, nggak usah nang ning ya," jawab Kamila santai.Aqilah tersenyum pada gadis yang ia taksir berusia lima tahun di bawahnya itu."Oke Mila, kamu sudah siap?" tanya Aqilah."Hah, siap apa?" tanya Kamila bingung."Nikah," celetuk Gus Zainal."Wey, Gus! Ga usah bercanda ya!" gumam Kamila seraya memandang nyalang ke arah lelaki yang kini tengah menahan tawa itu."Ya siap masuk asrama lah, Kamila, kok pakai nanya?" sambung Gus Zainal."Oh, itu, tinggal masuk doang, kan? Harus siap-siap gimana lagi? Siap kok aku," jawab Kamila mantap."Ya, bukan hanya tinggal masuk,
Bab 17 PRUKKamila berjalan gontai dari Aula ke arah kamarnya, bersama tiga teman barunya yang tinggal sekamar dengannya. Berkumpul dengan ratusan manusia di satu ruangan dan berdusel-duselan membuat perutnya mual."Mila, kok loyo gitu?" sapa Nayla–teman sekamar Kamila yang cukup mudah akrab dengannya."Gimana nggak loyo, weey? Dari sehabis maghrib sampai hampir jam sembilan, lho, kita cuma duduk ngaji dan sholat!" keluh Kamila disambut tawa oleh Nayla."Ya gitu emang kegiatan di pesantren, Mil, kamu harus terbiasa mulai sekarang, padahal ini belum Ramadhan, kalau Ramadhan malah makin padet," celetuk Nayla membuat langkah Kamila terhenti seketika."Hah, sumpah?" tanya Kamila dengan ekspresi yang entah."Iya, ada banyak kajian kitab kuning yang dikebut khatam selama bulan Ramadhan," jelas Nayla."Tapi aku nggak ngerti lho soal kitab kuning itu, jangankan artinya, bacanya aja kaga bisa, mana nggak ada harakatnya," gerutu Kamila mulai stres dengan kehidupan pesantren."Kamu kan bisa deng
Bab 18 PRUK"Kamu belum makan, kan? Saya mau ajak kamu makan," ucap Gus Zainal membuat Kamila yang mulai membaik moodnya tiba-tiba merasakan keroncongan di perutnya."Oke, aku yang traktir deh, tapi pinjem uang Gus dulu, sebab dompet aku tertinggal di asrama," ucap Kamila bersemangat, membuat Gus Zainal terkekeh."Kamu, ya ... Mau berbuat baik saja harus merepotkan orang dulu," balas Gus Zainal membuat gadis berkacamata itu mencebikkan bibirnya. "Ya habis mau gimana lagi, Gus? Masa harus masuk ke asrama lagi sih?" gerutu Kamila, malas."Nggak usah, kamu nggak usah repot-repot, saya mau ajak kamu makan gratis kok, makan bareng sama keluarga saya. Sekalian saya mau kenalkan kamu dengan Ning-ning saya," lanjut Gus Zainal membuat Kamila kembali tak berselera."Jangan di rumahnya Gus lah, nggak nyaman, Gus. Aku nggak bisa bebas di sana. Itu soal kenalan bisa lain waktu, kan? Mendingan kita jalan aja deh, Gus! Cari makan di luar, udah bosen banget ini diem di asrama, pen hirup udara segar,