Pov YanaIsh! Ni anak kenapa sih bikin status menyindir. Aku nggak ganggu dia tapi dia kepanasan. Kalau bukan karena adik mas Bayu, sudah kulawan.Kesal sekali. Buka facebook tiba-tiba status Stela lewat. Statusnya sangat jelas menyindirku.[Babu jangan menghayal jadi nyonya. Ngaca dong! Situ merasa menarik? Sudah, selsaikan aja tu cucian, bukankah digaji?]Membaca statusnya jantungku terasa panas. Aku kerja di laundry ibunya Kelfin, kok dia yang tidak suka. Lagian aku kerja bukan dia yang gaji. Tak masalah ia malu mengakui mengenalku. Toh aku juga tak peduli. Bagiku cari uang biar bisa menabung beli laptop dan melanjutkan pendidikan. Karena aku sadar jika orang tuaku belum mampu."Ada apa sih, Yan? Kok melihat ponselnya rada kesal gitu," tanya mbak Rina.
Pov Stela"Hah! Berani kamu mengotori wajahku!" teriakku sangat kesal. Rasanya darah ini mau naik ke ubun-ubun. Dari rumah sudah dandan cantik, tapi anak pengulung ini berani merusaknya. Dikia dirinya siapa!"Itu pantas untukmu. Lagian siapa suruh ganggu aku. Makanya jangan berlagak kamu itu juga orang kaya. Kamu kira aku tidak tau kalau ibumu buka warung demi memenuhi kebutuhanmu. Ngaca dong!"Bukannya tambah takut, Yana justru semakin bersuara lantang. Aku kira ia gadis bodoh karena tak bergaul dan hanya anak dari orang tua tak berpendidikan. Tapi aku salah, justru ia sangat berani."Jangan kamu kira aku akan diam saja." Aku menujuknya dengan tangan kiri. "Uh!" Lalu kulempar ke lantai, baju yang terlipat rapi di meja. Biar saja ia repot mengerjakan lagi. Siapa suruh melawan aku.
Baru buka aplikasi baca novel online, aku dibuat takjub dan seakan tak percaya jika ada fotoku terpampang di sana. Salah satu penulis pavorit. Bahkan saat memegang ponsel, tanganku bergetar saking tak percaya. Ini seperti mimpi. Bagaimana mungkin aku bisa mencapainya karena sadar akan pendidikan tak tinggi."Alhamdulillah, Alhamdulillah." Ucapan syukur bahkan sulit mengungkapkan dengan kata-kata, betapa aku sangat bahagia."Ada apa sih, Rin? Kok?" Mas Bayu menatapku dengan alis bertaut. Air mataku berlinang sambil tersenyum, ini air mata bahagia."Mas, aku, aku ada di sini." Kusodorkan ponsel ke mas Bayu."Hah? Maksudnya, Rin?" Mas Bayu menerima ponselku. Lalu ia fokus melihat layar ponsel."Aku, aku bisa jadi penulis top, Mas. I-itu foto aku ada di sana." Bahkan suaraku gug
Akhirnya sifat asli Inur keluar. Katanya berpendidikan tapi kok cara bicara kampungan dan seola tak pernah belajar attitude. Dan yang lebih parahnya, muka Stela berubah seakan malu tampak kampungan di depan Kelfin. Pasti Stela gengsi atau merasa dipermalukan secara tidak langsung."Apa?" Hanya itu yang kuucapkan dengan berdiri santai menatap Inur."Ya, apa kamu kira kami tak kenal siapa kamu? Jangan sok deh, baru juga nulis asal-asalan dan foto terpampang di sana. Jangan kira kamu merasa bangga seolah tak mengenal kami. Semua orang tau, kalian berdua hanya anak pengulung." Inur melotot sambil menujukku dan Yana. Hinaan, di mana pun tempatnya, ia tetap bicara seolah kalau ini di rumah ibu mertua. Memalukan."Diam, Mbak." Stela menyenggol sikunya ke Inur. Terlihat mukanya merah, mungkin berusaha agar Inur tak membuka kedoknya. Tentu aku tahu, ia mal
Astaga, pergulatan semakin panas antara Stela dan kakak ipar tersayangnya. Bahkan Inur pun tak tinggal diam membabi buta Stela dengan membalas tamparan. Ops! bukan tamparan, tepatnya kaki Stela yang berhasil menghantam pipi Inur hingga meninggalkan jejak memerah. Kulit pipi glowing Inur, kini memerah sebelah. Ck ck ck, pasti perih, Maaak."Jaka, pegangi Inur!" teriak ibu mertua sambil menahan Stela."Aduuh! Tenang, Nuuur!" Mas Jaka pun berusaha memegang istrinya. Tapi Inur tak bisa ditenangkan hingga ia terus berusaha mengejar Stela, dan ...."Aak! Aduuuh." Siku Inur berhasil mendarat di pipi mas Jaka, tanpa disengaja. "Sakit, Nur!" teriakan mas Jaka mengernyit kesakitan sambil memegang pipinya. Ow ow ow, aku menimati tontonan ini.Jika ada emak-emak kampung bersikap barbar. Inilah yang kusaksikan. Tapi s
Tentu saja aku tak mau membantu mereka. Lah hinaan mereka masih meninggalkan luka di hati. Jika malam ini aku di sini, lantaran semata-mata demi mas Bayu. Aku takut ia berbuat nekat lagi jika diabaikan."Loh, itu aja perhitungan. Lagian aku ini ibu suamimu, Stela adik suamimu." Ucapan ibu mertua ditekan seolah aku harus tetap membantunya, karena mereka keluarga mas Bayu. Seperti tak bersalah saja jika pernah mengatakan aku menantu gil*. Dan sampai detik ini, perbuatannya melempar wajahku dengan uang masih menyisakan luka seolah aku pembantu, bukan menatunya."Tuh dengar. Mertua itu sama seperti ibumu, sampai sini ngerti nggak?""Ya bedalah, perlu kujelaskan?""Tak berpendidikan tinggi berlagak sok pintar."Astaga, ini Jaka cara bicaranya sok dan seolah mengajarik
Pov InurTidak bisa dimaafkan. Stela telah melukai wajahku dengan goresan kukunya. Melawan pun aku kalah tenaga. Tentu saja aku kalah, aku belum lama selesai operasi caesar. Uh! Tiba-tiba bekas jahitan di perut terasa ngilu."Jaka, tolong adikmu, Ibu dapat uang dari mana?" Ibu mertua meratapi putri gil*nya.Dikiranya aku akan kasihan dengan air mata itu. Justru aku membencinya karena yang dikhawatirkan hanya Stela. Aku yang terluka fisik. Tapi seolah yang kualami hanya masalah biasa. Krim wajahku saja mahal. Cantik itu butuh biaya."Iiih, Ibu nih. Aku nggak punya uang. Gajiku dipegang Inur. Lagian listrik di rumah ini aku yang nanggung. Ibu coba lagi pinjam ke Bayu."Bagus, suamiku menolek membantu. Lagian gajinya aku yang pegang. Wajar dooong, aku kan istrinya. Aku bu
"Maaf ya, Rin, seharusnya aku mendengarkan ucapanmu agar tidak pergi ke rumah Ibu." Mas Bayu berbaring. Matanya menatap langit-langit kamar."Aku udah tau sifat Ibu dan saudaramu, Mas. Terutama sifat Inur. Makanya aku keberatan jika kita ke sana.""Iya, tapi aku sulit menolak. Toh Ibu wanita yang melahirkanku."Di sini tampak jelas karakter mas Bayu dengan kakaknya. Suamiku dari dulu paling tidak tegaan. Jika ibu dan saudaranya butuh pertolongan dan selagi bisa, pasti ia bantu. Beda dengan Jaka, ia perhitungan dan lebih mementingkan gengsi. Tapi kok orang seperti Jaka lama jatuhnya. Astagfirullah'alaziim, kok aku mikir begini ya?"Justru itu aku tidak tegas melarangmu, Mas. Lagian dosa jika aku memisahkanmu dengan Ibu." Mungkin ini namanya terpaksa menerima."Aku malu, merek