“Ini si Edric kenapa nggak angkat-angkat telepon lagi?” Chalondra merasa gemas lantaran sampai pukul sepuluh malam, putera sulungnya itu tidak memberi kabar akan keberadaan dirinya. Biasanya, kalaupun Ed akan pulang malam, dia akan selalu mengabari rumah.
Dominic yang sedang rebahan di kasur hanya bisa memandangnya dengan kepala yang sedikit menggeleng.
“Tadi ‘kan Calvin sudah bilang dia ke Bekasi bareng Zura. Kamu seharusnya bisa menebak dia ada di mana sekarang, Chalondra,” ujar Dom sambil menguap lebar.
“Maksud Dad dia di rumah Zura?”
“Hm. Seperti kemarin.”
“Kemarin ‘kan dia sudah pulang jam sembilanan?” Chalondra masih ingin membela diri.
“Mungkin kali ini menginap. Sudahlah, dia sudah besar. Tidak perlu terlalu mengkhawatirkan dia seperti itu. Sini, tidur.” Dominic menarik-narik ujung jubah tidur istrinya.
“Nggak bisa gitu, Dad! Nanti Zura itu hamil lagi gimana? Tentang Embun saja belum kelar, sudah nambah bayi baru!
Kuntilanak hahahaa.
Insiden bersama Patricia tadi pagi ternyata membuat mood Edric jelek hingga siang harinya. Dia mendadak mengkhawatirkan sesuatu. Zura. Dia takut Patricia akan bertemu dengan Zura, entah kapan dan entah di sengaja atau tidak. Dia takut Zura salah paham dan menbuat wanita itu kembali mejauhinya. Jam sebelas siang dia memilih untuk cabut lebih awal. Beruntung kata Hendry dia tidak ada jadwal yang urgent, jadi dia bisa menemui Zura secepatnya. Dalam perjalanan menuju apartemen, Ed sambil menelepon wanita itu. Berniat untuk melepaskan stress dengan mendengar suara Zura yang merdu. Tapi panggilannya tidak ada jawaban. Barulah Edric sadar kalau bisa saja dia sedang bekerja. Alangkah bodohnya Ed karena melupakan hal penting tersebut. Namun dia tetap memutuskan untuk bermain dengan Embun saja di apartemen. Tidak lupa dia memberi kabar kepada Zura tentang kedatangannya, lewat pesan singkat. Suara alarm pintu terdengar setelah Edric menekan bel. Lalu, Santi dan Embun mu
Patricia masih mengurung dirinya di kamar setelah diusir oleh Edric. Semangatnya, harga dirinya, semuanya luluh lantah kala satu-satunya orang yang dia cintai ternyata sangat membencinya. Membencinya tanpa alasan dan sialnya Pat tidak punya kesempatan untuk menanyakannya kepada Edric. Salahnya di mana, dosanya apa, sehingga laki-laki itu tidak pernah mau membuka hati untuknya. Kurang hambar apa status pertunangan mereka empat tahun ini? Patricia sudah terlalu sabar mendengar omongan-omongan orang yang memojokkan dirinya. ‘Tunangan tapi kok nggak pernah diajak ke acara-acara resmi Inti Global?’ ‘Tunangan tapi kok praktek terus?’ Sampai-sampai Pat menjauh ke Singapore untuk menghindari judgement orang-orang tentang dia dan Edric. Apakah empat tahun masih belum cukup untuk Edric untuk melukai perasaannya? Kenapa sampai sekarang pun mereka masih belum bisa akur layaknya sepasang tunangan yag normal? Air mata di pipi wanita berusia tiga puluh itu tidak kun
Sebuah tarikan paksa dari Edric tak terelakkan oleh Zura yang sedang menangis sesenggukan. Pria itu bagai terkena sambaran petir ketika Zura membentaknya dan menyuruhnya pergi dengan embel-embel ‘kami tidak membutuhkan bapak’. Bagi seorang Edric, ucapan ini jauh lebih menyakitkan dari seorang investor yang menarik semua dananya dari Inti Global. “Lepas!” Zura memberontak. Mereka sudah menjadi tontonan orang-orang yang berada di luar sana. Namun Edric tidak peduli. Dia mendorong Zura masuk ke dalam jok dan mengunci pintu dengan remot control sesegera mungkin. Khawatir saat dia memutar dari depan mobil, wanita itu mencuri kesempatan untuk kabur. Setelah dia berhasil masuk ke dalam, dilihatnya Zura sedang berusaha membuka pintu. “Bisakah kita diam saja selama Embun masih bangun?” Edric langsung berucap sambil menatapa Zura dengan pasrah. Dia takut Embun akan mengingat pertengkaran mereka dan menyimpan ini di dalam memori otaknya. Dia tidak mau itu terjadi.
Zura melompat dari kasur dan langsung berlari keluar dari kamar. Santi yang berada di dapur terkejut bukan main. Zura membuka pintu apartemen dengan tidak sabaran. Lalu, saat pintu besi itu sudah terbuka, benar saja, dia melihat Edric masih berdiri di sana, bersandar di tembok yang ada di depan pintu. Zura menubruk tubuh tinggi Edric dan memeluknya erat-erat. Napasnya terengah, bahagia karena Edric tidak pulang dan tidak meninggalkannya. “I’m sorry,” lirihnya penuh rasa penyesalan. Dibenamkannya wajahnya dalam-dalam di dada kekasih hati yang sudah begitu sabar menghadapi sikapnya. “Labil.” “I know.” Zura tidak mengelak. “Childish.” “Agree.” “Tempramental.” “You know that, but you still love me. Why?” Zura mendongak manja melihat Edric yang sudah tersenyum kepadanya. “Sometimes, we don't need a reason to loving some body, Zura. Just … love.” Zura tidak sabar lagi. Dia mendaratkan ciuman di bibir lak
Zoey tidak percaya apa yang baru saja dilakukan Zac kepadanya. Kedua matanya membulat sempurna, dia terperangah. Barusan ... Zac benar-benar menciumnya! Oh Tuhan!! "Shitt!! You are the craziest person alive!!!" Zoey mengusap bibirnya dengan kasar. Wajahnya memerah bagai kepiting rebus. Emosi tingkat tinggi membuat kepalanya mengebul, rasa ingin pecah. Zac tertawa sinis, ikut menjilat bibirnya juga. "Jika kau ingin berciuman dengan Jeff, ingatlah ciumanku." Itu saja yang dia ucapkan sebelum akhirnya keluar dari ruangan kembar bodongnya itu. Rasa cemburu telah membutakan matanya sampai-sampai berani mencium Zoey. Dia sudah melewati batas. "Aaaaaaaaaa!!!" Zoey berteriak di balik pintu yang baru saja ditutup oleh Zac. Dia marah, di benci, dia jijik, dia akhh! Kenapa Zac bisa kehilangan akal sampai menciumnya?? Merek saudara kembar yang notabene satu darah! Why?! Gila! Jika dia marah tentang Jeff, tidak seharusnya sampai melakukan hal tak wajar seperti itu.
(Maaf kalau ada typo. Aku nggak sempat double check.). . Zura sedang menyusun proposal kerja sama dengan sejumlah vendor dan supplier berbagai keperluan hotel dan mall di Galaxy Group ketika intercom-nya berbunyi. "Zura, ke sini." Itu suara kakeknya. Morgan. Seketika jantung Zura berdetak dengan sangat cepat. Khawatir kakeknya akan membahas tentang Edric lagi. Demi apapun, dia belum siap. Dia masih sedang merajut asmara dengan laki-laki itu. Tolong jangan ditanya soal misi balas dendam. Tapi Zura tetap keluar dari ruangannya dan berjalan menuju ruangan kakeknya yang berada di lantai yang sama dengannya. Dia mengetuk dengan pelan setelah sampai di depan pintu. "Masuk." Terdengar kakeknya mempersilakan. Zura mendorong pintu. Baru memasukkan setengah tubuh dan kepalanya, dia sudah bisa melihat jika sekarang kakeknya sedang kedatangan tamu. Eh, ngapain dia dipanggil kalau masih ada tamu? Pria dengan postur tubuh
Zura tiba di apartemen setengah jam kemudian. Berulang kali menarik napas lalu menghembuskannya, membuat perasaan wanita itu sedikit lebih baik. Pintu dibuka langsung oleh orang yang sangat ingin dia lihat. Edric. Tentu saja, sudah bisa ditebak, dengan Embun di sisi kakinya. "Mama come homee." Edric berseru senang seraya menarik Zura masuk ke dalam. Sebuah kecupan di pelipis langsung dia hadiahkan kepada wanita itu. "Mama puyaaaaangggg." Embun ikut bersorak gembira. "Heii anak Mamaa. Sini gendong duluu." Zura membungkuk dan meraih kedua ketiak Embun dan mengangkat bayi kecil itu ke dalam dekapannya. "Ngapain aja tadi sama Om? Main yahhh?" tanya Zura penasaran. "Iya, Mama. Om-nya kalah telus. Nggak bisa naik pelosotan." "Ha-ha-ha. Perosotan Embun 'kan kecil. Om-nya nggak muat, terlalu besar. Nanti perosotan Embun rusak, gimana? Mau?" Embun cepat-cepat menggeleng. "Makan siang yuk? Mba Santi udah beres masak
Setelah insiden ciuman yang sengaja dilakukan Zac kepada Zoey, hubungan mereka menjadi semakin renggang. Hingga satu minggu berlalu, Zoey masih tidak berkenan melihat wajah Zac. Wanita itu marah besar. Sekarang, Zac seperti orang lain di matanya. Laki-laki mana yang dengan bodohnya mencium saudara kembarnya sendiri? Zac benar-benar sudah gila. Zoey tidak perduli jika dia menjadi satu-satunya orang yang selalu absen di meja makan dan di ruang keluarga. Adapun hal yang akhirnya berhasil membuat Zoey turun ke bawah adalah kedatangan Zura dan Embun. Chalondra sengaja meminta Edric mengajak mereka ke rumah, karena tau ini bisa memperbaiki mood sang putri. "Sini sama tante, mau peluk Embun." Sikap Zoey terlihat biasa saja untuk semua orang, tapi tentu berbeda untuk Zac. Selama mereka bercengkerama di ruang keluarga, tak sekalipun Zac bersuara karena Zoey lebih mendominasi percakapan. Percakapan yang jelas-jelas tidak pernah melibatkan dia. Zura sedang berusah