Pencarian akan Zura ternyata menjadi sebuah misi yang membuat produktifitas Edric di perusahaan menjadi sedikit terganggu. Dia dan Hendry sibuk mendatangi rumah orang-orang yang dianggap mengenal dan dikenal Zura di masa lalu. Mereka ke rumah orang tua Zura yang dulu dan juga ke apartemen yang diberikan Edric untuknya. Keluar masuk sana sini namun tidak ada yang bisa memberikan petunjuk yang berarti.
Edric malahan semakin dibuat bingung dengan adanya saksi yang mengatakan bahwa sebelum Zura meninggalkan apartemen, gadis itu sering membawa laki-laki masuk ke dalam apatemennya. Tak pelak perasaan Edric bagai dihantam batu seberat 1 ton. Apakah Zura berselingkuh?
Dan saat pertanyaan konyol itu muncul dalam benaknya, Edric seketika tersenyum miring. Selingkuh? Bukankah Edric sendiri yang menyudahi hubungan mereka?
*****
Bulan berganti tahun. Edric tetap menjalani kehidupannya yang sedikit banyak sangat terpengaruh atas kepergian Zura. Dia benar-benar berhenti bermain perempuan. Dia semakin pendiam dan dingin. Dia tidak ingin berlama-lama meeting dengan siapa pun. Dia semakin membenci Patricia, tunangannya. Dan satu hal yang semakin menjadi adalah, kecintaannya terhadap alkohol.
Malam ini, tahun ke empat setelah dia benar-benar tidak bisa menemukan Zura. Dia berada di sebuah club yang sudah menjadi langganannya di tahun-tahun terakhir. Adik kandungnya, Zac, ikut menemani waktu minumnya seperti biasa.
“Jangan terlalu banyak, Brother. Kau lupa besok ada flight ke Dubai?” Zac menegur karena sang kakak sudah terlihat mulai teler.
“Ini masih sedikit, biasanya aku minum lebih banyak dari ini.” Edric meracau sambil menatap gelas wine-nya. Dia tiba-tiba tertawa kecil karena bentuk gelas tersebut gemuk di atas, kemudian kurus di bawah. “Lucu,” celetuknya.
Zac menggelengkan kepala malas. “He’s literally hangover. Aku harus siap-siap diamuk papa lagi,” gumamnya pada dirinya sendiri.
“Zura … is that you?” Tiba-tiba Edric menarik lengan salah seorang pengunjung wanita yang melintas di depan table mereka. Alhasil gadis itu terjatuh di atas pangkuannya.
“Kurang ajar!” Gadis itu langsung berdiri dengan sigap dan menabok Edric dengan clutch yang ada di tangannya. Ouch!!
“Ha-ha-ha-ha. Ya ya, kau bukan Zura-ku. Zura tidak kasar sepertimu.” Edric mengejek sambil menjulurkan lidahnya. Persis seperti anak kecil. Beruntunglah dia, club ini sedang remang-remang, sehingga gadis tadi tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Kalau tidak, akan panjang urusannya.
“Zura again. Sudah empat tahun, kau belum move on juga. Ck.” Zac menatap Edric nelangsa. Dia juga sudah tahu perihal gadis yang menghilang dari kehidupan sang kakak. Gadis yang sudah berhasil merubah kehidupan Edric seratus delapan puluh derajat.
“I have no idea bakal sampai kapan kau seperti ini. Selama gadis itu belum ketemu, kau akan semakin hancur. Hari demi hari.” Zac berbicara dengan pelan dan lambat. Dia tau Edric masih bisa mendengarnya sekalipun pria itu tidak bisa mencerna dengan sepenuhnya. “Bisakah kita membuat sayembara saja untuk mencari Zura Taniskha ini? Aku tidak tahan menjadi samsak papa setiap malam.”
“Sayembara?” Kan? Pria mabuk itu menyeletuk. “Kau mau kupentung?? Itu bisa membuat Zura semakin menjauh, jika dia tau sedang dalam pencarian,” lanjutnya dengan suara yang sedikit parau.
“Jadi kau akan mencari terus tanpa adanya petunjuk? Kenapa kau tidak memakai power papa sekalian?”
“Karena jika papa tau aku mengabaikan tunanganku karena mencintai perempuan yang sudah lenyap, bisa-bisa aku dipasung di kamar mandi. Oh come on Zac, think!”
Zac jadi garuk-garuk kepala. Bukannya tidak berpikir ke sana. Tapi menurut Zac, pencarian Edric selama ini terkesan jalan di tempat. Hal itu mungkin dikarenakan orang-orang Edric masih belum secanggih dan se-pro para tangan kanan ayah mereka.“
Barangkali kau bisa mengatakan kalau Zura adalah karyawan kita yang hilang, sehingga kau harus meminta bantuan papa? Kan bisa jadi?
“Tidak semudah itu. Ah sudahlah. Aku ingin tidur dulu.”
*****
Keesokan paginya, Dominic dan Chalondra terlihat sedang bersantai di ruang keluarga ketika suara gedebuk terdengar di lantai atas. Mereka langsung saling bertukar pandang dan sama-sama menggeleng kecil.“Anakmu, Dad,” celetuk Chalondra sambil mengganti chanel tivi berbayar dengan remot yang ada dalam genggamannya.
“Seperti bukan anak kamu saja.”
“Dia mabuk-mabukan karena Daddy. Mau sampai kapan dia seperti itu terus?”
Dominic yang sedang bersantai di kursi goyang sambil membaca koran pagi hanya berdecak. “Bisa kamu jelaskan arti dari kata-katamu itu, Nyonya?”
“Nggak usah pura-pura bego. Daddy tau ‘kan dia lagi ada problem? Kalau enggak kenapa juga dia mabuk-mabukan terus?”
“Problem apa? I have no idea, Cha.”
Chalondra memicingkan kedua matanya, melihat suami tuanya tanpa selera. “Lying. Buktinya Daddy menyimpan foto gadis kecil itu. I know.”
“Kamu juga tau??” Dominic refleks menurunkan korannya. Wajahnya sedikit terkesima. Sang istri merespon dengan menggendikkan bahunya. Paling malas kalau Dominic sudah main kucing-kucingan begini.
“Kamu tau dari mana?” Dominic sudah bergerak dari kursi santainya dan mendekati Cha.
“Aku ini ibunya. Ya wajarlah aku tau.”
“Apa bedanya dengan saya ayahnya, Chalondra?”
“Lah iya. Daddy buktinya tau. Dad tau dari mana hayo? Jujur!”
Dominic yang sudah tua renta itu tentu saja langsung kaget saat dibentak. Chalondra memang masih seperti dulu, saat dia belia. Masih suka teriak-teriak kepadanya. Namun kepada orang lain, wanita itu begitu lembut dan anggun. Sama sekali tidak seperti induk singa yang suka mengaum kepadanya.
“Kamu ‘kan tau saya punya banyak mata-mata. Sebenarnya saya sudah tau mereka dekat sejak gadis itu mulai bekerja di perusahaan.”
Kedua mata Chalondra langsung membesar. “Tapi Daddy nggak kasih tau aku, gitu?!”
Baru juga Dom ingin membuka mulut, tiba-tiba Chalondra sudah memotong lagi. “Dan Daddy masih tega jodohin dia dengan Patricia?? Jahat banget!!” Kali ini remot yang ada di tangan Cha sudah singgah di lengan Dominic dan menggebukinya berkali-kali. “For God sake! Anak sudah punya pacar tapi kenapa masih dijodoh-jodohin! Waktu itu aku kira dia sama sekali belum ada teman dekat makanya setuju sama rencana Daddy!”“The problem is, anak kamu itu playboy, Chalondra! Edric sama sekali tidak berniat untuk mengajak mereka serius, termasuk gadis kecil itu. Lantas mau sampai kapan kita menunggu?!”
“Kenapa nggak ditanya dulu sebelum dijodohkan?”
“Sudah dan dia sendiri yang bilang tidak sedang terikat dengan siapa-siapa.” Dominic mendengus kesal mengingat obrolannya dengan Edric sekitar lima tahun yang lalu. Saat dia memutuskan untuk menerima ajakan perjodohan dari kolega bisnis mereka.
Kini Chalondra memijit kepalanya sambil mendesis. “Kan? Aku bilang juga apa. Jiwa playboy Daddy dulu pasti udah nurun ke dia!”
“Siapa bilang saya playboy?”
“Daddy yang ngaku waktu pedekate sama aku!”
“Kapan saya bilang?” Dominic masih tidak terima.
“Oh, Chalondra siyi sidih limi tidik tidir dingin pirimpiin, bla bla bla,” cibir Cha sambil menirukan kalimat Dominic yang masih sangat dia ingat jelas sampai saat ini. Kalimat rayuan yang begitu sering diucapkan Dominic saat mereka melakukan dosa yang terindah.
“Ha-ha-ha-ha!!” Tawa Dominic menggelegar. Chalondra mengingatkannya akan masa-masa indah pendekatan mereka dulu. Dimana jiwanya selalu bergejolak melihat gadis kecil yang blak-blakan setiap kali berbicara. Gadis cantik, lucu, imut, menggemaskan, menggetarkan hati, menggairahkan. Dominic benar-benar merindukan masa muda mereka.
“Ih, kok malah ketawa sih, Dad? Aku serius ini. Kita harus gimanain si Edric? Aku nggak mau loh ya dia nyakitin dirinya sendiri, nyakitin Patricia juga. Daddy bantu kek!”
“Cha … dia sudah dewasa. Trust me.” Dominic menjawab tenang. Kembali ke mode dimana Chalondra selalu berhasil terdiam untuk mendengarnya. Sorot matanya yang berbinar, mengikat netra Chalondra dengan kuat sehingga wanita itu kembali terhipnotis.
"Hanya dia yang bisa menyelamatkan dirinya sendiri dari masalah apa pun. Kita hanya membantunya lewat saran dan masukan. Patricia adalah campur tangan saya yang pertama dan yang terakhir untuk urusan percintaan dia. Itu pun karena khawatir dia akan kehilangan arah dalam pergaulannya. Tapi apa? Useless. Dia bahkan mengabaikan Pat sampai sekarang. Lantas sekarang kamu mau kita membantunya untuk menemukan gadis itu juga? Big no! Dia tidak akan bisa menghargai sesuatu yang dia dapatkan dengan mudah. Mari kita melihat sejauh mana dia mau berjuang untuk mendapatkan apa yang dia mau.” Dominic menjeda sebentar.
“Lagian …” Dominic kembali melanjutkan. Chalondra masih tetap terdiam. “Kita harus mengingat perjanjian yang sudah kita sepakati dengan keluarga Robbie. Entah bagaimana pun hubungan Patricia dan Edric nantinya, mereka harus tau bahwa kita mendukung perjodohan ini.”
Chalondra menghembuskan nafasnya dalam diam. Mendengar Dom menyebutkan nama keluarga Robbie membuat dia sadar bahwa pemikirannya yang tadi adalah sebuah kesalahan. Berniat untuk membantu Edric menemukan pujaan hatinya alih-alih mendukung Patricia yang sudah setia mendampingi puteranya selama lima tahun belakangan.
“Baiklah, Dad. Aku ikut Daddy aja,” ucapnya sedikit gamang.
“Good. Come, hug me.”
Chalondra menurut saja masuk ke dalam dekapan hangat suaminya. Pelukan yang selalu berhasil menetralisir semua hal yang berkecamuk di dalam pikirannya. Aroma tubuh Dom tidak pernah berubah sejak dulu. Begitu maskulin. Segar dan menenangkan.
“Kita nggak akan bikin dia sama seperti kita dulu ‘kan, Dad?”
“Saya tadi sudah bilang, Cha. Biar Edric yang menentukan jalannya sendiri. Jika dia sudah menetapkan hatinya, tenang saja, saya tidak akan mempersulit apa pun. Tapi yaaaa, anak kamu itu masih labil. Empat tahun dia menyiksa diri tanpa berniat keluar dari masalahnya. Dia kira mabuk-mabukan bisa menyelesaikan semuanya? Dulu saya bisa menyuap orang-orang kepercayaan papa Chris yang menjaga kamu selama satu tahun kita backstreet. Kamu saja tidak sadar ‘kan kalau kamu selalu diawasi? Kenapa saya bisa tau? Ya karena saya cari tau. Nah, anak kamu itu belum se-berani saya waktu muda dulu. Saya tidak tau apa yang sedang dia tunggu.”
“Mungkin dia takut Daddy marah? Atau karena dia sudah punya tunangan makanya nggak berani bertindak jauh?”
“Yes dan sesungguhnya itu bukanlah tindakan yang gentleman. Sebagai seorang laki-laki sejati, kita harus tau apa yang kita inginkan dan kita harus berani memperjuangkannya, Cha. Whatever it takes.”
Chalondra melepaskan dirinya dari pelukan Dom dan menatap suaminya, “Whatever it takes? Semisal pertunangan dia batal dan hubungan keluarga kita dengan keluarga Robbie renggang? Tidak masalah?”
Dominic mengangguk pasti. “Asal tujuan dia kedepannya jelas. Tidak terombang-ambing seperti ini. Saya hanya ingin melihat dia berjuang, Cha. Karena usia kita tidak akan lama lagi. Dia akan menjadi panutan untuk adiknya Zac dan Zoey. Dia harus bisa menentukan yang terbaik, minimal untuk dirinya sendiri. Berharap gadis itu kembali namun tidak bisa tegas melepaskan Patricia? Serakah.”
“Hm … apa kita terlalu memanjakan dia selama ini?” Chalondra tiba-tiba merasa demikian. Karakter Edric jelas jauh sekali dengan Dominic yang straight to the point. Dulu Dom bahkan berani mati menghadap Chris.
“Sudah, tidak ada gunanya menyesali yang sudah berlalu. Semuanya masih bisa diperbaiki semisal pun itu benar. Makanya saya bilang ke kamu, kita lihat saja apa yang dia mau. Dia pasti bisa menangani ini. Saya sangat yakin.”
Chalondra hanya mengangguk tanpa menjawab apa-apa. Lagian dari arah tangga sudah terdengar derap langkah seseorang. Sudah pasti itu adalah Edric.
“Hei, kalian bermesraan terus.” Sebuah tangan yang lebar memeluk kedua insan tersebut dari balik sandaran sofa. Aroma wangi-wangian yang biasa dipakai Edric tersebar memenuhi seluruh ruangan keluarga.
“Hei, Dude! Kamu mabuk lagi tadi malam. Mau sampai kapan kamu akan mengabaikan nasehat kami?” Dominic seperti biasa langsung menegur puteranya.
“Aku hanya ingin sedikit hiburan sebelum perjalanan bisnisku hari ini, Pa.” Edric memijit kedua bahu Dominic dengan semangat supaya ayahnya tidak memuntahkan amarah yang lebih lanjut.
“Siapa yang menjamin kamu tidak akan mabuk selama di Dubai?”
“Papa bisa tanya Calvin. Sepupuku itu tidak pernah berbohong ‘kan kepada Papa dan Mama?” Edric dengan entengnya membawa-bawa Calvin, putera dari om-nya Brandon. Sebagai penerus Cakrawala Paper, Calvin juga memiliki jadwal kunjungan tetap ke Dubai sama seperti Ed. Mereka selalu datang untuk memantau bisnis yang dikembangkan Dominic dan juga Brandon dulu. Setidaknya mereka akan flight dua kali dalam setahun dan menghabiskan waktu satu minggu di sana.
“Dengar, Dude. Usiamu sudah tiga puluh lima. Berhenti melakukan hal yang tidak berguna. Kesehatanmu juga penting untuk dijaga, supaya nanti bisa tetap bugar meski sudah memasuki usia senja.”
“Supaya seperti Papa, begitu?” Edric masih bertanya dengan kesan bercanda. Senyumnya terkembang sampai kedua matanya nyaris hilang. Persis seperti Chalondra setiap kali tertawa.
“Yes and for you family too. Kalau papa sudah tidak ada saat kamu masih kecil, masih remaja dulu, mau jadi apa kamu? Hah?”
Chalondra refleks menepuk paha Dominic agar memelankan suaranya. “Ssstt, Dad. Pelan-pelan aja ngomongnya, Edric pasti paham kok.”
“It’s oke, Mom. Aku memang ingin mendengar amukan Papa pagi ini. Karena aku akan ke Dubai selama satu minggu dan aku pasti merindukan omelannya.”
BUKK!!
“Auchh!! Tinju Papa ternyata masih oke juga. Ha-ha-ha-ha.” Edric sempat terkejut saat tinju Dominic tiba-tiba mendarat di perutnya. Namun untung saja dia sudah sering body building, sehingga tinjuan itu tidak terlalu menyakitinya. Malahan kini dia dan Dom sama-sama tertawa menyadari tenaga laki-laki tua itu ternyata masih lumayan.
“Papa dan mama serius, Dude. Pikirkan masa depanmu dari sekarang. Kami akan mendukung apa pun yang menjadi pilihanmu.” Dominic beralih ke mode serius. Sama seperti menatap Chalondra, dia juga menatap Edric dengan tulus untuk menyampaikan pesannya.
“Siap delapan enam, komandan!”
“Take care selama di Dubai, Ed. Mama papa will miss you.”
*****
Dubai … dua hari kemudian. Edric dan Calvin sudah tiba di apartemen yang menjadi peninggalan buyut mereka, Louis. Dulu, apartemen yang berada di kawasan Marina Dubai itu dihadiahkan Louis kepada sang cucu sebagai hadiah pernikahan, yaitu Dominic. Sempat ingin menolak, namun akhirnya Dominic menerima pemberian mahal ini. Siapa sangka, sepertinya sang kakek memang sudah mempersiapkan semuanya, karena beberapa bulan kemudian, Dominic dan Brandon berhasil menandatangani sebuah kerja sama bisnis dengan salah seorang pengusaha berdarah Indonesia di Dubai. Jadi, apartemen ini benar-benar bermanfaat setiap kali mereka ada kunjungan ke sini. “Brother, sudah selesai belum? Jangan sampai tuan Radesh menunggu kita.” Calvin yang baru saja selesai mandi dan beberes terdengar memanggil Edric yang berada di kamar utama. Sesaat kemudian orang yang dipanggil keluar dengan penampilan yang sudah rapi, layaknya akan bertemu dengan rekan bisnis. “Hahhh, seharusnya kita tid
Zura … Taniskha … Wijaya. Mengapa Edric tidak bisa merasakan apa pun saat mendengar nama gadis itu? Hatinya seperti sudah kebas dihantam rasa rindu dan kesepian. Lagian, benarkah ini Zura yang pernah dia kenal? Mereka seperti dua orang yang berbeda. Zura yang Edric kenal adalah gadis berusia dua puluh tahun, anak kuliah yang lugu dan polos. Sementara, Zura yang ini dari penampilannya saja sudah berbeda. Dia begitu elegan dengan balutan blazernya. Hanya melihat sekilas saja Edric tahu betul, setelan kantor itu berasal dari brand ternama dan mahal. Belum lagi riasan wajah serta tatanan rambut yang membuat wanita itu terlihat jauh lebih dewasa dari usianya yang seharusnya. Bukankah seharusnya dia baru dua puluh lima tahun? What’s going on here? Apa yang telah terjadi? Apa yang sudah dia lewatkan? Edric masih terpaku di tempatnya sambil tidak berhenti menatap wanita itu. “Brother!” Calvin menyikut lengannya. Alhasil itu membuat Radesh tertawa kecil. Edric sendiri
“Brother!” Seruan Calvin serta sikutan sang sepupu di lengannya membuat kesadaran Edric kembali. Pria berkulit putih itu tersentak kecil dan langsung salah tingkah menyadari sekarang Zura dan Radesh sedang melihat ke arahnya.“Kau ingin menambahkan sesuatu?” ujar Calvin lagi, kini dengan anda yang sudah merendah. Sebenarnya, tanpa bertanya pun, Calvin tau Edric akan mengatakan tidak. Dia sangat tau jika sang sepupu tidak fokus dengan rapat mereka sejak tadi. Seandainya bisa, Calvin ingin sekali mengguyur kepala Edric dengan air es yang ada di dalam gelasnya demi mengembalikan kesadaran laki-laki itu.“Ah, tidak. Tidak ada.” Edric menjawab sambil tersenyum tipis. Kan? Dugaan Calvin benar.“Jadi Pak Edric sepakat ya dengan usulan Ibu Zura tadi?” Berbeda dengan Radesh yang sepertinya masih ingin memastikan Edric benar-benar memahami isi meeting mereka. Siapa juga yang tidak sadar jika sedari tadi pria itu seperti terp
Calvin menghela napas lega saat melihat Edric akhirnya muncul dari lift VIP yang baru saja terbuka. Pria itu nyaris kehabisan bahan obrolan dengan Radesh. Namun dia tidak mendapati Zura berjalan bersama Ed. Calvin langsung memahami jika percakapan mereka tidak berjalan dengan baik.“Maaf membuat Pak Radesh menunggu lama.” Edric menghampiri mereka sambil menyampaikan permintaan maafnya.“Tidak apa-apa, Pak Edric. Saya dan Pak Calvin juga sedang asik mengobrol.” Radesh menyahut dengan ramah. “Ah, Ibu Zura-nya ke mana?”“Sedang ke toilet dulu, Pak. Mungkin sebentar lagi akan turun.” Edric hanya mengarang. Hanya kebetulan karena Zura juga tidak ada di sini. Besar kemungkinan gadis itu singgah ke toilet untuk memperbaiki penampilannya.“Ohh,” gumam Radesh. “Ah ya, Pak Edric, tadi saya dan Pak Calvin sudah merencanakan dinner bersama, entah besok malam atau lusa. Semoga Pak Edric tidak keberatan.
Zura sedari tadi hanya berdiam diri di tengah tiga orang pria yang sedang sibuk membahas trading dan saham. Dia sebagai pendengar mulai bosan karena Radesh kelihatannya sangat nyaman dengan Calvin dan Edric. Zura berniat untuk mencari angin sejenak di luar gedung. Seingatnya, di bagian belakang stage vvip ini ada pintu yang mengarah ke balkon gedung. Dia kemudian berbisik kepada Radesh untuk permisi dan pria itu mengangguk sebagai tanda mengizinkan.Melihat Zura yang bangkit berdiri, perhatian Edric langsung terbagi dari Calvin yang sedang berbicara ‘Mau ke mana dia?’ Batin Edric penasaran.“Ibu Zura mau ke mana?” Mulutnya refleks terbuka dan melontarkan pertanyaan konyol itu. Namun, sedetik kemudian, dia langsung menyadarinya dan mengutuk dirinya. Sebegitu tidak inginnya dia Zura pergi. Ke manapun itu.“Dia ingin mencari angin.” Radesh yang menjawab karena Zura tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Gadis itu seperti tida
Zura merasakan jantungnya berdenyut lebih kencang mendengar bisikan Edric yang begitu persis di telinganya. Dia menegakkan kembali punggungnya dengan tempo yang wajar, karena Calvin masih menunggu jawaban atas pertanyaannya : 'Dia (Edric) bilang apa?'"Dia hanya mengigau dan dia sudah tertidur," jawab Zura. Berusaha membuat Calvin tidak khawatir. Kenyataannya memang Edric terlihat kembali tenang setelah bisikan terakhirnya.Sial. Dia tidur tenang, aku yang berdebar. Zura mengumpat dalam dirinya sendiri. Dibuangnya pandang ke arah jendela mobil. Debar-debar di dalam dadanya sekarang ini persis seperti debaran saat pertama kali Edric sering menggodanya di kantor dulu. Saat sang bos mulai menunjukkan perhatian lebih yang tidak pernah dia duga.Hufffff. Semakin sesak dadanya mengingat hal tersebut. Karena pikiran Zura sudah langsung melompat ke satu tahun setelahnya. Saat Edric tiba-tiba membuangnya karena sebuah perjodohan.Kedua mata Zura tidak dapat berboh
Meja berisi empat orang itu sejenak hening kala Edric baru saja membeberkan satu menu nasi padang secara rinci dengan sekali tarikan napas. Itu adalah menu kesukaan Zura yang baru saja ingin disebutkan Radesh juga. Alhasil Edric langsung sadar bahwa dia sudah melakukan sebuah kesalahan. Lagi. "Wah, bagaimana Pak Edric bisa tau? Benar loh, Ibu Zura sangat suka dengan menu yang Pak Edric barusan jabarkan." Kedua mata Radesh membesar bersamaan dengan senyum yang merekah di wajahnya. Menutupi kecurigaan yang sebenarnya semakin besar melihat terlalu banyak kejanggalan di sini. Apakah Zura dan Edric memang mempunyai masa lalu? Kalau iya, bukankah itu sangat kebetulan ketika mereka kembali bertemu di Dubai sebagai partner bisnis? Sebuah kebetulan yang hanya akan terjadi satu di antara seribu kisah cinta. "Ah ...." Edric menggaruk lehernya yang tidak gatal. Mampus lah. Sekarang harus bilang apa coba? Apalagi gadis di hadapannya itu kini melihatnya dengan tatapan data
Zura menatap pantulan dirinya di sebuah cermin besar yang ada di kamar mandi apartemen miliknya. Tubuhnya polos tanpa mengenakan sehelai benang pun. Wanita itu mematut lekuk tubuhnya yang begitu indah. Jangankan lawan jenis, dia sendiri saja sangat mengagumi kesempurnaan yang dia miliki. Bukan kah dulu pun Edric betah padanya gara-gara ini? Dada yang bulat dan penuh berisi, perut yang rata, lekuk pinggang yang seksi, serta bokong yang proporsional. Masih sangat jelas dalam ingatannya bagaimana Edric selalu memekik penuh nafsu ketika bokongnya bergerak-gerak di atas benda tumpul yang berada di tengah-tengah paha pria itu. Zura menelan ludahnya tanpa ekspresi. Dia adalah makhluk paling menyedihkan di dunia. See? Sekuat apapun dia mencoba untuk mengenyahkan Edric dari dalam pikirannya, dia tidak bisa. Sejak mereka bertemu kemarin pagi, hingga hari ini, terlalu banyak hal yang membuat jantung Zura bagai diremas tangan tak kasat mata. Sebenarnya dia begitu rapuh di dalam,