lo tunggu sini ya, gw mau kejar mereka sebelum menghilang.”
Itu yang Rai bilang sebelum dia lari mengejar dua obor itu, dua obor yang sepertinya di pengang oleh dua orang.
Obor semakin menjauh, Rai terus saja mencoba mengejarnya. Gelapnya malam gak mengurangi tekad Rai untuk terus mengejar, terus berlari. Sementara itu, gw sudah jauh berada dibelakangnya, Rai sudah gak melihat gw lagi, tertutup oleh pekatnya gelap hutan raya.Rai menyusuri jalan aspal yang jadi jalur kendaraan melintas.Hingga beberapa puluh detik kemudian dia berhenti..Kenapa berhenti? Padahal obor-obor itu jaraknya sudah semakin dekat.Ternyata karena Rai melihat kalau obor itu berbelok arah, ke kanan jalan, turun dari jalan aspal berpindah ke jalan setapak, masuk ke dalam hutan.Muncul keraguan di dalam benak Rai, apakah akan terus lanjut mengejar atau kembali ke tempat gw menunggunya.Sementara hutan di hadapannya sangat belantara, gelap pekat dan sun
Desa Windualit , sebuah desa terpencil yang jauh dari sosok hirup pikuk Perkotaan. Pemandangan indah Gunung Merapi selalu setia menemani pagi setiap warga di desa ini. Sama sekali tidak ada yang istimewa di tempat ini, bahkan desa ini masih jauh dari kesan modern. Rumah-rumah di sini masih dibangun dari kayu , bahkan listrikpun baru masuk beberapa tahun yang lalu itupun hanya cukup untuk lampu-lampu rumah.Wajar saja, untuk keluar atau masuk Desa Windualit kami harus melalui jurang sejauh ratusan meter. Kendaraan bermotor hampir mustahil mencapai desa kami. Namun warga desa ini sudah terbiasa memenuhi kebutuhan hidup dari hasil bercocok tanam.Uang? maaf saja benda itu tidak terlalu berharga di sini. Namaku Sekar, hanya perempuan biasa yang masih menumpang hidup dari orang tua. Keseharianku layaknya wanita desa biasa. Memasak , mencuci baju di sungai, menimba air dan kadang membantu di kebun bapak.“Bu, sekar ke kali sebentar nyuci baju ya," pamitku pada ibu.
sambil menyerahkan segelas teh hangat.Aku meminumnya sampai habis, terasa rasa haus yang amat sangat dari tenggorokanku.“Masnya udah pingsan seharian, warga nemuin mas pingsan di hutan kemaren,” jelasnya.Aku menyentuh dahiku yang ditutupi perban, mulai teringat kejadian saat aku terjatuh ke dalam jurang.“Kalau udah bisa berdiri, itu ditunggu pak kades, udah disiapin makanan di sana,” ucapnya sambil menunjuk ke sebuah rumah.Aku mencoba berdiri , mencuci muka dan mencari baju ganti dari ranselku. Sejujurnya, aku cemas dengan keadaan Rama dan Yanto, mereka pasti mencariku selama pingsan.“Permisi," ucapku memasuki sebuah rumah yang tadi ditunjukkan oleh perempuan yang membangunkanku.“Eh...monggo, masnya udah sehat? Sini makan dulu," ucap seorang pria paruh baya menyambutku.Aku menghampiri mereka, dengan ramah sepiring nasi disiapkan dan diberikan kepadaku.“Udah kenalanya nanti dulu,ma
Sayup-sayup terdengar suara gamelan terdengar di antara hutan di sekitar pabrik gula, terlihat seorang wanita muda menari dengan gemulai di tengah-tengah cahaya bulan purnamaTapi, darimana asal suara gamelan itu? Tidak ada satupun tanda-tanda pemain maupun alat musik gamelan di sekitar sini?. Yang anehnya lagi, mereka makhluk halus para penunggu pabrik yang sudah lama tidak menampakan diri, kini berkumpul di sekitar wanita itu.Aneh.. tidak, lebih tepatnya mengerikan!Tarian wanita itu semakin menggila, ia memaksa memutar sendi-sendi tubuhnya ke arah yang tidak wajar. Aku berlari mendekati wanita itu mencoba menahan gerakanya, namun tenaganya terlalu besar..Sesuatu sedang merasuki tubuh wanita ini, sebuah doa dan ayat-ayat suci kubacakan untuk menenangkan wanita itu. Cukup lama, hingga akhirnya wanita itu terbaring lemas dan tak berdaya.Kota Jogja, sebuah kota yang pasti akan sulit dilupakan oleh siapapun yang berkunjung ke tempat ini. Rasa nyaman kota in
Pak… Sekar inget pak," ucap Sekar saat tersadar. Ia segera menoleh ke arah Danan.“Mas… Desa mas, desa kena kutukan.. tiap malam purnama satu persatu warga desa menari masuk hutan, dan paginya ditemukan tewas dengan tubuh yang tidak utuh,” ucap Sekar dengan histeris kepada danan.“Bapak? Pak Sardi? Bagaimana keadaanya?,” tanya Danan.“Bapak tinggal di desa membantu warga yang kesurupan, Sekar disuruh lari keluar desa untuk mencari mas Danan.. katanya mungkin mas Danan bisa bantu,” jawab Sekar.Terlihat Danan mencoba mengingat sesuatu.“Alas mayit… di sana ada sendang banyu ireng dan tempat asal eyang Widarpa… mungkin eyang Widarpa bisa membantu,” ucap Danan.Seolah mengerti maksud Danan Eyang Widarpa berbicara“Tidak, gending alas mayit itu kutukan karena perbuatan dosa, aku tidak bisa menolong apa apa," kami menjadi semakin bingung, Sekar terliihat sedih dan me
Kami menurut dan menikmati secangkir teh yang disediakan oleh Ismi. Seorang kakek tua berjalan perlahan menghampiri kami, Ismi terlihat menggandengnya berjalan dengan hati-hati dan mendudukanya di dekat kami.“Ini kakek saya… mbah Rusman, dia yang akan menceritakan semuanya,” jelas Ismi pada kami.Mbah Rusman memperhatikan kami satu per satu sepertinya ia juga menyadari keberadaan hantu Nandar yang terus mengikutiku, kami merapikan posisi duduk dan memberikan senyum seramah mungkin kepada mbah Rusman.“Setelah kalian tau semuanya, apa yang akan kalian lakukan?” tanya mbah Rusman kepada kami.“Kami hanya mencari informasi mbah, teman kami di Jawa Tengah, mereka yang ahli soal hal gaib yang akan mencoba menghentikan kutukan itu” jelasku pada pak Rusman.“Bagus.. jika kalian yang ikut campur, sudah pasti kalian mati,” ucapnya.Kami sangat mengerti akan hal itu, namun setidaknya aku harus mendapatkan
Kami melalui hutan-hutan yang rindang, sesekali kami beristirahat di pinggir sungai untuk sekedar menarik nafas dan mencuci muka sampai akhirnya kami sampai di desa Sekar tepat sebelum malam.Aku sedikit bernostalgia dengan desa ini, sudah ada kemajuan saat aku tersesat disini listrik masih belum menerangi desa ini. Selain itu tidak banyak yang berbeda, selain sebuah rumah yang terlihat cukup besar di tengah-tengah desa. Mungkin saja itu rumah juragan kaya yang bernama Aswangga.Beberapa orang terlihat berkumpul di balai desa. Sekar segera berlari menuju kesana.“Bapak! Sekar pulang,” teriak Sekar yang bergegas menemui ayahnya di tempat itu.“Sekar…” ucap ayah Sekar yang segera memeluknya, sepertinya ia juga sadar dengan keberadaanku.Aku dan Cahyo segera menyusul untuk menemui ayahnya sekar itu.“Mas Danan… kamu bener mas Danan kan?” ucap pak Sardi dengan senyuman di wajahnya.“Iya Pak Sardi,
Hari semakin malam, tak ada satupun cahaya masuk ke hutan itu. Laksmi tersadar dan menyeret tubuhnya sedikit demi sedikit.Di tengah rasa dendam yang menyelimutinya, ia sampai ke sebuah sendang yang digenangi dengan air yang berwarna hitam.Bau busuk mengelilingi tempat itu.“Mati… warga desa harus mati!” bisik Laksmi di setiap langkahnya.Suara gemericik air terdengar, riak air muncul dari genangan air yang berwarna hitam itu.Sebuah kepala dengan sanggul di kepala muncul dari dalam sendang, namun tak ada bola mata di wajah itu.Makhluk itu berdiri dan semakin mendekat ke Laksmi.“Khikhikhi…. Aku bisa nolongin kamu membunuh orang-orang itu," ucap makhluk itu pada Laksmi.Laksmi memandang setan itu, setelah semua yang iya lalui, wajah seram setan itu sama sekali tidak membuatnya takut.“Saya kasi apa saja.. yang penting warga desa mati!" ucap Laksmi kepada makhluk itu.Suara gong berb
Aku dan Cahyo sudah bersiap untuk menyerang kedua manusia penyebab semua kutukan ini, Pak Kades dan Aswangga.Namun.. serangan kami terhenti oleh sebuah kekuatan yang berwarna hitam pekat, dan itu muncul dari Aswangga yang menghadang kami.“Hei Aswangga, untuk apa kamu menjual dirimu pada setan-setan laknat itu,” tanyaku yang masih berharap Aswangga masih bisa diselamatkan.“Untuk apa? Kekayaan, kekuatan, dan hidup abadi.. tentu saja untuk itu semua,” ucapnya sambil tertawa meledeku.“Saat ini tidak ada satupun dari kalian yang bisa mengalahkanku…” lanjutnya.Aku heran, mengapa Aswangga menjadi percaya diri seperti itu.“Danan.. lihat! bukanya itu anak buah Aswangga,” ucap Cahyo sambil menunjuk pada setumpukan mayat yang dipersembahkan di sebuah candi.“Edan kowe… anak buahmu sendiri kamu jadiin tumbal?” Cahyo merasa emosi dengan perbuatan Aswangga.“It