Ketika keraguan melanda keyakinan buatlah keputusan berdasarkan pilihan hati. Percayalah jika semua diniatkan demi kebaikan bersama akan berdampak yang baik, akan tetapi bila hal yang sebaliknya akan berdampak buruk. Reynar harus mengambil resiko dengan keputusannya meskipun ia bimbang. Ia sangat yakin kalau anak yang bernama Chester bukan anaknya, tapi yang membuatnya bimbang adalah perasaan Alana. Bagaimana jika Alana mengetahui tentang masa lalunya dengan Aira?Bagaimana jika Alana tidak dapat menerima berita tentang kehadiran seorang anak yang masih diragukan bahwa anaknya atau bukan? “Rey, apa keputusanmu? Semua tergantung pada apa yang kamu pilih dengan segala resikonya. Apapun nanti pilihanmu, Papa yakin kamu sudah memikirkan semua konsekuensinya?” tanya Rendi pada putranya. “Aku…” Reynar menarik napasnya lalu berucap, “aku memutuskan untuk tetap melakukan tes DNA.” Aira tersenyum kecut. Sebelumnya ia berpikir bisa menekan Reynar dengan keinginannya untuk menikah agar bisa
Reynar kembali ke apartemennya melihat Wildan dan Nina ada di sana menemani Alana. Wildan dan Nina langsung bersikap hormat pada Reynar. “Udah pulang Sayang?” tanya Alana dengan senyuman bahagia menyambut Reynar. Reynar langsung memeluk Alana dan mencium mesra istrinya. Perlakuan Reynar yang begitu mesra pada Alana membuat Nina dan Wildan tersenyum. Mereka berdua jadi sangat malu dengan tontonan di depannya. “Mesra banget si Tuan Rey, ga kayak calon suamiku itu pulang kerja ga ada mesra - mesranya.” Nina menyindir Wildan dengan suara berbisik. “Apa kamu mau aku pulang kerja terus cium - cium begitu?” tanya Wildan berbisik juga dan bingung sendiri. “Kenapa? Kok kamu jadi bingung. Mana ada wanita yang ga mau di sayang - sayang suaminya. Eeh, aku lupa kalau kita belum nikah.” “Memangnya kamu mau menikah?” “Pertanyaanmu itu pintar sekali. Mana ada perempuan yang ga mau ajak menikah.” “Ooh, kamu mau menikah to. Yaa udah nanti kita bicarakan lagi di rumah.” Wajah Nina yang tadinya
Aira sangat gelisah mendengar perkataan pria yang ada dihadapannya. Keadaannya ketakutan membuat lemas dan ia sekarang sedang menggendong Chester membuatnya hampir terjatuh dan dengan sigap pria tersebut membantu Aira. Chester terbangun dan langsung memeluk Ibunya erat. “Jangan menyentuhku!” ucapnya menatap pria yang mengenakan topi hitam dan jaket kulit hitam tersebut tajam. “Aku hanya mau menolongmu dari pada anakmu itu ikutan terjatuh ke jurang yang lebih dalam,” ucap pria itu. Aira mengerti maksud pria itu terpaksa menerima pertolongannya. Apa boleh buat dari pada ia dan Chester terjatuh di lantai besmen yang kotor. “Bisa kita bicara?” tanya pria itu. “Bukan sekarang! Aku sedang bersama anakku,” ucap Aira menatap pria itu tajam. “Baiklah. Kamu bisa taruh anakmu sebentar di mobil dan kita bicara berdua.” “Aku ga mau bicara dengan pria yang tak ku kenal.” “Kalau begitu apa kamu mau kalau Reynar Adiwangsa mengetahui kalau anak ini bukan an—” “Diam!” Aira langsung memotong pe
Setelah pria misterius itu pergi Aira terdiam di depan mobil. Ia bingung harus melakukan apa sekarang, jika pria itu membongkar semua rahasianya akan menjadi masalah dan membahayakan dirinya juga Chester. “Mama.” Chester menggoyangkan tangan Aira. Aira tersadar dan menoleh pada putranya. “Eh, iya Sayang.” “Orang itu sudah pergi, ayo kita pulang.” “Iya Nak.” Aira mengendarai mobilnya kembali ke apartemen. Sebaiknya ia segera kembali agar bisa menenangkan dirinya. Ia khawatir pada putranya jangan sampai Chester terluka meskipun pria misterius tadi hanya mengancam tentang status anaknya. Begitu tiba di apartemen, ia langsung menggandeng tangan Chester masuk ke dalam lobby. “Mama belanjaan Mama mana?” tanya Chester. Aira menepuk dahinya. Ia melupakan semua belanjaannya yang ada di bagasi mobil. “Mama lupa. Kamu tunggu di sini dulu yaa.” Chester menganggukan kepalanya dan Aira berlari menuju basement mobil apartemen yang khusus parkiran untuk penghuni. Setelah mengambil semua bela
Aira mengambil telepon genggamnya menghubungi Venna. Ia harus membuat Venna membenci Alana dan membuat hubungan mereka menjadi hancur. Bagi Aira lebih baik menghancurkan hubungan Reynar dan Alana, dari pada masa depannya dan Chester yang hancur. “Hallo Ma,” sapa Aira. “Hallo Aira. Gimana kabar kamu dan Chester? Baru sehari kalian pergi rumah ini jadi sepi,” ucap Venna yang kesepian. “Kabar aku dan Chester baik, Ma. Maafin aku yaa Ma sudah menggunakan kartu kredit Mama.” “Eh, kamu bicaranya kok seperti itu. Mama sama sekali tidak keberatan Ra semuanya demi kamu dan cucu Mama.” “Terima kasih yaa Ma. Berkat kartu kredit yang Mama berikan aku bisa belanja kebutuhan Chester. Sekali lagi terima kasih banyak yaa Ma sudah banyak membantu aku.” “Jangan mengucapkan terima kasih sama Mama lagi. Memang itu merupakan hakmu dan Chester.” “Iya Ma. Ma apa Mama sendirian?” “Iya Mama lagi di rumah sendirian. Kenapa Ra?” “Papa ke mana Ma?” “Papa lagi main golf sama temannya. Ada apa Ra?” Aira
Beda Aira, beda pula Reynar. Reynar ke perusahaannya untuk rapat mengenai proyek selanjutnya, tapi moodnya berubah menjadi sangat kesal saat bertemu Aira. Pertemuannya yang tidak di sengaja di basement apartemen membuatnya emosinya kembali memuncak. Entah kesalahan apa yang pernah dilakukannya hingga selalu saja berurusan dengan wanita - wanita yang memiliki ambisi dan tujuan tertentu. Apakah ia salah jika mencintai 1 wanita saja? Sudah cukup ia bermasalah dengan Reva dan sudah terlalu lelah untuk menghadapi Aira ditambah lagi dengan kehadiran Chester yang dikatakan Aira merupakan anaknya. Setelah rapat sampai 2 jam, akhirnya selesai juga. Ia ingin segera kembali ke apartemen dan bertemu Alana. Ia berencana untuk pindah dari apartemen agar Alana tidak bertemu Aira. Ia menduga kalau Aira akan menemui Alana dan memberitahukan tentang Chester pada istrinya. Tentu saja hal tersebut jangan sampai terjadi, bisa - bisa Alana nanti akan sedih dan mengganggu kehamilannya. Di saat ia akan ke
Pagi ini bukan pagi yang menyenangkan bagi Aira. Ia gelisah sendiri harus melakukan apa. Apakah ia harus menuruti perkataan pria bertopi hitam itu atau memilih untuk pergi saja dari semuanya. Di tambah lagi sekarang Venna malah sudah berbeda tidak seperti sebelumnya. Di saat ia gelisah telepon genggamnya berdering. Nama Rendi tertera di layar membuatnya terkejut. “Ngapain si kakek tua itu telepon aku pagi - pagi begini?” ucapnya bingung. Aira bimbang harus mengangkat telepon dari Rendi atau tidak. “Angkat ga ya.” Ia terdiam sejenak lalu memutuskan untuk tidak mengangkatnya. “Biarin ajalah. Lebih baik ga angkat telepon, nanti kalau ditanya bilang aja lagi sibuk ngurus Chester,” ucapnya mencoba menenangkan dirinya sendiri. Baru sebentar saja Aira merasa lega. Telepon genggamnya kembali berdering kali ini bukan Rendi, tapi pria bertopi hitam itu kembali menghubunginya. “Waduh, mati aku. Kenapa nih orang telepon aku lagi sih,” ucapnya kesal. Aira memutuskan tidak mengangkat telepon
Reynar menghubungi Yudi meminta sahabatnya tersebut untuk datang ke kantornya. Meskipun, Yudi merasa heran namun ia tetap menuruti Reynar agar ia datang ke perusahaan Adiwangsa tanpa ada seorangpun yang menemaninya. “Kenapa Rey? Wajahmu kok serius amat,” ucap Yudi yang baru tiba di kantor Reynar. “Ada seseorang mengancam Aira,” ujar Reynar dengan mimik wajah serius. “Sejak kapan kamu peduli sama Aira? Biarkan saja tuh perempuan diancam malah bisa jadi kesempatanmu ‘kan.” “Bukan itu masalahnya. Kita kan sudah tau kalau anaknya Aira itu bukan anakku, tapi ternyata ada orang lain yang tau tentang si Chester. Dan dia melakukan itu semua karena suruhan orang lain.” Reynar menunjukan pesan Aira Yudi. Yudi membaca pesannya dengan serius, ia jadi yakin ada seseorang dibelakang Aira, tapi apa tujuannya?“Jadi semua yang dilakukan Aira itu ada dalangnya.” Yudi mengangguk - anggukan kepalanya. “Memang sih Aira itu pintar dan licik hampir mirip - miriplah sama Reva, tapi bukan psikopat kayak