Share

Simtom Jatuh Cinta

Ada panggilan masuk dari bu Nilam saat aku mengantar Ariana ke pagar kosan. Dia menginap di kosanku lagi setelah kami pergi ke Dufan kemarin. Untung saja Ojek online Ariana sudah menunggu sedari tadi dan tidak perlu menunggu lama aku pun mengangkat panggilan itu. Oh ia aku dan bu Nilam sudah saling mengenal karena sering bolak-balik ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas. Bu Nilam ternyata orang yang ramah dan sangat asyik diajak ngobrol. Semua topik-topik pembicaraan bisa dia ikuti. Dari pembahasan yang sudah ketinggalan jaman hingga yang up to date. Kami berbincang hanya sekali-sekali dan tidak membahas hal-hal privasi. Dari bu Nilam juga aku berkenalan dengan Miss Gracelia Handoko, wanita yang lebih mirip artis dari pada jadi penghuni kampus, juga yang dikabarkan sedang PDKT dengan si Mr. Brewok tentunya. Saat tau dia adalah dosen Bahasa Inggris di fakultas Psikologi aku sempat benar-benar kagum padanya. Tapi, setelah mendengar cerita Ariana, rasa kagumku berkurang begitu saja. Signifikan. Beberapa kali aku ingin bertanya tentang si Mr. Brewok pada bu Nilam, tapi sudah cukup malu rasanya jatuh dan ketiduran di perpustakaan, aku tidak ingin banyak-banyak membahas tentang dia.

Bu Nilam memintaku untuk membantunya nanti siang menyusun beberapa buku kiriman dari donatur yang baru sampai. Sebenarnya hari Sabtu begini aku sangat tidak suka diganggu oleh apapun kecuali untuk tugas kuliah, tapi karena bu Nilam sudah menolongku beberapa kali membantu mencarikan buku-buku untuk tugas kuliah, aku pun mengiyakan. Bu Nilam juga selalu menyimpankan majalah-majalah baru untukku. Terkadang aku juga suka menitipkan buku kesukaanku sekiranya ada diantara buku-buku yang baru datang.

***

"Selamat siang, bu"

"Selamat siang Muffin. Waah, kau ceria sekali hari ini. Pakaianmu...hmmm" bu Nilam memperhatikanku dari atas sampai bawah.

Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata dari bu Nilam itu. Hari ini aku memakai pakaian yang sangat jauh lebih casual dari biasanya. Kaos putih polos pas di badan, celana jeans biru belel di lutut dilengkapi sepatu flatshoes pink pastel lembut. Rambutku digerai begitu saja di tutup oleh topi hitam. Biasanya aku memakai kemeja sebagai atasan atau luaran dipadukan dengan celana jeans hitam, lalu dilengkapi sepatu running biru gelap atau hitam. Jadi, wajar jika bu Nilam berbicara seperti seperti itu.

“Beda, ya bu?”

“Iya. Biasanya agak tomboy pake kemeja-kemeja gitu”

“Kalau sekarang?”

“Lebih tomboy lagi, sih”

“Ih...bu Nilam. Kirain lebih cantik atau apa, gitu” kami tertawa lucu bersama. Di lihat bagaimana pun memang kesan girly belum cocok untukku.

"Oh ia makasih loh Muffin, kamu sudah mau membantu ibu"

"Ia bu sama-sama. Tenaaang. Buat ibu Nilam apa sih, yang enggak bisa" ucapku mengikuti langkah bu Nilam kedalam. Bu Nilam mencubit lenganku pelan.

Di dalam ternyata sudah ada orang lain yang sudah sibuk di kelilingi buku-buku. Harum buku baru menyebar di seluruh ruangan. Harum kesukaanku. Orang lain itu adalah si Mr. Brewok. Dia sedang membuka kardus besar berisi buku-buku sumbangan. Sedetik kemudian kurasakan letupan-letupan dihatiku berdenyut juga suara kembang api terdengar pelan dari sana.

"Aduh, pak Ferdi, makasih loh, pak, udah bantuin saya hehehe" ujar bu Nilam genit. Bola mataku berputar demi melihat sikap bu Nilam.

"Iya bu Nilam, sudah berkali-kali loh ibu ngomong gitu. Kayanya pak Ferdi juga udah bosan, tuh dengernya" si sumber suara, Miss Gracelia, muncul membuat keningku berkerut. Pertama, kenapa mereka berdua bahkan bertiga sering bersama-sama? Apa benar mereka berdua sedang PDKT? Kedua, sepertinya aku pernah melihat Miss Gracelia, deh. Tapi dimana yah?. Kuperhatikan lagi wajah Miss Gracelia dengan seksama. Mencari-cari sesuatu di memori dimana gerangan aku pernah melihat dia. Senyumnya itu jelas sekali pernah kulihat.

"Soalnya jarang-jarang pak Ferdi mau meluangkan waktu untuk hal-hal seperti ini”

“Iya, sih. Aku juga kaget waktu pak Ferdi mau membantu kita” mereka berdua si Mr. Brewok dan Miss Gracelia saling bertatapan sambil tersenyum. Suara kembang api itu hilang begitu saja. Letupan-letupan itu tidak berdenyut lagi.

"Ehm...oh iya, kita kedatangan satu orang relawan lagi buat bantuin kita. Buku-buku sumbangannya dua kali lipat lebih banyak dari sebelumnya, jadi saya berinisiatif untuk meminta bantuan darurat pada...mungkin pak Ferdi sudah kenal yah, sama...”

“Muffin?”

“Betul sekali, pak”

“Kenal sekali malah. Dia masih kenal, kan, sama saya?” aku dan bu Nilam saling berpandangan.

“Masih, pak” kugaruk keplaku yang tidak gatal sama sekali. Inginnya aku menggaruk mulutnya yang masih saja julid itu padahal jelas-jelas dia sudah memaafkanku. Setelah dia memaafkanku waktu di tangga, hari-hari berikutnya di mata kuliahnya juga sudah normal kembali. Kukira aku juga sudah kembali jadi mahasiswa normal, sudah terlepas dari cap jelek di matanya. Kenapa dia masih saja mengungkit itu sekarang?

“Baguslah” dia mengangguk. Wajahnya seperti mengejekku. Entahlah, mungkin aku yang terlalu sensitif setelah melihat mereka saling tersenyum tadi.

“Ok. Jadi, Muffin bisa langsung bergabung saja, ya, membantu kita” bu Nilam mengalihkan suasana. Dia tahu aku sudah mati kutu.

“Siap, bu”

“Baik. Hmm...Kamu bantu pak Ferdi aja, deh, mengangkat buku-buku itu. Ok"

“Dar!” kembang api itu kembali muncul lagi.

"Tidak usah, biar saya aja yang membantu" Miss Gracelia memadamkannya lagi.

"Jangan...jangan. Lebih baik kamu istirahat. Liat tuh tangan kamu, udah gemetaran"

“What?? Sejak kapan si Brewok itu bisa sehangat itu?” seruku dalam hati.

"Ga apa-apa, aku masih kuat kok" katanya sambil tersenyum manja menambah kerutan dikeningku. Gossip yang di ceritakan Ariana kemarin malam terngiang-ngiang.

"Ehm...ehm...ok baiklah, kalo begitu Muffin bantu saya membongkar kardus yang lainnya, ayo" bu Nilam menarik tanganku mengikutinya. Terlihat sekali ekspresi kesal di intonasi suaranya. Aku juga sama. Kesal sekali. Kesal karna kemungkinan gossip itu benar. Kesal karna kebenarannya ada di depan mataku langsung. Suasana di ruangan itu jadi aneh dan terasa janggal. Akh...suasana apa ini?

Perlahan-lahan aku pun tenggelam dengan aktivitasku. Memilah-milah buku, menuliskan kode-kodenya agar gampang di data. Buku-buku itu membuatku terbius dan seakan melupakan dunia fana ini dalam sejenak. Apalagi saat buku karya penulis favoritku Dewi Lestari/Dee ada diantara buku-buku itu. Semua fokus dan konsentrasi terhisap. Walaupun buku itu sudah lama keluar, aku juga sudah membacanya lebih dari sekali, tetap saja sampul putih buku tebal itu membuatku ingin membacanya lagi dari awal, hingga tak menyadari seseorang datang menghampiri.

"Suka sama bukunya Dewi Lestari?"

Aku menoleh pada sesosok tubuh yang sudah duduk bersila di sampingku. Dia juga memegang buku yang sama denganku.

"Eh Mr. Bre...." segera kututup mulut dan merutuki kebablasanku.

"Mister Bre?"

"Maksudnya mister Ferdi...hehehe"

"Mister?"

“Iya, Mister. Kemarin saya habis nonton film Warkop DKI pak. Jadi kebawa-bawa manggil mister juga” tentu saja aku berbohong. Aku memang suka menonton film Warkop DKI, tapi kemarin aku hanya menggosip bersama Ariana, tidak ada tonton menonton.

“Hmm...aneh"

Kepalaku menunduk saja tidak berani untuk menimpali meskipun aku sangat ingin karena dia ternyata lebih aneh, bisa berubah dari ice wall menjadi hangat dalam sekejap. Ukh!

"Saya udah terbiasa, sih, dengan keanehan kamu. Ini bukan pertamakalinya. Trus, Bre nya apa?”

“Maksudnya Mister Ferdi, pak. Bapak salah dengar”

“Brewok?” walaupun dia tidak menoleh padaku dan fokus menulis di stiker yang akan di tempel di sampul buku saat mengatakan itu, aku yakin dia pasti sengaja menanyakannya. Kelicikannya itu tetap terlihat. Jelas sekali. Dia sepertinya sangat senang mebuat orang-orang di sekitarnya mati kutu. Tetap saja aku terdiam tak berdaya mendengar tebakannya yang tepat sekali. Hanya bisa kembali menatap dan menggenggam buku tanpa berniat menimpali.

"Mulai kapan kamu suka bukunya Dewi Lestari?" tanyanya ramah membuatku akhirnya lega. Dewi Lestari memang penyelamatku.

"Sejak novel pertamanya, Mister...." kembali kata-kataku terhenti. Kupukul kepalaku dengan buku tebal atas ketololan yang sangat memalukan. Tidak kusangaka, responnya sangat mengejutkan. Dia tertawa. Renyah sekali suaranya itu. Si Mr. Brewok tertawa. Ya, respon yang sangat tidak terduga, membuat penyiksaan terhadap kepalaku berhenti dan hilang sudah kendali atas degupan jantung. Ini Mr. Brewok si pemilik ice wall yang kukenal, kan?

"Apanya yang lucu pak?" tanyaku hati-hati takut membuat suasana hatinya berubah.

"Ehm...menurutmu?"

“Ya...apa, pak? Kan bapak yang ketawa bukan aku?” Menyebalkan sekali, dia yang tertawa malah aku yang ditanya. Huh!!

"Baiklah kalau tidak ada yang lucu, kita fokus pada pekerjaan ini saja. Ok"

"Baik pak" ucapku cemberut.

"Oh ia, namamu siapa? Saya agak-agak lupa"

Duileeh pak, agak-agak lupa?? Helloww. Padahal baru aja tadi dia menyebutkan namaku.

"Muffin pak, Muffin Akredita"

"Muffin? Apa orang tuamu suka kue? Atau punya toko kue mungkin?" pertanyaan yang sangat lumrah kudengar. Biasanya sukses membuatku Bete berat.

"Saya juga tidak tau, pak, kenapa orang tua saya memberi nama seperti itu. Setiap kali saya tanya, mereka juga tidak tau alasan yang pasti kenapanya. Kata mereka sih Nama itu terdengar lucu aja"

"Atau mungkin ada peristiwa khusus terjadi saat kamu lahir?"

"Tidak ada sih pak. Cuma waktu aku lahir aku kelihatan sangat lucu dan hmm...menggemaskan? makanya mereka memberi nama Muffin karena cara pengucapan dan terdengarnya lucu gitu kaya orangnya gitu, pak" betapa tingginya percaya diri ku -___- . Tawa terkekehku yang cringe berhenti ketika dia mentapku dengan ekspresi yang aku tidak tau apa artinya. Bukan jutek atau dingin atau mesum tapi...aku tidak bisa menjelaskan tapi hatiku menghangat. Kami bertatapan hanya sebentar saja sampai aku menunduk kembali. Pipiku panas, aku yakin sekali pipiku panas.

"Ooo jadi tidak ada hubungannya dengan kue?"

"Tidak ada pak. Bahkan orangtuaku tadinya tidak tau kalau Muffin itu sejenis kue" ucapku sambil tersenyum dan bangkit berdiri membawa buku-buku yang sudah dipilah-pilah ke rak buku di belakangku. Mr. Jambang ikut membantu membawa sebagian buku yang tertinggal di lantai.

“Tapi, iya juga, sih”

“Maksudnya, pak?”

“Sedikit”

“Sedikit?”

“Lucu”

Mataku melebar menangkap arti dari ucapannya.

“Kamu dan namamu”

Mataku mengerjap-ngerjap meminta penjelasan lebih detil.

“Banyakan ga lucunya tapi” dia tertawa kecil, renyah.

Mulutku mengerucut cemberut lagi “Makasih banyak, pak” dia tertawa lagi. Masih terdengar renyah.

Buku-buku dari 5 kardus sudah selesai kami susun rapi. Tinggal buku-buku beberapa Dewi Lestari yang belum di susun. Rencananya aku ingin menitipkan pada Bu Nilam untuk di simpan khusus. Pak Ferdi tidak memprotes keinginanku itu karna dia juga melakukan hal yang sama. Dia juga sering menitipkan buku-buku pada bu Nilam. Dia penasaran dengan buku Filosofi Kopi karya Dewi Lestari setelah mendengar sinopsisnya dariku. Buku Kepingan Supernova lengkap dan Filosofi Kopi pun kini sudah ada di tanganku.

Kami bersiap keluar dari kungkungan rak-rak buku saat bu Nilam datang membawa 2 kardus lagi dengan troli barang. Senyum terkulumnya membuat kami menghela nafas. Ini yang terakhir ucapnya menunjukkan tanda peace dengan jarinya lalu pergi meninggalkan kami begitu saja. Mr. Brewok melipat lengan bajunya lagi keatas lalu mengangkat kardus-kardus itu. Dari belakang aku meleleh melihat pemandangan langka itu. Ini sisi lainnya yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Mungkin juga bagi mahasiswa lainnya. Dosen jutek dan galak ini ternyata bisa se-seksi ini. Ini keberuntungan yang harus kusyukurikah?. Degup jantungku sudah tidak terkendali lagi seperti tadi.

"Umurmu berapa?"

Aku yang sedang menyusun buku, menoleh heran padanya yang berdiri di sampingku yang juga sedang menyusun buku. Sekian puluh menit sudah aku berusaha menahan agar jantungku tidak jatuh dari tangkainya. Seminim mungkin aku tidak memancing pembicaraan, tapi dia tetap bertanya-tanya hal-hal kecil. Aku memilih berpura-pura tidak mendengarnya kali ini. Sudahlah, sudahi sajalah. Aku takut tidak bisa menahan getaran-getaran yang tiba-tiba muncul ini. Lututku sudah melemah. Perutku sudah mulai bergejolak. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi denganku saat ini tapi ini sudah mengganggu.

"Ada yang salah dengan pertanyaan saya?"

"Eh...Tidak ada pak. Cuma sedikit aneh saja" aku lanjut menyusun buku.

"Bukannya aneh memang cocok untukmu?"

"Bapak...ih. Udahan, dong. Kan kemarin udah dimaafkan"

"Oh, iya lupa. Maaf maaf. Jadi berapa umurmu?"

"Hmm.. tahun ini 18 tahun, pak"

"Ooo. Bulan berapa?”

“Januari, pak”

“Aquarius?”

“Betul”

“Ok”

“Bapak?”

“Leo” ucapnya pelan. Jantungku berdetak-detak menggedor-gedor dari dalam.

“Ok”

Keheningan mengisi ruang kosong diantara kami. Aku tidak mau mengakui kecanggungan yang perlahan-lahan hadir. Dia Leo dan aku Aquarius. Tidak. Tidak. Tidak ada apa-apa antara kedua Zodiak itu. Sebaiknya aku tidak terlalu memikirkannya. Tidak dengan hatiku yang memunculkan cocokologi di setiap hembusan nafasku yang sudah semakin berat.

"Ada apa dengan umur saya pak?" segera kualihkan kegelisahan itu. Dia melihatku sebentar lalu berjalan ketempat kardus mengambil buku-buku yang lainnya untuk disusun.

"Tidak ada apa-apa. Saya hanya..." kata-katanya terhenti sebentar karena beratnya buku yang diangkat "ingin tahu saja" ia tiba-tiba tersenyum padaku. Senyumnya itu benar-benar membuatku meleleh lagi. Bukannya tenang malah pengalihan itu semakin membuatku kacau balau.

"Oh...kalau bapak sendiri umurnya berapa?"

"Kamu itu benar-benar mahasiswa durhaka, ya. Masa usia dosen pembimbingnya saja tidak tahu?"

Skakmat!

"Hehehe maaf pak"

"30 tahun"

Aku mengangguk dengan mulutku membentuk huruf o, padahal di dalam hatiku kembali melakukan cocokologi. Aku bermaksud mengambil buku-buku yang lainnya lagi, tapi ternyata sudah habis diborong.

“Pak, biar saya saja pak yang menyusun sisanya" ujarku berusaha mengambil buku-buku yang ada ditangannya.

"Sudah kamu bereskan kardusnya saja"

Aku pun mengalah dan melipat kardus berukuran besar itu. Sambil merapikan kardus beberapa detik aku memperhatikan pak Ferdi dengan seksama tetap dari belakangnya. Masih tidak menyangka baru saja tadi malam aku dan Aria memgupas habis tentangnya, sekarang malah sedang asik kerja bareng plus ngobrol-ngobrol dengannya. Kuperhatikan bentuk badannya yang tegap dan pas sangat mempesona apalagi ditambah dengan kemeja ngepas biru dongker yang dipakainya. Dengan tinggi yang sempurna, kutaksir hampir menyentuh 180cm, rambut bergaya Front Puff membuatnya selalu tampil segar, pekerjaan yang mapan dan sifat yang stabil meski kadang menjengkelkan dengan ice wallnya itu juga jutek dan galak, aku yakin sangat wajar bila pada akhirnya nanti rasa suka itu berkembang menjadi rasa yang lebih dalam. Meski pun aku tidak yakin akan berakhir seperti apa, terlebih lagi dia seorang duda. Setiap kali aku mengingat kata "duda", aku jadi sedikit ragu pada perasaanku. Walau pun wibawa atau kharismanya sanggup membuatku meleleh tapi tetap saja aku belum bisa yakin sepenuhnya. Ancaman DO juga menjadi efek dari perasaanku ini padanya bila bersambut. Mungkin aku butuh sesuatu yang bisa meyakinkan hatiku. Sekali lagi, itu juga kalau dia juga menyambut perasaanku. Kalau tidak, ya, ada baiknya juga. Meski aku mungkin tidak akan mau lagi berurusan dengannya bahkan mungkin akan mengajukan permohonan mengganti dosen pembimbing. Sangat kekanak-kanakan memang.

"Hei!" Pak Ferdi sudah berjongkok menjentikkan jarinya di depan mataku. Aku yang berjongkok memegang kardus yang sudah dilipat, tidak fokus, terkejut, limbung dan hampir saja terjatuh ke belakang kalau saja dia tidak sigap menarikku masuk ke dalam dekapannya. Memeluk lembut. Pelukan yang tidak di sengaja itu seketika membuat jantungku berdentam-dentam hebat. Hangat...hangat sekali. Sanggup membuat seluruh bagian hati ini bergemuruh. Hembusan nafasnya menyapu tengkukku. Pelukan itu tidak lepas selama beberapa detik. Suara panggilan dari Miss Gracelialah yang membuyarkan kehangatan itu. Pak Ferdi segera melepas pelukannya dan langsung berdiri. Aku pun ikut berdiri membiarkan lipatan kardus tergeletak di lantai. Kajanggalan mengisi seluruh udara di antara jarak kami berdiri. Setelah menggaruk-garuk kepalanya, akhirnya dia pun pergi keruang baca utama meninggalkanku dalam gemuruh pesta kembang api yang kedua. Lebih dahsyat dari sebelumnya. Terasa hingga ke tulang-tulang. Aku terduduk menyender ke rak buku, tidak sanggup lagi berdiri. Lututku bukan hanya lemah lagi. Sudah tidak ada energi sama sekali menopang badanku.

Perasaan di hati yang tadinya masih ragu-ragu, masih dibawah 50%, dalam sekejap naik menjadi full 100% bahkan sudah overload. Perasaan ini semakin jelas mengarah padanya. Aku tak perduli lagi apa statusnya, keadaannya, kekurangannya atau apa pun yang ada di dalam kehidupannya. Bahkan DO sekali pun akan kujalani bila itu memang jalan satu-satunya. Hatiku sudah jatuh padanya. Jatuh sedalam-dalamnya ke dalam angan untuk memilikinya. Bagaimana aku harus mengartikan semua ini? Bagaimana aku harus meredam gemuruh ini? Tanganku menyentuh dada yang sesak. Sesak ini tidak menyiksa. Tidak sakit. Sesak ini membuatku melayang bahagia. Bibirku tidak henti-hentinya tersenyum. Mataku tertutup meresapi semua gejala-gejala aneh ini. Ini pasti simtom-simtom utama seperti yang di jelaskan Ariana. Simtom-simtom jatuh cinta. Aku pasti sudah jatuh kedalam pelukan cinta.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status