Melinda terkejut ketika mendapati Radit muncul dan melangkah ke arahnya. Sudah jam pulang, dia tengah menunggu Bima menjemput, ya walaupun tidak ada komunikasi di antara mereka seharian ini, tapi bukakah biasanya Bima tidak pernah lupa menjemput dirinya pulang kerja. Ya kecuali kalau pekerjaan di rumah sakit benar-benar tidak bisa ditinggal.
"Mas belum balik?" tanya Melinda ketika Radit lantas berdiri di sebelahnya.
"Kamu sendiri belum pulang? Kenapa masih di sini?" bukan jawaban yang Melinda dapatkan, melainkan pertanyaannya yang sengaja seperti dilempar balik padanya oleh Radit.
"Ya nunggu jemputan lah, Mas. Apa lagi?" Melinda tertawa kecil, membuat Radit ikut tertawa di sisinya.
"Sudah dalam perjalanan? Coba hubungi dulu suamimu."
Melinda tercekat. Benar juga! Kenapa Melinda tidak mencoba menghubungi terlebih dahulu? Apa benar Bima akan menjemputnya? Kenapa Melinda bisa GR sekali? Terlebih sikap Bima berubah total akhir-akhir i
Vina menoleh ketika suara derit pintu itu menyapa telinga, nampak Bima muncul dengan tas yang dia bawa. Anetta terlihat mengerutkan dahi, Vina tahu apa sebabnya, karena sejak pengakuan Bima, Anetta masih belum percaya dan masih bertanya banyak hal perihal Bima."Hai Sayangnya, Papa. Udah makan?" sapa Bima yang langsung mendekat dan mengelus kepala Anetta.Hanya anggukan kepala yang menjawab pertanyaan Bima, membuat Bima tersenyum getir dan mengalihkan pandangannya ke arah Vina."Mama udah balik, Vin?" sebenarnya tanpa perlu Bima tanyakan, dia sudah tahu bahwa di ruangan itu hanya ada Vina dan Anetta, tapi ia perlu mempertanyakan itu karena jujur dia belum punya topik pembicaraan yang bagus untuk memulai obrolan."Sudah, beberapa menit yang lalu. Mas beneran nggak apa-apa nemenin aku di sini sama Neta?" tanya suara itu yang mulai lembut, entah karena ada Anetta di sini atau memang Vina sudah mulai bisa menerima kehadiran Bima, Bima
"Mau mampir makan dulu?"Sebuah pertanyaan yang jujur Melinda harapkan keluar dari mulut Radit. Seperti biasa, jika Bima tidak di rumah, Melinda begitu malas rasanya berdiam diri di rumah. Semua obrolan yang terjadi seperti menyudutkan dirinya, menyindir ketidak kemampuan Melinda mewujudkan apa yang mertuanya itu inginkan.Padahal, siapa sih yang tidak ingin punya anak? Siapa yang tidak ingin hamil? Melinda rasa, hanya wanita penganut paham child-free yang tidak ingin merasakan dua hal paling indah dalam hidup seorang wanita, yaitu hamil dan melahirkan.Melinda ingin dua hal itu terjadi kepadanya, tapi apa yang terjadi? Takdir membawanya jauh dari impian semua wanita di dunia."Boleh, Mas. Tahu sendiri, kan? Aku nggak betah di rumah." jawab Melinda dengan segera.Radit terkekeh, dia hanya menoleh sekilas, menatap Melinda yang nampak lesu sore ini. Radit merasakan bahwa semenjak menikah, Melinda tampak begitu tertekan, dan fa
"Papa kenal sama Levina?" Bima terkejut luar biasa ketika mendapati ternyata antara Vina dan sang papa sudah saling kenal. Apakah ini suatu kebetulan? Atau apa? Bima bergantian menatap dua orang yang masih nampak terkejut satu sama lain itu. Ah ... bukan hanya Andi dan Vina yang terkejut setengah mati, tetapi Bima juga! Dari mana mereka bisa saling kenal? Atau jangan-jangan ... "I-ni anakmu, Vin?" tanya Andi yang masih belum percaya. "Be-betul Dok. Dokter itu pa-papanya Mas Bima?" wajah Anetta benar-benar terkejut, Bima bisa membaca keterkejutan itu dari tempatnya duduk. "Ya ... saya ayahnya, Vin." jawab Andi yang belum mau melepaskan Anetta dalam dekapan tubuhnya. "Jadi dulu bayi di perina yang tiap pagi selalu saya tengok dan gendong itu cucu saya sendiri?" tanya Andi dengan hati yang begitu pedih. Bima terperanjat, ia menatap papanya yang nampak masih begitu syok itu. Jadi dulu bahkan papanya bahkan sud
Andi menghela napas panjang, dia dan Bima kini duduk di bangku yang berada di sudut cafetaria rumah sakit. Tampak Bima sesegukan menangis sambil menundukkan kepala, membuat Andi mendadak makin pusing mendengar suara isak tangis Bima."Kapan Papa ngajarin kamu buat nidurin anak gadis orang, Bim? Anak gadis orang yang bahkan nggak kamu kenal saat itu?" Andi berusaha menenangkan diri, menguasai emosinya agar tidak meledak dan sampai tega menampar Bima seperti tadi.Bima menyeka air matanya, ia tidak bersuara hanya menggeleng perlahan sebagai jawaban dari pertanyaan yang Andi berikan. Memang Andi tidak pernah mengajarkan hal laknat itu kepada Bima! Ia wanti-wanti anak lelakinya itu agar jangan pernah macam-macam sama anak orang selama belum dia nikahi! Tapi nyatanya apa? Andi kecolongan! Bima bahkan punya anak perempuan dari perbuatan bejatnya itu!Memperkosa gadis dibawah umur yang dalam pengaruh alkohol? Sungguh ini benar-benar tindakan biadab!
"Pa, kenapa Papa nelpon mama sih?" protes Bima sambil mengejar langkah Andi.Andi menoleh, menatap Bima dengan tatapan tidak suka, "Kau pikir mamamu tidak perlu tahu soal ini? Bisa ngamuk dia, Bim!"Bima menepuk jidatnya dengan gemas. Masalah ini akan menjadi makin pelik! Terlebih mamanya itu sedikit susah dimengerti dan tidak mudah percaya begitu saja. Terlebih soal pengakuan yang hendak Bima lakukan. Apakah sang mama percaya jika tiba-tiba tidak ada angin, tidak ada hujan dan Bima menyodorkan Anetta dan berkata bahwa Anetta adalah cucunya?"Tapi Pa, hasil tes DNA-nya belum keluar."Langkah Andi terhenti, ia menoleh dengan menatap Bima dengan tatapan tidak mengerti. Bima menghela napas panjang, balas menatap sang papa dengan tatapan memelas."Jadi sebenarnya kamu sendiri belum yakin dengan status Anetta, Bim?"Bima mendengus perlahan, kepalanya makin pusing. Harus bagaimana menjelaskan maksud dan tujuan Bima? Harus bagaimana?"Bukan
Anita melangkah turun begitu beres memarkirkan mobilnya. Tak lupa ia menjinjing tas kesayangannya melangkah dengan sedikit tergesa menuju pintu masuk bagian timur. Untuk apa sih Andi menyuruhnya kemari? Menemani dia yang harus mendadak bertugas? Ah ... rasanya Anita lebih memilih pulang dan tidur di rumah daripada harus bengong di rumah sakit yang sejak dulu di matanya selalu beraura angker dengan segala macam cerita mistis yang sebenarnya Anita sendiri tidak tahu apakah itu benar atau hanya cerita bohong.Anita merogoh ponsel dari dalam tas, menghubungi nomor Andi guna mengabarkan bahwa dia sudah berada di depan pintu masuk rumah sakit sebelah timur.“Sudah sampai?” sebuah pertanyaan yang langsung Anita dapatkan begitu panggilannya terjawab.“Aku di pintu masuk sebelah timur, kam--.”“Jangan kemana-mana, aku turun!”TUT.Sambungan terputus, membuat Anita terbelalak gemas setengah mati dengan kelakuan sang
Anita tercengang mendengar semua penuturan anak semata wayangnya. Bima terisak, duduk di depannya sambil terus menyeka air mata. Tidak perlu waktu lama, air mata Anita pun turut menitik, ia benar-benar terkejut luar biasa dengan semua pengakuan dosa yang Bima jelaskan padanya malam ini."Bima mohon ampun, Ma. Bima sudah mengecewakan Mama."Anita membisu, tidak menjawab dan hanya menatap Bima dengan linangan air mata. Anak lelaki kebanggaannya itu sampai berbuat sejauh itu? Memperkosa anak gadis orang dan dia tinggalkan begitu saja? Ajaran dari mana itu?"Ma ... please tampar Bima, Ma. Terserah Mama mau pukul atau apa, terserah. Tapi tolong jangan cuma diam kayak gitu, Ma!" mohon Bima dengan tangis yang kembali pecah.Anita bergeming, tentu Bima panik melihat dia yang hanya diam membisu macam ini. Diam membisu adalah tanda bahwa Anita sudah begitu marah, sangat marah sekali!Bima meraih tangan Anita, tampak mata itu bersorot
Bima hanya membuka pesan yang tadi Melinda kirimkan kepadanya. Pikirannya kalut dan kacau. Dugaan sementara Bima adalah mamanya sudah memberitahu Melinda perihal tindakan apa yang sudah Bima lakukan. Bukankah tadi mamanya itu sangaaat kecewa dan marah sekali sampai tidak berujar apapun dan pergi begitu saja?Bima mengusap wajahnya dengan kedua tangan, kalau sudah begini, satu-satunya orang yang bisa Bima ajak bicara dan mintai pertolongan adalah sang papa!Bima bangkit, meraih cup kopi yang sudah kosong itu lalu membawanya untuk dia buang ke dalam tempat sampah. Tubuhnya lemas dan lunglai, rasanya semua kejadian ini membuat Bima sakit kepala.“Sudah resiko, Bim. Sudah konsekuensi atas semua yang kamu lakukan dulu!” Bima tersenyum getir, mengejek dirinya sendiri yang dulu begitu pecundang dan pengecut.Kemana mamanya itu pergi? Apakah Anita dalam perjalana kembali ke rumah? Atau dia pergi kemana dulu untuk menenangkan diri? Lantas bagaimana nan