"Apa yang kamu harapkan dengan pertemuan itu?"
Vina menatap sang mama tanpa kedip. Sebuah pertanyaan yang membuat Vina tercengang seketika. Apa yang Vina harapkan? Sejujurnya Vina juga tidak tahu. Dia belum ada rencana yang hendak dia lakukan andaikata dia benar-benar bertemu dengan lelaki yang sudah menanamkan benih di rahimnya.
Yang Vina tahu, untuk saat ini Vina ingin bisa menjawab pertanyaan Anetta kelak jika dia bertanya perihal siapa ayahnya. Sesederhana itu sebenarnya.
"Vi-Vina ... Vina ingin ...," Vina tidak mampu melanjutkan kalimatnya, air mata sudah mengambang di pelupuk matanya, membuat suara Vina tercekat di tenggorokan.
"Ingin apa? Meminta dia bertanggung jawab atas Anetta?" Ani masih menatap tajam anak perempuannya, tidak semudah itu! Ani tahu betul itu.
"Ya kalau dia masih lajang, Vin. Kalau ternyata dia sudah punya keluarga apa yang akan kamu lakukan?" desak Ani yang ingin tahu apa alasan Vina ingin me
"Yakin sudah berani pulang?" Bima sepulang praktek langsung bergegas menemui sang isteri, sudah tiga hari Melinda di rawat di sini, dan dokter sudah mengizinkan Melinda pulang per sore hari ini."Sudah, Mas. Lagipula nggak enak lama-lama di sini." Melinda sudah bisa duduk dan berjalan pasca operasi yang dia jalani.Bima mengangguk dan tersenyum, tangannya mengelus lembut pipi sang isteri, lalu menarik tubuh itu ke dalam pelukannya. Melinda tersenyum, membenamkan kepalanya di dada sang suami."Terima kasih sudah mau mengerti dan menerima aku apa adanya, Mas." kembali ucapan terima kasih yang begitu tulus itu keluar dari mulut Melinda."Sudahlah, yang jelas setelah ini kita harus bersikap normal dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa, oke?"Tentu itu yang harus mereka lakukan agar Andi dan Anita tidak curiga dengan apa yang baru saja Melinda jalani dan mereka tutupi dari semuanya. Bima sendiri tidak bisa membayangkan apa yang t
Melinda menatap nanar ruangan yang sudah beberapa hari ini menjadi tempat dia tidur dan menjalani perawatan pasca operasi. Senyum Melinda merekah, ia menghela nafas panjang sebelum kemudian membalikkan badan dan menatap Bima yang nampak sudah berkemas dan memasukkan semua barang milik Melinda ke dalam tas.Nampak berkas-berkas dengan map biru plus nama dan alamat lengkap rumah sakit, tergeletak di atas meja. Berkas yang Melinda tahu betul berisi semua catatan riwayat kesehatan dan terapi apa saja yang sudah dia jalani di sini."Mas." panggil Melinda yang sontak membuat Bima mengangkat wajah dan menatap sang isteri dengan seksama."Ya? Kenapa?"Melinda tersenyum, melangkah mendekati sang suami dan menyodorkan tangan kirinya. Membuat alis Bima berkerut, tidak mengerti."Ah!" Melinda mencebik, "Masa dokter nggak paham, sih?" kembali Melinda mendekatkan punggung telapak tangan kirinya.Bekas jarum infus yang ditutup
"Yeee!!! Mama pulang!"Vina tersenyum ketika melihat betapa gembira anak gadisnya itu. Ia segera turun dari mobil dan menyodorkan plastik putih berisi beberapa kotak susu UHT, permen dan biskuit, pajak wajib setiap Vina pulang kuliah."Nih, buat besok di bawa sekolah, ya?" Vina mencubit dengan gemas pipi gembul Anetta yang tampak girang menerima bungkusan yang dia sodorkan."Siap, Mama! Mama sudah selesai sekolahnya?" mata cantik itu membulat, membuat senyum Vina terus merekah melihat betapa lucu gadis tiga setengah tahunnya ini."Sudah dong! Mama mandi dulu, oke? Habis itu kita main." Vina kembali berdiri, menggandeng tangan kecil itu masuk ke dalam rumah.Sementara Ani berdiri di depan pintu dengan wajah penuh senyum, ia begitu bahagia dengan hidupnya yang sekarang. Kehadiran Anetta benar-benar membuat banyak sekali perubahan dan corak warna di rumah besarnya yang biasanya sepi. Anetta memang anugerah terindah yang Ani mil
Bima menghela nafas panjang, pesannya hanya dibaca tanpa di balas sama sekali oleh sang isteri. Dia tahu, Melinda pasti mulai jenuh dengan kesibukannya di rumah sakit. Bukankah sudah Bima jelaskan berkali-kali akan banyak yang berubah dan waktu yang tersita ketika Bima memutuskan untuk lanjut pendidikan spesialis?Pikiran Bima makin ruwet. Tidak hanya memikirkan pendidikannya, dia harus memikirkan juga jawaban-jawaban dan sikap yang harus dia katakan ketika sang mama papa terus menerus menanyakan sesuatu yang sejak dia menikah dulu terus ditanyakan.Anak!Itu yang mereka terus tanyakan pada Bima dan Melinda. Kapan hamil, kapan memberi mama-papa cucu. Itu yang nerus menerus mereka tanyakan. Terlebih pernikahan Bima dan Melinda sudah menyentuh angka ke tiga tahun."Aku harus bagaimana, ya ampun!" Bima memijit pelipisnya perlahan.Sejujurnya Bima sendiri sudah ingin dipanggil ayah, papa atau bapak. Tetapi ia sadar dan tahu betu
"Non ... Non Vina, buka pintunya, Non!"Vina yang sudah meraih jar krim wajahnya sontak menoleh ke arah pintu. Itu suara Yeti, baby sitter Ametta. Kenapa? Ada masalah apa sampai dia menggedor pintu kamar Vina dengan begitu panik?Vina melupakan niatnya untuk memoleskan krim wajah itu dan segera bangkit menuju pintu. Naluri keibuannya tergerak. Dia curiga ada sesuatu hal buruk terjadi pada Anetta.Pintu terbuka, nampak Yeti begitu panik dan pucat, membuat jantung Vina berdegup dua kali lebih cepat."Kenapa? Ada apa, kok panik begini?" tanya Vina yang perasaannya mulai tidak enak."Neta, Non! Di-dia--.""Neta kenapa?" potong Vina begitu panik, jantungnya serasa hendak lepas."Neta mimisan lagi." jawab Yeti dengan napas terengah.Mata Vina terbelalak, lagi? "Tadi dia mimisan?" Vina segera melangkah keluar dari kamarnya, melangkah dengan sedikit cepat menuju anak tangga."Tadi siang sampai
"Dok, cepetan!"Bima tersentak, ia segera sadar dari keterkejutan yang tadi menyergap nya. Dengan tanpa mengurangi wibawanya, Bima melangkah mendekati bed itu. Nampak beberapa perawat dan koas tengah mengerubuti gadis kecil yang masih mengeluarkan darah dari hidung."Ini kenapa?" Bima sekuat tenaga membuat suaranya tetap jelas, tidak peduli bahwa sebenarnya Bima tengah awut-awutan saat ini.Wanita dengan kaos berlumuran darah itu ...."Dok, tolong anak saya!"Anak?Kembali jantung Bima seperti dihantam batu begitu keras. Mata Bima terbelalak menatap wanita yang beberapa tahun ini menganggu pikiran Bima. Selalu hadir dalam mimpi Bima bahkan ketika Bima menggauli Melinda.Gadis tanpa nama itu ... gadis yang pertama kali Bima sentuh, gadis memberikan tubuh dan selaput tipis itu untuk Bima pertama kali ... gadis itu kini tampak lebih dewasa dan cantik!Matanya ... matanya cokelat gelap, begitu cantik d
"Nah, itu dokternya, Vin! Ganteng, kan?" nampak mata Ani berbinar. Entah jodoh atau bagaimana, dia sendiri tidak menyangka bisa bertemu kembali dengan dokter itu lagi.Vina hanya tersenyum, tidak menjawab membuat Ani menjawil lengan Vina dengan gemas. Dari wajahnya dia tahu kalau anak perempuannya ini berpendapat yang sama perihal penilaian Ani terhadap dokter ganteng yang mengadzani Anetta ketika lahir dulu."Siapa namanya?" tanya Ani sambil memburu langkah Vina mendekati bed Anetta."Apanya?" Vina membalikkan badan, menatap sang mama dengan alis berkerut."Nama dokter ganteng tadilah, Vin!" gerutu Ani kesal, ia menatap Vina dengan mata melotot.Vina sontak mengangkat bahu, "Mana Vina tahu, Ma. Tadi dia nggak nyebut nama." jawabnya lalu berdiri di samping Anetta yang masih terisak di atas bed."Ah gimana sih?" Ani masih menggerutu, membuat Vina menghela napas panjang dan menoleh ke arah pesawat yang masih sibuk
"Hah? Lagi, Sus?" Vina yang lega Anetta sudah tenang dan tidak menangis setelah proses pengambilan darah, kembali terkejut ketika perawat yang tadi membawa sampel darah Anetta kembali dan mengatakan kalau ia perlu mengambil darah Anetta lagi."Dokter perlu lebih banyak untuk proses cek lab-nya, Bu. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, ya." tampak perawat itu menunduk, tersenyum simpul kearahnya.Sontak hati Vina seperti dicengkeram perasaan takut yang teramat sangat. Sakit apa anaknya sampai dokter perlu lebih banyak darah untuk di cek?"Sus!" panggil Vina dengan suara bergetar hebat. "Anak saya nggak sakit yang aneh-aneh, kan, Sus?" kembali mata Vina memerah, ia benar-benar takut kalau sampai Anetta kenapa-kenapa.Perawat itu kembali tersenyum, "Kita akan tahu setelah hasil lab-nya keluar, Bu."Vina menghela napas panjang, ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia lantas menatap perawat itu dan mengangguk pelan.