Pritt
Mendengar bunyi pluit dibunyikan seluruh siswa kelas XI IPA 3 segera berhamburan berbaris di lapangan.
Jangan tanya seberapa panas hari ini. Tepat jam sebelas, jadwal olahraga meraka dimulai dan tak heran ada saja sebagian siswa yang memilih bolos.
Pria dengan peluh di dahinya menyeringai kala mendongak ke atas.
"Gila, panas banget. Lebih panas dari ngeliat mantan sama gebetan barunya," celoteh Farel sambil mengibas-ngibaskan kaos olahraganya yang sudah basah duluan.
"Cihuyyy!" sorak Didi dan yang lainnya.
"Sudah, diam! Diam! Ini baru panas sinar matahari yang letaknya jauh dari bumi. Di neraka bisa lebih panas. Api neraka langsung nyentuh kulit, apa gak kebayang panasnya kayak gimana? Gitu aja ngeluh!" Sahut Pak Jojo juga ikut menyeringai karena terik sinar matahari.
"Hari ini bapak akan menggabungkan kalian dengan kelas XI IPA 1. Karena sesudah istirahat kedua bapak masuk ke kelas mereka dan berhubung bapak ada rapat dengan kepala sekolah jadi digabung saja ya."
"Gak asik! Huhu"
"Gak seru jadinya, Pak!" protes para siswa.
Apalagi saat Farel cees membuat suasana tambah runyam, Pak Jojo makin bertindak.
"Rel, kamu jadi instruksi pemanasan. Sesudah itu ajari mereka semua untuk men-shoot bola basket ke ring--"
"Gampang, Pak," potong Farel membuat Pak Jojo makin tidak suka dengan anak itu.
"Ajari anak IPA satu juga ya, sebentar lagi mereka akan turun ke lapangan."
"Lah? Saya cuma kebagian ngajarin doang?"
"Iya, kamu gantiin saya biar gimana capeknya jadi saya apalagi harus berhadapan dengan kelas kamu. Sudah bapak akan pergi dulu. Nih sekalian kamu absen kelas kamu!" Pak Jojo memberikan buku absenya ke Farel.
Dan benar saja, rombongan kelas unggulan datang dengan wajah serba-serbi kutu buku. Mereka berjalan santai membuat Farel berkacak pinggang menunggunya.
"Cepetan woi! Mau pemanasan nih!" teriaknya. Farel mengeluarkan ponselnya kemudian memutar lagu bernuansa dj.
"Ikutin gaes!" seru Didi kala melihat gerakan Farel di depannya.
"Woi, yang bener dong! Pemanasan banci bukan goyang dumang!" sarkas Alan--ketua kelas IPA satu.
"Suka-suka gue dong! Gue intruksinya," debat Farel tak ingin kalah apalagi mereka berdua pernah bersaing saat pemilihan ketua osis beberapa minggu lalu, membuat Farel tak ingin kalah darinya.
"Kalo gak suka mending cabut aja, ya gak?" Didi menambahi. Ia kembali bergoyang mengikuti alunan lagunya.
"Lo gak takut dimarahin sama Pak Jojo?" Alan berdecih.
"Pak Jojonya sudah out ke laut tuh!"
"FAREL!"
"Buset telinga gue." Farel terlonjak kaget saat Pak Jojo datang meneriaki namanya.
"Matiin musiknya dan pemanas yang bener!"
"Permisi, Pak. Maaf saya telat." Suara gadis di belakang Pak Jojo membuat mereka beralih perhatian.
"Kemana seragam kamu?" tanya Pak Jojo saat menoleh.
"Saya belum dapat seragamnya. Soalnya saya murid baru," jawabnya sembari tetap menunduk.
"O. Kamu duduk saja di pinggir lapangan, ya. Minggu depan kamu sama dah harus punya seragam jika ingin masuk kelas saya."
Gadis itu mengangguk dan segera duduk ke pinggir lapangan.
Pemanasan dilakukan secara hidmat setelah itu Pak Jojo kembali ke ruangannya karena mendapat telepin bahwa rapatnya akan segera dimulai.
Dan di sini yang paling capek adalah Farel. Berulang kali memberi arahan untuk memasukan bola dengan benar.
"Agak tinggi lagi loncatnya dong!" serunya.
"Gue takut terkilir." Gadis itu tidak menuruti apa yang Farel perintahkan. Dan biasanya ia tidak melakukan apa yang Pak Jojo perintahkan padanya.
"Kalau bukan cewek--"
Bugh!
Cewek tadi melempar bolanya ke arah wajah Farel.
"Buset,"
"Sori, Rel. Gue lagi PMS, jadi bawaannya kesel mulu." Siswi dari kelas IPA satu itu mundur kembali ke belakang bergantian dengan yang lain.
Sekarang giliran anak laki-laki dari kelas IPA satu. Farel memantulkan bolanya dengan keras ke arah Alan.
"Tunjujkin kejantanan lo!" Farel memberikan tatapan tajam.
Dan saat Alan men-shoot bolanya, bola itu tidak mengenai sasaran yang artinya tidak berhasil masuk.
"Sori, gue bukan anak basket," katanya santai dan kembali ke posisi belakang.
"Halah, dasar banci!" ejeknya kemudian men-shoot bola itu dengan seenteng mungkin.
Alan meminta bola yang lain pada Didi. Pria itu kembali berusaha melakukan shoot lagi, tetapi tidak berhasil. Saat bolanya menggelinding, murid baru itu mengambilnya.
"Eh, lempar aja bolanya," pinta Alan. Ia tahu cewek itu murid baru di kelasnya.
"Gak apa-apa nih? Soalnya tenaga gue kuat banget."
"Sekuat apa si tenaga lo?" Alan menggoda.
Cewek itu melempar bolanya hingga melambung jauh ke atas sana dan ....
BUG!
Brak!
"Rel?"
"Rel bangun! Farel!"
***
"Cewek sialan! Sengaja pasti tuh, gue yakin tuh cewek dari kelas sebelah. Komplotannya si Alan!" Farel meringis menahan nyeri di bagian belakang kepalanya.
"Kayaknya si iya Rel. Tapi btw, tuh cewek tenaganya kuat juga yah sampe bikin lo pingsan dua jam gini."
Mendengar itu Farel malah merasa seperti pria lemah. Ia bangkit dan merilekskan badannya. Menggerakkan tangannya ke kanan ke kiri secara bergantian.
"Halah, tenaga tempe aja lo bilang kuat. Sebenarnya gue gak papa Di. Tadi selama dua jam gue ketiduran," alibinya.
Didi hanya menanggapi dengan bersih ria saja.
***
Sina mencoba menguatkan dirinya dari keterpurukan yang terus menghantuinya. Sina mencoba membuang napas diam-diam di bangku paling ujung.
Hingga seseorang menepuk pundak kirinya membuat jantung Sina hampir migrasi ke lambung.
"Kenapa? Kok, kayak lihat setan?" tanya Dewi sambil tertawa receh. Ia adalah teman baru Sina.
"E--enggak apa-apa. Kaget aja, hehe."
Kalo lo nggak mau dibully kayak di sekolah lo dulu, berubah dong! Jangan jadi cewek lemah. Jangan diam aja kalo ditindas. Gue aja kasian liat mental lo masa lo ngga kasian sama diri lo sendiri. Jangan jadi pengecut Sina!
"Sin! Yaampun dari tadi ngelamun aja. Ngelamun apaan si? Emangnya Lo nggak mau balik?" Dewi kembali membuat Sina terkejut.
Sina sedang berpikir prihal raganya yang kuat tetapi tidak dengan mentalnya. Ia hanya mengangguk dengan senyuman dan ikut berdiri menyusul Dewi.
Sina memilih pulang naik bis, karena kakaknya ia larang untuk menjemputnya. Hal itu dilakukan agar kejadian dulu tidak terulang lagi. Hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang kakak perempuan pada adiknya.
Hujan menambah sendu suasana di dalam bis. Sina melihat jalanan kota yang sudah mulai digenangi air. Lalu melihat orang-orang di atas motor berhamburan untuk meneduhkan dirinya. Akan tetapi berbeda dengan pengendara motor yang sedang membonceng gadisnya, mereka tetap melawan arus hujan.
Mata Sina membulat kala melihat wanita yang ada di boncengan itu. Ia juga baru tersadar akan motor yang dulu pernah ia duduki bersama Glen. Glen kekasihnya.
"Kak Oliv?"
***
"Habis darimana kamu?" Nada sinis dari tantenya membuat Sina menghentikan langkah."Tante gak liat Sina pake seragam sekolah?" Sina menjawab dengan nada berat.Sina sudah tahu apa yang akan wanita itu lakukan padanya di kala sedang capek begini--menyuruhnya untuk membersihkan rumah.Nesa langsung berdiri dan menghampiri anak itu dengan tatapan tajamnya."Kamu telat 30 menit, wajar dong kalo tante nanya. Lagian ini kan rumah Tante. Inget ya Sin, kamu cuma numpang di sini." Tepat sasaran sampai Sina bungkam."Gih sana, cuci piring sama angkat jemuran. Hidup ngga ada yang gratis," lanjutnya lagi. Setelah itu pergi melewati Sina dan sedikit menyenggol bahunya.Tak berapa lama kemudian Oliv datang. Kakak perempuannya yang berparas cantik itu langsung disambut ceria oleh Tante Nesa. Tante Nesa yang sikapnya jauh berbeda dalam memperlakukan dirinya.Sina memilih menaiki
"Keren banget Sin. Emang Farel pantes dapat pukulan itu dari lo. Di sini mana ada yang berani. Gue dukung lo Sin. I'm support you, darling."Kejadian menghebohkan terjadi tadi pagi di kelas IPA I, nama Farel menjadi tumbang oleh gadis yang berstatus sebagai murid baru di SMA Nusa Bangsa.Tepat di wajah Farel terdapat tamparan bekas sepatu. Pipinya berubah merah padam lebih tepatnya merah keungu-unguan. Sementara matanya seperti bajak laut--sebelah matanya ikut lebam.Saat ini banyak orang yang memenuhi ruang kelas Sina. Sedang Farel masih terkapar di lantai dibantu Didi yang ikut meringis melihat wajah tampan pria itu berubah mengerikan.Mata Sina basah. Dia bisa melawan?Lo budek? Congean telinga lo? Bangun goblok, lawan mereka! Kalo diem aja mereka akan terus menjadi buat mainin lo. Tendang kek apa kek.Suara-suara itu
"Masuk aja!" perintah Shela saat Sina masih mematung di depan pintu. Karin dan Devi bersedikap dada menunggu Sina untuk ikut masuk.Sina tak menyangka ternyata Shela seramah itu saat mengajaknya berkenalan. Ia pikir Shela akan menindasnya di toilet, ternyata perkiraannya salah. Dia justru mendukungnya tentang apa yang sudah ia lakukan pada Farel."Ayok, Sin. Gausah takut!" Shela menarik tangan Sina dan membawanya ke lantai dua.Di belakang, Karin dan Devi saling berbisik tentang apa rencana yang sedang dilakukan Shela sebenarnya."Apa si maksud Shela bawa cewek itu ke sini?" kata Karin pelan."Gak tau, kita lihat aja nanti," balas Devi tak kalah berbisik.Saat Shela membuka pintu, Sina langsung terkejut. Hampir saja jantungnya imigrasi ke lambung.Seorang anak laki-laki dengan lebam besar di sebelah matanya melirik tajam ke arah cewek-cewek yang dengan lancang masuk begitu saja ke kamarnya."Ngapain lo ajak cewek sialan i
Dentingan garpu dan sendok membuat Sina jadi canggung sendiri untuk ikut makan."Duduk, Sin. Sarapan!" Om Rio berseloroh.Ternyata Om Rio memerhatikan kegugupannya. Sina jadi merasa tidak enak hati.Sina duduk di sebelah Oliv dan berhadapan dengan papanya. Ia melihat makanan di piring Rian sebentar lagi habis."Papa anterin kalian, ayok, cepat dihabiskan makanannya." Akhirnya Rian membuka suara setelah Sina menahan ketakutannya."Papa nggak usah anterin Oliv. Biar Papa sama Sina aja, ya.""Lah, memangnya kenapa?" Rian memandang ke arah Oliv."Kan sekarang Oliv sama Sina beda sekolah, Pa."Tatapan Rian beralih pada Sina. Belum sempat Sina menambahi perkataan Oliv, Nessa malah menyambar lebih dulu."Dia pindah ke SMA Trisakti. Ngotot banget minta dipindahin," ujar Nessa sembari menyuap nasi goreng ke mulutnya.Rian mencengkram sendok kuat-kuat.Selalu saja ada sisi negatif yang membuat Rian marah pada
"Aneh tuh cewek, bukannya takut malah makin nantangin lo. Pake acara masuk ke geng ST lagi."Celotehan Didi tak berbuah tanggapan dari sang empu. Farel tetap terdiam dengan beribu pikiran di kepalanya.Shela makin hari selalu makin seenaknya dengan dirinya. Seharusnya ia bertindak pada sepupunya bukan pada gadis itu."Lo tau Shela sekarang ada di mana?""Emm, katanya si anak-anak ST bakalan buat perhitungan sama anak sebelah--""Sekolah Agaksa?" tanya Farel cukup kaget. Didi mengangguk."Kenapa gue gak dikasih tau?""Sengaja. Kata Shela lo mana mungkin datang soalnya cewek yang namanya Sina ikut buat berantem sama mereka. Gue aja dilarang ikut buat jagain lo di sini ... ups," jelas Didi keceplosan."Anjir ya, lo!" Farel memukul kepala Didi kemudian bangkit dari sofa. Ia mengambil jaket dan kunci motornya."Mau ke mana, Rel?""Cari cewek bahenol buat lo!" kelakar Farel menatap penuh sengit.***
***"Rel, Om Surya mau ketemu. Kasian Rel, Om Surya mohon-mohon ke gue buat ngetemuin lo sama dia."Mendengar nama itu, Farel meletakan stik game pada tempatnya. Moodnya selalu saja turun drastis kala mendengar nama ayahnya."Udahlah Shel, lo gak usah ikut campur. Sampai kapan pun gue gak mau ketemu cowok itu!" Farel beralih mengambil ponselnya di samping Shela."Mau sampai kapan lo bikin hati lo terluka terus? Gue tau lo juga rindu sama Om Surya 'kan?"Dulu Farel seperti kapal dan perangko yang tak dapat dipisahkan dengan ayahnya. Kemana-mana selalu berdua, bahkan kadang pula Farel membolos sekolah demi ikut bersama ayahnya ke luar negeri jika ada pekerjaan di sana. Akan tetapi, sekarang mereka berdua ibaratkan air dan minyak susah sekali untuk menyatu."Males gue ketemu cowok berengsek!""Terserah deh Rel. Gue cuma nyampein ini ke lo karena Om Surya kangen banget sama lo." Shela berakhir pergi dari kamar Farel. Ia membiarkan sepu
Rian duduk di sisi ranjang anaknya. Ia melihat sang putri tertidur lelap sekali.Saat hendak mengelus Sina, Rian selalu teringat kedua mendiang istrinya yang sudah meninggal. Sulit sekali bagi Rian menyingkirkan rasa gugup untuk menunjukkan kasih sayangnya pada Sina. Ia malah sering menyalahkan Sina untuk semua yang sudah terjadi. Ia tidak tahu kenapa dirinya jadi begini, jadi ikut terhasut kata-kata Nessa.Tangan Rian menggantung di atas kepala Sina. Ia tidak jadi membelai rambut putrinya. Rian kembali menutup pintu, tetapi sebelum itu ia mematikan lampu kamarnya terlebih dahulu.Kelopak mata Sina perlahan terbuka. Terbuka bersamaan dengan air mata yang mengalir. Rasanya ia rapuh sekali mendapati papanya tanpa mencium kening tanda kasih sayang ayah pada seorang anak."Sina kangen Papa," lirih Sina yang terisak oleh tangisnya.Perlahan mata Sina mulai tertutup kembali, ia menarik selimut un
"Ada yang bisa memberikan contoh?" Bu Lisa tersenyum ramah kepada semua siswa. Ia memandang murid dikelas IPA dua satu persatu.Sina memainkan jarinya gugup. "Coba aja, Sin. Mereka harus tau tentang keistimewaan Suku Boti," batinnya.Sina mengangkat tangan agak ragu, "Sa--saya ada, Bu."Semua orang menoleh ke arah Sina dan pipi Sina langsung bushing memperlihatkan pipinya yang merona."Iya, kamu." Bu Lisa melangkah lebih dekat, karena Sina duduk di bangku paling belakang."Di Nusa Tenggara Timur ada Suku bernama Suku Boti. Menurut saya Suku Boti ini terbilang unik, karena bilamana ada pencuri mereka memberlakukan pencuri itu dengan baik. Tidak seperti di daerah lain atau ibukota yang mengatakan atau memukulnya secara brutal, justru Suku Boti memperlakukan si pencuri dengan manusiawi. Seperti; jika si pencuri mencuri singkong maka para warga akan memberi dia singkong. Jika kedapatan mencuri pisang, maka mereka pun akan memberikan si pencuri pisang.