"Mbak, aku mau pulang dulu, dan aku mau minta tolong ke Mbak ya, tolong jangan kasih tahu siapa pun soal ini," ujarku memohon kepada Mbak Yuyun, sebab selain malu, aku juga perlu melihat bukti secara langsung, apakah Mas Rohman benar-benar selingkuh?
"Iya, kamu tenang aja. Aku juga nggak berani cerita sama orang-orang, soalnya iya kalau ini beneran si Ika, nanti kalau salah, kan aku yang dituduh menyebarkan fitnah. Emm ... Kamu yang sabar ya, Nell, dan kamu juga harus pikir baik-baik masalah ini."Aku hanya mengangguk, lalu kemudian aku berpamitan pulang. Di saat aku memasukkan sepeda motorku ke garasi, kulihat rumah masih sepi, sepertinya Mas Rohman belum pulang, dan Ibu sudah pergi entah ke mana.Aku hendak masuk ke dalam kamar, namun kudengar ada suara sepeda motor Mas Rohman yang baru saja tiba.Tanpa mengulur waktu, aku pun langsung pergi ke depan, dan membuka pintu rumah."Lho, Nella. Kamu kok sudah ada di rumah?" tanya Mas Rohman kaget."Kamu habis dari mana, Mas?" tanyaku balik tanpa menghiraukan pertanyaan Mas Rohman."Aku habis nganterin Ika ke Pasar. Oh ya, ini uang ongkos tadi," sahutnya seraya menyerahkan uang yang ia ambil dari kantong jaketnya.Sejenak aku tertegun ketika menerima uang pemberian Mas Rohman, aku tidak menyangka kalau Mas Rohman akan berkata jujur, padahal kalau jawaban dia sampai berbohong, aku pasti akan langsung menuduhnya selingkuh dengan Ika."Mas, kamu kok jadi deket sama Ika? Sampai mau disuruh dia nganter ke pasar pagi-pagi begini?" tanyaku yang mencoba memancing jawaban Mas Rohman, memangnya seberapa dekat mereka berdua?"Ya sebenarnya sedikit terpaksa, sebab subuh tadi dia tiba-tiba datang ke sini, terus minta tolong, masa iya aku tolak, kan nggak enak?""Tapi, kenapa dia langsung minta tolong ke kamu, Mas? Kamu kan juga bukan tukang ojek.""Ya nggak tahu, mungkin karena kemarin aku mau nganter dia ke mall, dan tadi dia juga lagi butuh tukang ojek, tapi karena nggak ada, jadi dia minta tolong ke aku. Sudahlah, kamu jangan mikir aneh-aneh, aku dan dia nggak ada hubungan apa-apa," sahut Mas Rohman yang kemudian langsung pergi ke kamar.Aku hanya bisa menghela napas mendengar jawaban Mas Rohman, meski jawaban Mas Rohman masuk akal, namun hatiku tetap tidak tenang.Sepertinya aku harus tanya langsung ke Ika, jangan-jangan dia memang berniat ingin menggoda Mas Rohman.Lalu tanpa mengulur waktu lagi, aku pun segera mengerjakan semua pekerjaan rumah ku, lalu setelah selesai nanti, aku akan pergi ke rumahnya Ika.***Setelah semua pekerjaanku selesai, aku pamit ke Mas Rohman dengan alasan mau pergi ke toko. Namun, aku tidak mengatakan kepada dia, bahwa aku akan pergi ke toko yang berada di depan rumahnya Ika.Toko di gang sebelah ini memang lebih besar dari toko tetanggaku, jadi hal yang sangat wajar jika warga kami sering datang kemari kalau barang yang kami cari tidak ada di toko tetangga kami.Sambil berbelanja, aku pun juga menyempatkan diri untuk melirik rumahnya Ika, dan untungnya saja pintu rumahnya terbuka, jadi aku bisa mampir setelah belanja di toko ini.Setelah berbelanja, sesuai dengan niatan awal ku, aku pun langsung pergi ke rumahnya Ika.Ada perasaan sedikit ragu saat aku sampai di teras rumahnya, namun demi ketenangan hatiku sendiri, aku harus nekat mengetuk pintu rumah ini."Assalamualaikum," ujarku memberi salam seraya mengetuk pintu yang sebenarnya sudah terbuka itu."Wa'alaikumsalam, eh Mbak Nella, silakan masuk, Mbak," sahutnya ramah. Namun, sangat membuatku terkejut, sebab ini adalah pertemuan pertama kami, namun ia seolah-olah sudah lama mengenalku."Habis belanja ya, Mbak?" tanyanya basa-basi seraya melirik kantong belanjaan ku."Eh, Iya. Oh ya, maaf ya kalau kedatanganku ke sini mengganggu kamu," ujarku sedikit tidak enak, sebab sepertinya dia sedang memasak, terlihat dengan celemek yang menempel di tubuhnya."Oh, nggak kok, Mbak. Mbak santai saja, ngomong-ngomong ada apa ya Mbak? Tumben Mbak main ke mari?"Aku tersenyum canggung. " Emm ... sebelumnya aku minta maaf ya, Ka. Bukannya aku bermaksud gimana-gimana, tapi jujur aku hanya penasaran, tadi kenapa kamu minta tolong suamiku untuk mengantarmu ke pasar?""Oh ... itu, hahaha ... Mbak pasti curiga denganku kan? Tapi, nggak apa-apa kok, aku sudah biasa," sahutnya yang masih bisa tertawa.Sedangkan aku tentu bingung, dan pastinya juga semakin merasa tidak enak dengan Ika, sebab kalau diperhatikan lagi, sepertinya Ika bukan tipe orang yang seperti dibicarakan oleh orang-orang selama ini.Penampilan Ika memang bukan seperti wanita lugu, namun ketika berbicara dengannya, dia tidak terlihat seperti janda-janda gatal yang digambarkan oleh orang-orang selama ini."Eh, enggak kok, aku hanya--""Udahlah Mbak, nggak apa-apa kalau Mbak mau percaya dengan perkataan orang-orang di luaran sana. Tapi, kalau untuk suami Mbak, saya berani bersumpah Mbak, saya tidak berniat mendekati suami Mbak. Tapi, justru saya ingin membantu Mbak.""Membantuku? Membantu apa? Apa maksudmu?" tanyaku bingung."Maaf ya, Mbak. Untuk saat ini aku belum mau memberikan alasan, kenapa dan apa yang aku bantu untuk Mbak. Tapi, pesanku, tolong setelah ini Mbak buka mata Mbak, dan telinga Mbak lebar-lebar, karena aku kasihan melihat Mbak.""Memangnya ada apa sih, Ka? Tolong beri tahu aku," ujarku penasaran."Sekali lagi aku minta maaf, Mbak. Aku beneran tidak enak dan bingung gimana cara nyampeinnya ke Mbak, yang jelas tolong ingat-ingat pesanku tadi ya?"Huh, aku hanya bisa menghela napas mendengar jawaban Ika. Ingin sekali rasanya memaksa Ika untuk bicara, tapi rasanya percuma, sebab Ika benar-benar terlihat tidak enak untuk menyampaikan apa yang sedang ia simpan saat ini.Pokoknya jika dilihat, ekspresi Ika sama seperti Mbak Yuyun waktu itu, yang hanya menyuruhku untuk waspada. Namun, jika wanita yang harus aku waspadai ternyata bukanlah Ika, lalu siapa wanita itu?Karena tidak mendapat jawaban yang aku inginkan, dan justru aku malah dibuat penasaran dengan perkataan Ika, aku pun memutuskan untuk berpamitan pulang.Dan, di dalam perjalanan pun aku masih memikirkan hal ini, sebenarnya ada apa sih ini? Dan, kalau benar Mas Rohman memang selingkuh, lalu dia selingkuh dengan siapa?Ah, sudahlah. Semakin dipikirkan maka semakin membuatku pusing saja, lebih baik aku tidur aja sekarang, pikirku ketika membuka pintu rumah.Namun, aku terkejut saat membuka pintu, sebab bertepatan dengan itu aku melihat Ibuku keluar dari kamarku."Ibu, ada apa?" tanyaku bingung."Nggak ada apa-apa, cuma ngomelin suamimu aja," sahutnya yang kemudian masuk ke dalam kamarnya sendiri.Hah, ngomelin Mas Rohman?Berarti Mas Rohman ada di dalam kamar?Lalu kesalahan apa yang diperbuat suamiku, hingga Ibuku sampai masuk ke kamarku hanya untuk mengomeli suamiku?"Nella, Ibumu terlalu cerewet, kalau begini terus lama-lama aku nggak betah tinggal di sini," gerutu Mas Rohman ketika aku baru saja masuk kamar."Yang sabar ya, Mas. Kalau kita pindah dari sini, kan kasihan Ibu sendirian," sahutku yang masih merasa berat jika harus meninggalkan ibuku sendirian, sebab kalau ada apa-apa kan susah jika tidak ada sosok laki-laki di rumah, terutama pas ada atap bocor, atau masalah lain yang hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki.Oleh karena itu aku mengajak Mas Rohman tetap tinggal di sini, walaupun setiap harinya Ibuku selalu menyindir Mas Rohman."Hah, ya sudah lah! Kalau begitu aku mau mancing aja, di rumah hanya nambah pikiran jadi semakin sumpek!" Kini giliran aku yang hanya bisa menghela napas panjang, ketika melihat Mas Rohman pergi begitu saja. Padahal kalau kamu mau mencari pekerjaan tetap, Mas. Tidak akan ada keributan seperti ini di setiap harinya.Setelah membereskan barang belanjaanku tadi, aku pun langsung menuju dapur untuk makan siang, di
Semenjak aku menemukan pil kontrasepsi di kamar Ibuku, kini pikiranku setiap hari semakin tidak tenang, aku takut jika Ibuku berbuat hal yang melewati batas dan melanggar hukum.Padahal masalah Mas Rohman saja belum usai, tapi kini sudah ketambahan masalah Ibuku sendiri."Hei, Mbak. Lagi ngelamunin apa?" tanya Ika yang mengagetkanku."Eh, Ika. Nggak kok, aku nggak lagi ngelamun, cuma liat ibu-ibu itu aja," kilah ku seraya menunjuk seorang ibu-ibu bertumbuh tambun dan menggunakan riasan menor yang sedang asyik berbelanja di toko seberang jalan."Ooo ... Oh iya, Mbak. Aku mau beli tomat seperempat, cabai merah juga seperempat, dan terongnya dua ikat."Aku mengangguk seraya tersenyum, lalu kemudian aku mulai menimbang cabai dan tomat pesanan Ika. Namun, tanganku yang sedang mengambil tomat refleks berhenti saat Ika mengatakan, "Mbak, maaf ya, tadi aku minta tolong ke Mas Rohman lagi untuk nganterin aku ke pasar, nggak apa-apa kan?""Nggak apa-apa kok," sahutku seraya tersenyum, namun h
Karena kian hari sikap Ibuku semakin menjadi-jadi, akhirnya hari ini juga aku mengajak Mas Rohman pindah ke rumah kontrakan yang sudah sejak dua hari yang lalu aku mencarinya dengan bantuan adikku juga.Rumah kontrakan tersebut tidak jauh dari kos-kosan tempat adikku tinggal, lebih tepatnya bersebelahan, karena pemilik kos-kosan tersebut dengan rumah kontrakan kami pemiliknya sama, yaitu Bu Ajeng namanya.Aku sengaja memilih rumah kontrakan Bu Ajeng karena harga sewanya murah, juga tempatnya yang tidak jauh dari pasar tempat aku berjualan."Mbak, kenapa milih ngontrak sih, Mbak? Bukannya sudah enak ya tinggal bersama Ibu, Mbak kan jadinya nggak perlu keluarin uang buat sewa," ujar adikku seraya membantuku masak di dapur, sebab rencananya hari ini aku akan membuat nasi kotak sebagai acara syukuran kecil-kecilan atas kepindahanku yang akan aku bagikan ke tetangga yang ada di sekitar sini."Nggak apa-apa, Mbak cuma ingin mandiri saja," kilah ku."Halah, jangan bohong. Pasti ada apa-apa,
Jika ada yang bertanya, adakah di dunia ini orang yang tidak bekerja, namun dia bisa mendapatkan uang? Akan tetapi, bukan hasil minta ke orang lain lho ya? Jawabannya tentu ada, dan orang itu adalah suamiku sendiri. Jangankan orang lain, aku sendiri bahkan heran, bagaimana suamiku bisa mendapatkan uang-uang itu? Padahal ia tidak pernah bekerja satu hari pun, dan ia juga tidak punya keluarga sama sekali untuk dimintai uang. Lalu dari siapa uang-uang tersebut?Awalnya aku sempat percaya bahwa Mas Rohman mendapatkan uang dari ia bekerja sebagai tukang ojek yang mengantar para karyawan pabrik yang tinggal di dekat-dekat sini. Namun, ternyata itu semuanya bohong, sebab Mas Rohman tidak pernah keluar dari rumah, dan aku mendapatkan informasi tersebut dari Bu Ajeng. Aku mempercayai kata-kata Bu Ajeng, karena dia orang yang baik dan jujur.Setelah mendapat informasi tersebut, hampir dua Minggu ini aku tidak bisa tidur, karena aku takut jika uang-uang itu ternyata hasil dari hutang, entah ke
Keesokan harinya."Mbak Nel, mukanya kok kayak zombie gitu, semalam nggak tidur ya?" tanya Mas Anton bercanda sembari membantuku menurunkan barang-barang dagangan ku."Hehe ... iya, Mas. Kelihatan banget ya?""Ealah, beneran nggak tidur tow, kalau begitu kenapa maksain jualan, Mbak? Seharusnya Mbak istirahat dulu, takutnya nanti kenapa-napa," sahut Mas Anton yang terlihat khawatir."Enggak ah, Mas. Justru kalau nggak jualan nanti jadi tambah stress, hehe ....""Ho oh, Mbak. Memang bener, orang kalau sudah biasa bekerja, terus nggak kerja sehari aja, rasanya memang seperti ada yang kurang gitu.""Iya, Mas. Udah semuanya, Mas. Makasih ya, Mas.""Sama-sama, Mbak."Setelah kepergian Mas Anton, Mbah Marni dan Bu Yanti juga menanyakan hal yang sama padaku, dan meskipun aku tidak pernah bercerita soal rumah tanggaku pada mereka, namun mereka seolah sudah mengerti bahwa aku dan suamiku sedang tidak baik-baik saja. Mereka bisa mengetahui kondisi rumah tanggaku, sebab mereka juga pernah mendenga
Lalu tidak lama kemudian satu persatu warga mulai berdatangan karena mendengar suara teriakan Pak Roni tadi, berbeda dengan aku yang masih berdiri di ambang pintu dapur karena tidak berani melihat keadaan Ibuku dan suamiku saat ini.Namun, tidak lama kemudian Bu Ajeng datang menghampiriku seraya mengatakan, "Nell, ayo, cepat kamu lihat mereka, dan kamu harus segera putuskan hukuman apa yang pantas untuk mereka." Sembari memapahku, aku hanya bisa mengikuti langkah kaki Bu Ajeng, sebab pikiranku benar-benar kosong saat ini, yang ada hanya perasaan takut melihat mereka karena ini sudah pasti akan membuat hatiku terlampau sakit.Dan, benar saja, aku hancur ketika melihat suamiku dan Ibuku sendiri yang berada di atas ranjang dengan menggunakan selimut yang sama untuk menutupi tubuh polos mereka.Pandanganku mengabur karena air mata yang mulai berdesakan meminta keluar, namun di sana aku dapat melihat wajah malu suamiku, dan juga tangis Ibuku.Aku tidak bisa berkata-kata, begitu juga deng
Author Pov.Setelah menghabiskan waktu selama lima belas menit dengan mengandarai motor, Winda dan Wati akhirnya tiba di rumah mereka.Namun, saat mereka berdua hendak masuk rumah, tidak lama kemudian Rohman yang menaiki motornya sendiri ikut menyusul mereka."Heh, kamu ngapain ikut ke sini?!" ketus Winda yang kini semakin benci dengan Rohman, sebab gara-gara mantan kakak iparnya ini juga, ia harus menanggung malu di hadapan banyak orang yang tinggal di area kos-kosannya."Lha, memangnya kalau nggak pulang ke sini, aku harus ke mana?" sahut Rohman santai seraya mengedipkan sebelah matanya ke arah Wati.Winda yang melihat kelakuan Rohman, ia semakin muak dengan lelaki yang ada di hadapannya ini."Ibu! Aku nggak mau tahu, pokoknya cepat usir dia dari sini, Bu! Dan, jangan pernah lagi Ibu berhubungan dengan dia!" teriak Winda seraya menuding wajah Rohman."Winda, tenanglah! Jangan ribut seperti ini, nanti tetangga pada denger," sahut Wati yang kemudian menyeret Winda masuk ke dalam rumah
Satu tahun kemudian..."Nella, nanti malam kita jalan ya?" ajak Sugeng yang berdiri di samping pagar, sedangkan Nella baru saja pulang dari pasar."Nella mengangguk, membuat Sugeng tersenyum senang, lalu kemudian ia berpamitan, "Kalau begitu Mas pergi kerja dulu.""Iya, hati-hati," sahut Nella seraya melambaikan tangannya. Nella menggelengkan kepalanya seraya tertawa ketika melihat Sugeng pergi dengan wajah semringah layaknya seorang bocah yang baru kasmaran."Astaga, padahal kita sudah tua, tapi kenapa pas pacaran seperti ini jadi seperti bocah lagi ya?" gumam Nella yang heran pada dirinya sendiri.Ya, Nella dan Sugeng akhirnya resmi pacaran dari dua Minggu yang lalu. Setelah mereka mengerti cerita hidup masing-masing, dan Sugeng yang juga gencar mendekati Nella, akhirnya membuat hati Nella menjadi luluh dan mau menerima cintanya Sugeng.Sugeng ternyata seorang duda tanpa anak, istrinya sudah lama meninggal, yang lebih tepatnya Sugeng sudah menjadi duda sejak lima tahun yang lalu.B