"Ibu mau kemana lagi? Pagi-pagi sudah rapi sekali?" tanya Damar saat aku melintas di depannya. Dia sedang menikmati kopi di teras.
Aku menghentikan langkahku, lalu menatap bungsuku itu dalam. Anak lelaki yang selalu aku sayangi, aku besarkan dengan sepenuh hatiku, yang kelak akan menjadi tumpuanku ketika aku sudah tidak bisa apa-apa lagi. Tapi ternyata dia telah membuat sandiwara demi mendapatkan uangku."Ibu mau pergi sebentar, Mar," sahutku."Kemana, Buk?" tanyanya lagi. Dia tampak ingin tahu kemana wanita tua yang melahirkannya ini pergi."Ibu ingin mendaftar umroh," jawabku sembari tetap menatapnya. Ada perubahan di raut muka Damar. Tampak dia tidak senang dengan jawaban dariku.Aku tersenyum miris. Anak lelakiku itu tampak benar-benar tidak senang dengan jawabanku. Raut wajahnya yang tadi tampak ramah kini berganti dengan raut masam. Tapi memang itu tujuanku. Aku ingin melihat ekspresinya saat aku menjawab pertanyaannya.Damar ... Damar. Sebegitu tidak senangnya dirimu jika ibumu ini mewujudkan keinginannya. Miris sekali."Ibu mau daftar umroh?" tanyanya, tampak memperjelas jawabanku tadi."Iya, Mar. Ibu sudah ada janji dengan agen travelnya." Ucapanku berhasil memperkeruh raut wajah putraku itu. Aku berhasil membuatnya menunjukkan wajah aslinya.Padahal aku tidak sedang membuat janji dengan agen travel. Aku hanya punya janji dengan Dani. Kemarin aku berjanji untuk berkunjung kembali ke rumahnya. Tapi aku tidak menceritakan pertemuanku dengan Dani pada siapapun, termasuk pada Damar ataupun Dina. Mereka belum boleh tahu jika saudara tiri mereka telah sukses dan menjadi orang kaya. Aku takut mereka akan memanfaatkan Dani demi keuntungan mereka. Mengingat sifat mereka yang sudah aku hafal betul. Tidak baik jika mereka tahu tentang Dani sekarang."Ibu masih tetap tidak ingin mengurungkan niat Ibu untuk pergi ke sana?" tanya Damar dengan suara yang sedikit meninggi.Bibirku menyungging tipis mendengar nada tinggi darinya. Tidak ada lagi keterkejutan dalam diriku mendengarnya. Tidak seperti kemarin. Kini aku sudah menganggap biasa nada tinggi dari bungsuku itu.Ternyata patah hati seorang ibu lebih sakit dari patah hati seorang wanita pada kekasihnya. Hatiku bagai ditusuk saat anak-anakku berani padaku serta tidak pernah memikirkan perasaanku. Tapi aku akan menyadarkan mereka. Jika bukan dengan cara halus, aku akan menyadarkan mereka dengan cara apapun."Tidak ada yang perlu aku urungkan, Mar. Aku sudah bertekad bulat untuk berangkat ke Tanah Suci. Dan tidak akan ada yang bisa merubah keputusanku."Damar nampak tercengang ketika mendengar jawabanku. Dia pasti tidak akan mengira jika aku tetap bersikeras untuk pergi ke Tanah Suci. Padahal dulu hatiku selalu lembut, aku tidak pernah bersikap demikian. Aku akan menuruti semua apa yang diucapkan oleh anak-anakku. Tapi kini, aku malah berkeras hati untuk tetap mewujudkan keinginanku. Dia pasti heran dengan perubahanku sekarang.Aku berpura-pura melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku. "Ah, ibu sudah sangat terlambat, Mar. Ibu pergi dulu, Mar."Lalu aku pun melangkah pergi meninggalkan bungsuku yang tampak masih terpaku. Bibirku kembali menyunggingkan senyum. Satu langkahku telah berhasil aku lakukan. Biarkan saja Damar berpikir jika aku tetap akan bersikukuh pergi ke Tanah Suci. Aku ingin melihat, cara apalagi yang akan dipakainya untuk membuatku mengurungkan niatku itu.Aku berjalan dengan langkah ringan, Dani sudah menungguku tak jauh dari rumah. Dia tidak membiarkanku pergi ke rumahnya sendirian. Apalagi dengan menaiki ojek. Dia bersikeras untuk menjemputku. Akhirnya, aku pun menyetujuinya, tapi dengan syarat dia tidak menjemputku di rumah. Melainkan di ujung persimpangan, tak jauh dari rumahku.Anak sambungku itu tidak membiarkan ibu sambungnya ini kesusahan pergi ke rumahnya. Dia sungguh anak yang baik. Beruntung Risma memiliki putra sepertinya. Andai Damar bisa sepertinya, rasanya aku sudah sangat bahagia, dan tidak ada yang kuinginkan lagi di dunia ini. Tapi kenyataannya sungguh berbeda sekali."Mau kemana, Bu Ratmi? Kok jalan kaki aja?" Suara Bu Darti mampu membuatku menolehkan kepala.Aku mendesah. Baru saja keluar dari halaman rumah. Tapi aku sudah bertemu dengan Bu Darti. Terpaksa aku harus menghentikan langkahku lagi."Iya, Bu. Ini mau cari udara sebentar," jawabku seadanya."Oalah, gitu. Kok nggak dianter Damar, Bu?" tanyanya lagi.Aku kembali mendesah. Bu Darti selalu ingin tahu urusan orang. Tapi jika tidak ditanggapi dia pasti marah. Malas sekali jika sifat ingin tahunya keluar begitu."Damar lagi sibuk di rumah, Bu.""Lha sibuk ngapain sih, Bu? Bukannya putra Bu Ratmi itu belum dapat pekerjaan lagi? Masak mengantar ibunya saja tidak bisa?"Nah ... nah. Mulai lagi kan dia. Inilah yang membuatku malas pada Bu Darti. Jiwa keponya benar-benar sudah akut."Bukan begitu, Bu. Aku hanya ingin pergi sendiri saja.""Oalah, gitu to," sahutnya."Iya, Bu. Kalau begitu permisi dulu, Bu. Keburu siang. Nanti semakin panas," pamitku.Aku harus segera pergi daripada terus meladeni Bu Darti. Dani pasti sudah lama menungguku. Kasihan sekali jika sampai dia terlalu lama menungguku. Waktunya jadi terbuang percuma hanya untuk menunggu ibu sambungnya ini."Iya, Bu. Hati-hati," sahutnya.Aku hanya menganggukkan kepala, lalu beranjak pergi. Menghindar dari wanita yang memakai daster berwarna coklat itu. Aku pun melebarkan langkahku agar cepat sampai. Tidak mau membuat Dani semakin lama menunggu.Netraku melihat Dani sudah berdiri di samping mobil hitamnya. Sebuah mobil yang aku tahu harganya sangat mahal. Bahkan berkali-kali lipat dari mobil yang dibeli oleh Damar dulu.Dani tersenyum ke arahku ketika aku sudah semakin dekat dengannya. Lalu dia segera menghampiriku, meraih tanganku, kemudian mengecup punggung tanganku."Sudah lama kamu, Dan?" tanyaku sembari mengusap puncak kepalanya."Baru sebentar, Buk."Aku tersenyum tipis mendengar jawabannya. Aku tahu jika dia sudah lama menungguku, terlihat dari keringat di dahinya. Dia pasti kepanasan selama menungguku."Ayo kita berangkat, Buk," ajaknya sembari menggandengku ke arah mobilnya. Lalu dia membukakan pintu mobil untukku setelah sampai di dekat mobilnya, sama seperti yang dilakukannya kemarin.Sungguh hatiku merasa sangat terharu dengan sikapnya yang sangat memuliakanku, padahal aku hanyalah ibu sambung untuknya. Tapi dia memperlakukanku lebih baik daripada anak-anakku sendiri.Perbedaannya dengan mereka sungguh kentara sekali. Jika orang tidak tahu, tentu mereka akan menganggap jika Dani putra kandungku, sementara Damar dan Dina adalah anak tiriku.Sungguh miris sekali hidupku, anak-anak kandungku sendiri malah tidak bisa memperlakukanku dengan baik. Mungkin mereka hanya mau uangku saja. Mengingat selama ini aku memang memanjakan mereka dengan materi. Salahku juga jika mereka seperti itu. Caraku dalam membesarkan mereka telah benar-benar salah. Harusnya aku tidak hanya memanjakan mereka saja. Hingga sekarang aku memetik apa yang telah aku tanam pada mereka."Ibu ada apa? Kenapa wajah Ibu terlihat bermuram durja?" tanya Dani saat aku hanya diam saja sedari tadi.Aku menatap Dani dengan mata berkaca-kaca. Sisi rapuhku kembali saat melihat wajah yang bak duplikat Mas Darman itu. Setiap melihat wajah Dani, aku merasa melihat Mas Darman kembali hidup lagi. Ingin sekali aku tumpahkan semua dukaku padanya. Tapi aku bingung, aku tidak bisa menceritakan aib anak-anakku sendiri pada orang lain."Ibu ... Ibu kenapa? Jangan buat Dani khawatir, Buk." Dani terlihat khawatir padaku. Hatiku semakin terenyuh dibuatnya. Raut khawatir tergambar jelas di wajahnya."Iya, Buk. Ada apa? Katakan pada kami apa yang sedang menggangu pikiran Ibu. Jika sanggup, kami pasti membantu Ibu." Kini ganti Nada yang berbicara.Aku pun menoleh ke arah wanita dengan balutan hijab berwarna abu muda di sampingku itu. Aku selalu takjub melihat perilaku dan tutur katanya yang lembut. Dia sangat berbeda sekali dengan Feni. Bukan maksudku membandingkan mereka berdua, tapi mereka be
Matahari mulai menurunkan eksistensinya, langit pun telah berubah kemerahan, pertanda senja telah mulai datang. Aku telah selesai menunaikan ibadah wajibku.Sejak sampai dari rumah Dani tadi, aku hanya berada di dalam kamar saja. Aku hanya berdiam diri di kamar. Memikirkan apa yang tadi Dani ucapkan tentang Hendri. Ada sedikit rasa was-was di hatiku, jika Damar benar-benar menginvestasikan uangnya pada suami kakak iparnya itu. Aku takut dia akan tertipu jika investasi yang dimiliki Hendri hanyalah tipuan saja. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa jika Damar tetap bersikeras untuk berinvestasi pada Hendri.Saat aku sampai di rumah tadi, tidak ada siapapun di rumah, Feni dan Damar tampaknya sedang pergi. Bahkan hingga sekarang mereka belum juga pulang. Dalam hati aku bertanya-tanya kemana mereka pergi, hingga sekarang belum juga kembali. Mobil dan juga motor Damar pun tidak ada. Apa mereka pergi dengan berkendara sendiri-sendiri? Feni naik mobil, sementara Damar naik motor?Keningku
"Ah, sudahlah, Buk. Damar capek, lebih baik Ibu pergi saja!" sentakknya, lalu langsung menutup pintu tanpa menungguku bicara lagi.Brak ....Bunyi pintu ditutup dengan kerasnya. Aku tersentak ketika pintu tertutup tepat di depan mukaku.Aku hanya bisa mengelus dada ketika Damar menutup pintu dengan begitu tidak sopan. Lalu aku memutar tubuhku, beranjak pergi dari kamar putraku itu. Kelakuan Damar semakin menjadi saja. Dia sampai membanting pintu di depan wajah ibunya sendiri.Sejenak aku lupa, jika Dani berpesan padaku untuk membiarkan Damar melakukan apapun yang diinginkannya. Harusnya tadi aku tidak langsung menanyai Damar tentang keberadaan mobilnya. Harusnya aku selalu ingat pesan Dani. Agar tidak bertambah sakit hatiku mendapat perlakuan yang kasar dari anakku sendiri.Aku menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Mencoba untuk menetralkan rasa sakit di hatiku akibat kekurangan ajaran bungsuku itu. Lebih baik sekarang aku menelepon Dani untuk memberitahunya jika Damar
"Ada apa tadi menelepon Dani, Buk? Maaf tadi tidak tahu Ibu menelepon. Seharian Dani sibuk terus, Buk. Jadi ada apa, Buk?" tanya Dani melalui sambungan telepon.Dani baru saja menelepon, setelah satu jam yang lalu aku menghubunginya tapi tak ada jawaban darinya."Tidak, Dan. Tadi rencananya ibu mau minta bertemu denganmu besok, ada yang ingin ibu sampaikan padamu, tapi sepertinya tidak bisa," jawabku."Memangnya kenapa tidak bisa, Buk?""Besok ibu diminta Dina untuk ke rumahnya. Dia akan berlibur dengan keluarga suaminya. Lalu dia meminta ibu untuk mengawasi karyawannya di toko."Hening. Tidak ada sahutan dari Dani. Entah apa yang sedang dipikirkannya mendengar jawaban dariku, hingga dia tidak menyahutinya. Apa ada perkataanku yang salah hingga diam saja? Tapi apa? Aku pun mengernyitkan kening, tidak mengerti dengan apa yang salah pada jawabanku."Ada apa, Dan? Kenapa diam saja?" tanyaku ketika Dani, saat dia tak juga membuka suaranya setelah beberapa detik berlalu."Hmm ... tidak apa
"Baiklah. Biarkan saja, Buk. Jangan melarang Damar melakukan apapun. Cukup Ibu perhatikan saja, biar Dani yang mengurus sisanya." Dani menggenggam tangan keriputku lembut, tampaknya dia sedang mencoba membuatku tenang.Aku baru saja menceritakan tentang Damar yang menjual mobilnya pada Dani. Dan kekhawatiranku kalau Damar menginvestasikan uangnya pada Hendri.Dani menepati janjinya menjemputku di toko Dina. Dia datang tepat setelah toko tutup."Baik, Dan. Ibu akan mengikuti perkataanmu," sahutku.Dani tersenyum menatapku, tapi tiba-tiba senyumnya berhenti ketika melihat punggung tanganku. "Ini kenapa, Buk?" tanyanya sembari mengangkat tanganku, memperlihatkan tanganku yang membiru.Aku langsung menarik tanganku dari genggaman Dani. "Tidak apa-apa, Dan. Tadi ibu hanya tidak hati-hati saja waktu di toko Dina."Netra Dani memicing, "Katakan apa yang sebenarnya terjadi pada tangan Ibu," tegas Dani."I-bu ti-dak apa-apa, Dan. Sungguh." Aku tergagap. Tapi aku masih mencoba meyakinkan putra
"Din, hari ini ibu tidak bisa buka toko. Tolong kamu hubungi karyawanmu untuk tidak usah datang hari ini," ucapku pada Dina melalui sambungan telepon."Ibu apa-apaan sih? Kenapa tidak bisa membuka toko?" Suara Dina sedikit meninggi.Aku menghela napas panjang. Seperti dugaanku. Dina pasti akan marah jika aku tidak menuruti keinginannya. Tapi aku juga kadung janji pada Dani untuk tidak pergi ke toko Dina hari ini."Ibu lagi tidak enak badan, Din," jawabku, tidak sepenuhnya berbohong. Aku memang sedang tidak enak badan. Seharian mondar mandir ikut melayani pembeli membuat kakiku sedikit nyeri. Mungkin karena efek usia, hingga tubuhku jadi seperti ini."Halah, Ibu pasti hanya alasan saja! Padahal aku meminta tolong pada Ibu juga tidak gratis, aku pasti akan membayar Ibu." Dengan entengnya Dina mengatakan hal yang menyakitkan padaku."Ya Allah ... aku tidak pernah mengharapkan uangmu, Din. Aku membantumu juga ikhlas, tidak pernah aku menuntut balasan atas semua yang telah kulakukan untuk
Tak terasa waktu cepat sekali berlalu, sudah sebulan sejak Dina berlibur. Kini dia tidak pernah berkunjung ke rumahku lagi. Bahkan untuk sekedar menanyakan kabarku pun tidak pernah. Mungkin dia benar-benar marah padaku.Aku menghela napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Ada sesak di hatiku ketika mengingat putriku itu. Hanya karena masalah sepele dia sampai marah seperti ini. Aku pun tidak pernah mencoba untuk menghubunginya, walau kadang ada rindu bersarang di hatiku.Ibu mana yang tidak rindu pada anaknya, ketika sudah satu bulan tidak bertemu, bahkan bertukar kabar. Rasanya ada yang hilang dari hidupku, ketika Dina tak juga mau menghubungi atau menemuiku."Ibu ... lagi melamunkan apa?" Dani menepuk pundakku lembut.Aku pun menoleh ke arahnya. Tampak Dani dan juga Nada telah berada di belakangku. Mereka mungkin baru saja tiba, tapi aku tidak menyadari kedatangan mereka. Mungkin aku terlalu fokus pada pikiranku tentang Dina. Aku pun langsung berdiri menyambut kedatangan merek
Angin dingin menembus kulitku, udara menjadi sangat dingin setelah hujan turun dengan lebatnya tadi. Aku mengeratkan sweater biru tua yang aku pakai, sembari memeluk amplop yang diberikan Dani tadi. Aku membawanya hati-hati sekali. Bahkan takut jika sampai amplop tersebut kusut.Aku memperlakukannya dengan sangat hati-hati. Dari tadi pun senyumku tidak pernah pudar.Aku berjalan dari ujung persimpangan, tadi Dani menurunkanku di sana. Sebenarnya dia ingin mengantarku sampai depan rumah, tapi aku melarangnya. Aku tidak ingin Damar banyak bertanya tentang siapa yang mengantarku pulang dengan mengendarai mobil yang terlihat mewah.Jalanan yang kulewati banyak air yang menggenang, membuatku menghindarinya agar ujung gamisku tidak basah. Sebenarnya jarak antara rumahku dan juga persimpangan tidaklah jauh, tapi jika jalanan digenangi air seperti ini, membuatku harus melangkah pelan-pelan.Aku mendesah lega ketika sudah sampai di depan rumah, tapi pandangan mataku memicing di kala melihat mot