Bian melangkah pelan mengikuti rombongan pejabat perusahaan menuju ruang pimpinan. Kepalanya masih celingukan ke belakang menunggu istri tercinta yang masih belum juga tampak. Tadi, mereka terpaksa berpisah karena Mala yang mendadak dihampiri oleh puluhan karyawan yang hendak minta maaf sekaligus mengucapkan salam perpisahan padanya. Sebenarnya ingin sekali menemani, takut jika terjadi hal diluar dugaan lagi, namun tarikan halus di ditangannya mengurungkan niatnya."Sudahlah! Kupastikan dia aman sekarang. Tak akan ada yang berani mengganggunya lagi. Disamping kebenaran yang telah terungkap, semua orang tahu bahwa Mala adalah isteri salah satu pemegang saham di sini, mana ada yang berani usil lagi padanya. Termasuk si Raditya itu" ujar Donny yang membuat Bian tersenyum.Tetap saja dia mencemaskan istrinya."Tetap saja hatiku tak tenang, Bang. Dia masih trauma. Abang tak merasakan bagaimana nelangsanya adikmu ini, walau sudah menjadi istri sah pun, aku sama sekali tak bisa berbuat banya
Bian menghela nafas lega setelah mobilnya sampai di rumah, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 3 jam dari kota B. Disamping nya Mala tertidur dengan pulas. Diputarnya tubuh dan menatap sang istri yang tengah tertidur. Tangannya perlahan mengelus pipi halus itu dan merapikan anak rambut yang dengan nakal mengintip dari balik jilbabnya."Sungguh, kehadiranmu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Aku janji akan menjaga anugerah itu dengan sebaiknya. Aku tak bisa menjanjikan bahwa kamu akan selalu bahagia denganku, tapi aku usahakan bahwa dalam kondisi apapun aku akan selalu ada untukmu."Tak tahan hanya memandang, Bian akhirnya tergoda untuk mengecup singkat pipi itu. Dan untuk beberapa saat dibiarkan bibirnya menempel pada pipi halus yang terasa dingin, mungkin karena suhu dalam mobil sehingga membuat istrinya kedinginan.Mala mengeliat karena merasa tidur nyenyaknya terusik. Perlahan dibukanya mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan suami yang berada tepat dide
Bian menghela nafas lega setelah mobilnya sampai di rumah, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 3 jam dari kota B. Disamping nya Mala tertidur dengan pulas. Diputarnya tubuh dan menatap sang istri yang tengah tertidur. Tangannya perlahan mengelus pipi halus itu dan merapikan anak rambut yang dengan nakal mengintip dari balik jilbabnya."Sungguh, kehadiranmu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Aku janji akan menjaga anugerah itu dengan sebaiknya. Aku tak bisa menjanjikan bahwa kamu akan selalu bahagia denganku, tapi aku usahakan bahwa dalam kondisi apapun aku akan selalu ada untukmu."Tak tahan hanya memandang, Bian akhirnya tergoda untuk mengecup singkat pipi itu. Dan untuk beberapa saat dibiarkan bibirnya menempel pada pipi halus yang terasa dingin, mungkin karena suhu dalam mobil sehingga membuat istrinya kedinginan.Mala mengeliat karena merasa tidur nyenyaknya terusik. Perlahan dibukanya mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan suami yang berada tepat dide
Mala bersenandung riang sambil melangkah kesana kemari di dapur. Seperti biasanya, setelah sepuluh hari lebih mereka menikah, ia selalu membuatkan sarapan untuk suaminya. Namun, pagi ini ada yang tak biasa, karena dari tadi tak henti hentinya bibirnya tersenyum lalu senandung cinta tak berhenti mengalun dari mulut itu. Menggambarkan suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga.Akhirnya, setelah 10 hari menikah, semalam ia berhasil melaksanakan tugas sepenuhnya sebagai seorang istri. Melawan segala trauma yang selalu menghantuinya.Masakannya hampir selesai, saat deru suara motor terdengar di halaman depan. Itu adalah suaminya pulang dari masjid. Bahkan disaat beratnya godaan untuk kembali memeluk istrinya, lelaki itu tetap bangkit dan beranjak ke kamar mandi. Lalu setelah menunaikan shalat sunat sebelum shubuh dua raka'at ia pamit untuk menunaikan shalat Shubuh berjamaah ke masjid. Mala yang saat itu masih uring-uringan, merasa sangat malu pada suaminya itu. Hingga walau dengan sedikit
"Mala..."Mala menoleh dan mendapati seorang lelaki tampan sedang menatapnya sendu. Bian yang juga berdiri disampingnya mengenggam erat tangan Mala. Dia masih mengenali orang itu. Kalau tidak salah ingat lelaki itu dulu pernah dekat dengan istrinya. Bukankah mereka dulu pernah bertemu saat masih kuliah? Rahang Bian mengeras."A...Alif..." ujar Mala pelan."Ternyata kamu masih mengenaliku." Lelaki yang ternyata adalah Alif itu tersenyum pahit. "Selamat atas pernikahanmu, Mala. Semoga bahagia. Apa kita bisa bicara sebentar, hanya berdua." pinta Alif menatap Mala harap.“Jika ada yang ingin dibicarakan, maka bicara disini saja, Lif.” Jawab Mala halus.Alif menatap Mala memohon, lalu ditatapnya Bian yang masih mengenggam erat tangan Mala."Mala adalah istriku. Jadi apapun masalahnya, juga masalahku. Tidak ada rahasia diantara kami." potong Bian cepat. Genggamannya pun semakin erat. Mala tersenyum dan menatap Bian hangat."Suamiku benar, Lif. Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” ucap Ma
“Nirmala,…..” Teriakan seorang gadis berambut panjang memenuhi ruangan kost yang dari tadi sunyi. Gadis itu berteriak memanggil teman sekamarnya yang masih saja sibuk mendengarkan program kesukaan dari frekwensi radio kesayangannya. Cewek imut berambut panjang itu menatap Nirmala dengan tatapan jengkel di depan pintu kamar kost. Wajahnya yang biasa ramah dan lembut sekarang menatap dengan garang. Tidak seperti biasanya. Lusi, begitu akrabnya dia dipanggil. Seorang gadis yang sangat penyabar, baik hati, dan selalu bertindak dengan penuh pertimbangan yang matang. Beda banget dengan Nirmala yang kadang selalu bertindak gegabah tanpa memikirkan dampak dari perbuatan itu. Selama enam bulan mengenalnya, tinggal di bawah atap yang sama, begitu banyak hal yang bisa dipelajari darinya. Nirmala kembali mengingat-ingat awal pertemuannya dengan Lusi. Beberapa bulan lalu... Siang itu, di aula kampus, Nirmala bersama lima orang teman dari jurusa
Hari ini Mala pulang kuliah agak sore, berhubung tadi ada rapat pembentukan pengurus Himpunan Mahasiswa (HIMA) jurusan Akuntansi. Langkahnya gontai memasuki gang menuju kost. Rasa kesal masih memenuhi pikirannya, pasalnya tadi sesudah rapat selesai, pembina HIMA memintanya mengantarkan buku ke sekretariat, dan lagi, dia harus bertemu Bima di sana. Entah apa yang sedang dilakukan cowok itu di sana, yang jelas pertemuan itu telah merusak suasana hatinya. Selama ini setiap kali bertemu, Bima memang tidak pernah ramah padanya. Menurut Mala, cowok itu selalu berlagak sok jual mahal sok kegantengan, padahal jelas-jelas Mala sama sekali tidak menaruh perasaan apa-apa padanya. Mungkin karena mendengar gosip yang selalu beredar, makanya Bima mengira bahwa Mala benar-benar menyukainya. "Ngapain juga cowok songong itu ada di sekretariat. Bikin sebal saja. Udah disapa baik-baik malah dipelototin. Sok kegantengan, emang dikiranya aku naksir apa sama dia." gadis itu terus mengomel
Alif menepati ucapannya. Pagi itu, saat Mala berangkat kuliah dan hendak keluar dari gang kost mereka, tampak Alif sedang duduk di pinggir jalan, kelihatannya sedang menunggu seseorang. Begitu melihat Mala dan rombongannya, lelaki itu mendekat, meminta izin pada Lusi dan yang lainnya agar duluan. "Gimana kabarmu, Mala?" Alif memulai percakapan setelah teman-teman Mala duluan. "Kamu gila banget ya. Teman-temanku semua mengira kita benar-benar pacaran. Padahal kita aja baru ketemu kemaren." "Kamu percaya cinta pandang pertama kan? Dan begitulah aku. Mungkin bagimu ini terlalu cepat, tapi tidak denganku. Aku sudah lama menyimpan rasa padamu. Aku selalu berjalan di belakangmu saat pergi kuliah semenjak setahun yang lalu, kamu saja yang tidak menyadarinya. Aku sudah lama mengagumimu, Aku tahu kamu selalu berjalan menunduk, buru-buru, atau membaca buku sambil berjalan. Tapi yang aku tidak tahu adalah, kalau kamu nge-kost di sini dan tinggal di rumah bibiku."