"Ya ampun, Lea!"Teriakan histeris Sarah dengan tangisan, mengiringi bed dimana Jelita terbaring dengan kedua mata tertutup."Dokter. Bagaimana ini? Kenapa anak saya bisa ketabrak?" Sarah masih tak bisa menerima keadaan dimana Lea pergi ketika dirinya tidak disampingnya."Tolong ibu tunggu diluar dulu ya. Nanti kami kabari, setelah selesai lakukan tindakan," cegah seorang perawat pria, agar Sarah tidak terus mengikuti disertai ucapan-ucapan histeria.Dengan berat hati, Sarah hanya bisa menurut, menghentikan langkah, menunggu diluar dengan perasaan risau tak tergambarkan."Bagaimana ini? Gimana-gimana, aku harus beritahu Pak Vin."Dalam memutuskan ini, Sarah sebebarnya masih diselimuti keraguan. Ponsel yang dipegangnya sudah terpampang nama Vin, tapi belum diupayakan untuk memulai panggilan."Tadi Pak Vin marah, gimana mau bilangnya?"Bersamaan dengan ini, Tejo, sang sopir berlari menghampiri dengan ekspresi tegang."Maaf, Bu. Non Lea yang jadi korban tabrak lari tadi?" tanyanya panik.
"Bagian perutnya, tapi alangkah lebih baik menunggu kesimpulan dari dokter. Saya permisi dulu.""Perut?" gumam Sarah setelah kepergian sang perawat pria kembali ke dalam ruangan. Kekhawatiran Sarah menjadi dua kali lipat. Ketidakjelasan dan ketidaklengkapan berita keadaan Lea ini jadi buatnya frustasi sendiri. "Kenapa dengan perutnya? Apa karena dia tadi bilangnya lapar? Lalu apa bisa pengaruh ke organ lain?" Sarah menebak-nebak sendiri.Sampai beberapa menit, Sarah masih tenggelam dalam perkiraan serta mengkat-kaitkannya dengan tiap kejadian yang dia tahu, sampai tanpa sadar telah terlelap. Sarah bangun, karena adanya panggilan dari seseorang."Ibu. Ini Vin."Sarah paksakan diri untuk membuka kedua mata, ketika nama itu tersebut."Pak Vin?" "Iya, saya. Bagaimana keadaan Lea?" hal pertama yang langsung ditanyakan oleh Vin."Lea. Katanya kesadaran bagus, untuk hasil lain tunggu laboratorium sama visite dokter," jawab Sarah setengah sadar, setengah lagi masih dalam angan mimpi berada d
Dani duduk disamping Sarah. Kakinya diluruskan, karena jalan dari kamarnya ke tempat Lea dirawat ini saja, sudah buatnya ngos-ngosan, gara-gara beberapa tulangnya ada yang bermasalah."Ada info lagi dari sumber terpercaya," ucap Dani setelah berhasil atur napas, dan temukan posisi nyaman."Apa, Nak? Cepet bilang ke ibu." Tak sabarannya Sarah, sudah kepalang tanggung mengetahui beberapa hal tentang Vin beserta kisah keluarganya."Kata sumber itu, Pak Vin sedang dalam masalah pelik, baik itu masalah pribadi, maupun urusan perusahaan.""Beneran, Nak? Ya ampun. Orang kaya itu ternyata juga kaya masalah, ya?" ujar Sarah polos. "Memang apa masalahnya? Yang kasih info ceritain juga, nggak?" selidik Sarah yang sudah terlanjur ingin tahu."Tidak secara detail, cuma katanya sudah beresiko.""Maksudmu beresiko?" Ketegangan tampak diraut wajah Sarah saat ini."Masalahnya itu sampai mengancam nyawa. Bukan saja buat Pak Vin sendiri, tapi juga merembet ke orang-orang terdekatnya, tentunya itu termas
Danipun mengutarakan rencananya, dan Sarah mendengarkan sambil sesekali manggut-manggut memberi tanda telah mengerti.Setelah beberapa menit berbicara dengan Dani, dan membantunya kembali ke kamar perawatan yang baru didapatkannya, Sarah kembali ke tempat duduk semula, untuk memikirkan semua."Keluarga pasien," panggilan dari salah satu oerawat dari arah dalam ruang perawatan untuk Lea. "Dokternya sudah didalam, silahkan."Sarah berdiri hampir berjingkat, antara lega pada akhirnya dokter yang ingin segera ia temui, beberapa menit lagi akan bertatapan muka langsung dengannya, sekaligus berdebar akan kabar dari yang bersangkutan."Selamat pagi, ibu. Keluarganya...panggilnya apa ini? Mbak atau apa?"Sarah kerutkan dahi, belum sepenuhnya mengerti maksud sang dokter yang duduk dihadapannya, siap dengan beberapa hasil lab milik Lea."Ya mbak...mbak atau Nona Lea. Panggilan anak saya," sahut Sarah polos.Dokter tersebut menyerahkan sebuah kertas ke hadapan Sarah dengab tulisan juga angka-ang
Semburat rona bahagia Lea disambut Sarah dengan senyuman kecut. Disibakkan rambut bagian depan putrinya ini ke belakang, lalu dikaitkan ke belakang telinganya."Apa kamu bahagia dengannya?" Entah berapa kali Sarah menanyakan hal ini pada Lea, karena Sarah berharap akan sesuatu. "Iya, Ma. Pak Vin dan aku memang seperti dua mata koin. Kami berbeda karakter dan bertolak belakang, tapi kami satu keping koin yang bernilai.""Ngomong apa itu kamu, Nak.""Hah?" Lea jadi ikutan bingung, baru kali ini ibunya menganggap opininya hanya seperti omong kosong. "Kan Mama tadi nanya, apa aku bahagia sama Pak Vin, ya aku jawab seperti perumpamaan gambar di uang koin, biar lebih jelas maksudku.""Bahagiamu karena kamu sudah silau, Sayang, sehingga kamu rela tinggalkan orang yang sebenarnya mencintaimu lebih tulus."Lea terkejap beberapa kali, tentu ini bukan hanya sebuah kesimpulan, tapi juga mengarah pada satu nama."Maksud Mama... Dani?" dugaan Lea."Iya, Sayang. Mama semakin kasihan sama anak itu.
"Iya, Pak. Kita jalan sekarang saja."Selaan dari Sarah ini, sontak membuat Lea kebingungan. Sejak kapan ibunya ini melakukan sesuatu tanpa ijin darinya terlebih dulu? pikirnya.Tapi karena sakit nyeri di beberapa bagian tubuhnya, jadi Jelita hanya bisa pasrah ketika dipindahkan ke bed lain yang sudah disiapkan."Aku mau dipindahkan kemana, Ma?" pertanyaan yang spontan terpikir oleh Lea. "Apa sudah dapat ijin dokternya?" tambahnya."Tentu saja. Inikan juga hak dari pihak keluarga, katanya. Mama cuma mau perawatan terbaik buat kamu.""Mama sudah bicarakan ini sama Pak Vin? Apa katanya?" Keyakinan Lea, dimana Sarah selalu saja berdiskusi dengan suaminya itu bila berkenaan dengan dirinya."Ehm, belum sih. Tadi beliaunya buru-buru balik, karena ada keperluan mendesak yang nggak bisa ditinggal, tapi pemikiran Mama sama Pak Vin sama, Lea, kamu jangan khawatir. Nanti juga ketemu sama Pak Vin," hibur Sarah. Buat Lea ini juga sebagai upaya membalas rasa bersalahnya dulu, disaat ibunya sedang
Sedangkan di sebuah ruangan dalam kantor Vin. Suasana tidak seperti biasanya. Meja diruang beranda tepat didepan tempatnya bekerja, dan hanya bersekat pembatas kaca, itu kini menjadi sepi dan menjemukan.Jari-jemari Vin menari diatas keyboard laptop, namun pikirannya tiba-tiba terganggu oleh kebiasaannya selama ini, yaitu mencuri-curi pandang sang asisten didepan sana.Alunan tuts keyboard segera terhenti, ketika Vin putuskan menatap secara langsung meja dimana Lea biasa bekerja. "Kenapa pihak rumah sakit belum menghubungiku?"guman Vin saat baru menyadari kalau waktu sudah menjelang jam makan siang. Rencananya, ia akan melihat keadaan Lea pada waktu ini, sekaligus membawakan Lea beserta ibunya beberapa makanan.Vin percepat pekerjaannya, lalu menyimpannya, sebelum beranjak dari tempat duduk, memutuskan berbicara lewat telpon sambil berdiri. Perasaan Vin sedang tak enak. Nalurinya mengatakan, kalau sesuatu telah terjadi, tapi tak tahu apa, karena itu ingin ketahui saat ini juga."Se
Vin tatap ke depan, acuhkan setiap sapaan atau hanya sekedar senyuman. Satu tujunya saat ini, adalah mencari keberadaan Lea.Dalam batin, Vin merutuki diri. Terlena dalam kesibukan, sampai tak terpikir akan kemungkinan tak terduga yang bisa terjadi pada Lea."Tuan muda, itu Robbi," tunjuk arah Sekretaris Li pada penjaga yang ditugaskan Vin untuk menjaga Lea."Presdir Vin," sapa hormat Robbi setelah berikan anggukan kepala, dan dengan napas terengah-engah. "Maafkan saya...Saya kehilangan Nona," lanjutnya dengan raut bercampur aduk antara lelah, meraaa bersalah, dan juga pasrah.Robbi tahu siapa itu Presdir Vin, dimana tidak akan segan-segan berikan perintah tegas dan diluar perkiraan. "Sudah cari informasi orang sekitar ruang perawatan Lea?" tanya Vin, mencari tahu terlebih dahulu."Sudah. Sopir ambulance yang bawa juga sudah saya konfirmasi.""Kemana?" tanya Vin lagi. Langkahnya semakin cepat, ketika titik terang soal keberadaan Lea itu ada."Tangerang, Pak Presdir." "Hmm. Kita kesa