"Tapi kamu sudah pastikan kalau Robbi adalah orang Helena?" pertanyaan Vin untuk mengalihkan pikiran akan kemungkinan kenyataan pahit soal sang sekretaris senior paling dia percayai itu."Tentu saja. Kemungkinan besar, memang Nyonya Helena yang berada dibelakang ini semua. Robbi sendiri sudah mengakui," jelas Morgan. "Sudah kamu lindungi dia dan istrinya?" "Sudah, Tuan Muda. Tapi, sejauh keterangan yang dia berikan, Nyonya Helena tidak banyak beri dia perintah." "Tapi dia bisa dijadikan mata-mata, karena dia orang yang paling dekat dengan Lea. Kamu harus ingat itu!" tandas Vin, tak ingin Morgan seperti terlalu meremehkan peran Robbi. "Sekecil apapun tugas untuk Robbi, tetap saja, dia yang paling punya kesempatan paling besar untuk lakukan hal buruk pada Lea."Morgan mengangguk-angguk, ucapan Vin memang masuk diakalnya. "Anda benar sekali, Tuan Muda. Lantas, sekarang apa yang akan anda lakukan?" Sedangkan Morgan masih penasaran dengan langkah Vin selanjutnya pada Sekretaris Li
Seperti dugaan Vin, Helena memainkan peran seolah dia adalah korban dari suatu keadaan, dan mempunyai hak untuk lakukan pembalasan. "Seperti yang sering kau katakan, Vin. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan," jawaban Helena, disertai senyuman penuh makna. "Dimana Lea?" tanya Vin to the point. "Aku tidak tahu," sahut Helena enteng. "Jangan plin-plan Helena. Tadi kamu bilang akan mengancamku balik, kalau aku ancam dirimu dengan soal jatah sahammu di perusahaan." Vin terus mendesak Helena, walaupun tahu tak akan mudah untuk membuatnya mengaku. "Memangnya, kamu bersedia menukar Lea dengan saham perusahaan?" tawar Helena. "Aku tahu, anak Mommy satu ini sudah besar dan sudah pintar, tapi ingat juga, kalau Mommy tidaklah bodoh." "Aku sedang tidak ingin banyak berdebat denganmu, Helen--" "Sebenarnya, kamu cuma ingin memancingku, Vin. Aku yakin, sebenarnya kamu bisa saja mengetahui segala hal, tapi berlagak polos dihadapanku." "Ibuku dan Lea, kenapa kamu begitu
"Dani yang akan mendapatkan istrimu." "Oh ya?" tanggap Vin dengan senyuman smirk, lalu selanjutnya berjalan melewati Helena dengan sikap cueknya. "Sudahlah. Memang benar perkiraanku. Bicara denganmu sama juga harus melawan skenario yang kamu ciptakan, tapi alur ceritanya sebagian besar sudah aku ketahui." Vin membuka pintu ruangan kerja Helena disalah satu tower kantor utama milik Dharmawan group, dan berdesain klasik mewah tersebut seraya menatap sang pemilik ruangan. "Tunggu sampai pengacaraku selesaikan BAP pembukaan fakta baru kematian ibuku nanti, kamu baru bisa bebas keluarkan drama model apapun untuk kelabui kami semua yang sudah tahu modelan lakumu." Helena hanya tersenyum kecut. Walaupun sudah mendapatkan tanggapan seperti tanpa rasa hormat dari Vin, namun sikap keras kepalanya lebih besar dibanding harus kalahkan ego untuk mencari perhatian putra tirinya tersebut. Helena kembali duduk di kursi kerjanya, dalam genggamannya adalah ponsel yang sudah disiapkan untuk mene
"Saya bekerja untuk keluarga Dharmawan sejak dari pertama saya tahu apa itu sebuah pekerjaan, dan akan seterusnya disini, sampai akhir hidup saya nanti." Vin tersenyum meremehkan. Nada bicaranya masih berikan intimidasi pada Sekretaris Li. Namun, hal ini memang Vin sengaja, untuk memberikan suatu tes, akan beberapa dugaan buruknya pada sang sekretaris senior perusahaan ini. "Kalau anda mengabdi pada Helena, itu juga disebut sebagai pengabdian pada keluarga Dharmawan. Setujukan anda dengan pemikiranku ini, Sekretaris Li?" "Tuan muda. Anda begitu menyakiti hati saya. Saya tipe loyal akan dimana bila saya sangat dihargai, dan selama ini, Ayah anda sangat menganggap keberadaan serta pengabdian saya selama ini. Bahkan sampai saat ini, saya tidak berpikir untuk menikah, jadi bagaimana bisa anda melabeli saya tidak setia, dan mencoba untuk membelot?" "Obsesi mungkin. Ada satu atau entah berapa keinginan terpendam, yang belum kesampaian." "Tuan Muda, please. Saya tidak bisa melanjut
Sedangkan Lea yang masih dalam kebingungan, kemudian kembali membuat posisi duduknya agar lebih nyaman untuk memulai bicara, setelah Sarah memintanya naik ke tempat tidur di rumah sakit yang belum sepenuhnya dia ketahui ini. "Jahat bagaimana maksud Mama?" Lea gulung bagian ujung selimut yang sudah ia naikkan, lalu ditutupkan pada sebatas kakinya saja. "Katanya, Pak Vin akan tinggalkan perusahaan, dan juga kemungkinan mau tinggalin kamu juga." "Kata siapa? Dani?" simpul Lea. "Iya, dan Dani dapatkan informasi ini valid, bisa dipastikan kebenarannya." "Apa lagi yang Dani ceritakan ke Mama?" selidik Lea, jadi semakin penasaran. "Pak Vin akan kembali ke negara ibunya, terus buka perusahaan disana. Beliau juga sebenarnya sudah punya calon istri disana. Katanya, gadis itu memang sudah lama dia pacari, tapi putus nyambung. Mama takut, kalau sekarang memang Pak Vin lagi nyambung sama mantannya itu, jadi sudah lupa sama kamu." "Tapi aku istrinya, Ma. Kalaupun Pak Vin seperti itu,
Lea gunakan waktu dimana pelayanan juga belum menyentuhnya. Lea beringsut perlahan menuruni bednya, di awal ada keraguan untuk meminta tolong, tapi terpaksa dia lakukan karena sudah tak sabar ingin bertemu dengan Vin. "Permisi," sapa Lea malu-malu. Tiga orang dihadapannya menoleh bersamaan padanya, Lea lebih lebarkan senyumannya. Sisa rasa sakit di sekujur tubuhnya, terkesampingkan karena usaha demi cinta ini. "Iya?" Pria berperawakan sedang dan sedang memegang anaknya di atas kasur tempat sang istri dirawat yang berikan jawaban. "Bisa minta tolong?" Kedua suami istri saling berpandangan terlebih dulu, sebelum akhirnya sang istrilah yang berikan tanggapan. "Iya, Mbak? Kenapa?" tanyanya ramah. "Ponsel saya masih direparasi, bisa pinjam buat kirim pesan saja. Ini penting." Lea masih terlihat malu-malu utarakan maksudnya, selain terus berharap dalam batin. "Oh, nggak apa-apa. Pakai aja." "Terima kasih." Sambut Lea, bersamaan dengan uluran tangan dari wanita ramah itu me
Winda menggeser posisi duduknya. Senyumnya nenggambarkan, tidak kalah senangnya akan tanggapan Lea. "Tapi gue nggak bisa lama-lama di sini. Nanti ibu lo datang. Aduh, Lea. Senang banget gue ketemu lo. Apalagi dapat tugas prestisius dari Pak Vin kayak jadi agen rahasia begini, rasanya tuh bikin jantung dag dig dug bersensasi seneng tapi menegangkan, tahu!" ungkap Winda, mengatakan dengan berapi-api seperti biasanya. "Aih lebay deh!" sahut Lea dengan mengarahkan cubitan kecil di perut Winda yang terlihat lebih buncit. "Lo jauhan sama gue, pasti nggak ada yang ngomelin kebiasaan jajan lo yang keblabasan nih pasti!" tebak Lea dengan kebiasaan sahabatnya itu. "Iya, gue bingung nyariin lo. Tiba-tiba aja menghilang, gue stress nggak ada yang di ajak ngobrol, jadi larinya ke makanan lagi deh. Eh, tapi." Winda menoleh kanan berganti kiri, sekali celingukan ke arah beberapa pejalan kaki. "Ibu lo masih jauh, kan? Misi gue cuma boleh ketemu kamu, nggak boleh siapa-siapa, apalagi Dani." "U
"Aku mau dia jadi asistenku!" Semua mata spontan mengikuti arah jari telunjuk sang CEO baru dan terkejut. Gadis yang di tunjukpun tidak kalah terkejutnya. "Saya, Pak?" tanggapan Lea untuk lebih meyakinkan dirinya sendiri. "Iya, kamu. Siapa lagi yang berdiri di situ, selain kamu. Masa aku lagi nunjuk hantu?" sahut sang CEO muda dengan nada tinggi. Pria muda belum genap 30 tahun, dan berwajah tampan bernama Vincenzo itu kemudian berganti duduk bersandar. Sebenarnya, pemikirannya sama dengan pegawainya yang lain. Dari segi penampilan, Lea cenderung kurang menarik. "Aku memilih dia karena prestasi marketingnya excellent," ungkap Vincenzo, atau biasa di panggil presdir Vin. "Dia selalu berhasil meyakinkan customer hanya lewat negosiasi by phone. Bagiku itu keunggulan yang patut aku apresiasi," lanjutnya memuji. "Jadi karena itu, anda juga memanggilnya ikut meeting kali ini?" tanya manager pemasaran, yang menaungi divisi telemarketing, tempat Lea berada. "Tentu saja. Kamu keberata