"Bisa jelaskan?" tanya Lea, sudah mengenakan midi dressnya, bersedekap bersandar dipintu kamar."Nggak bisa," jawab Vin santai. Bunyi denting alat makan jadi pengisi ruangan, setelah Vin mendapatkan pesanan makan siang mereka dari security khusus penjaga lift kondominiumnya."Tapi aku ingin tahu," rengek Lea, sudah mulai memasukkan peran dalam kehidupan Vin."Nggak semua kamu harus tahu...untuk saat ini." Vin masih menanggapi dengan santai. "Makanlah. Jangan bawel. Aku bisa menguncimu disini dan tanggalkan pakaianmu lagi, kalau banyak bicara!" ancaman manis Vin.Lea berjalan malas ke arah meja makan. Vin telah siapkan semuanya, seharusnya ia hanya tinggal makan, tapi ucapan Vin soal kematian ibunya masih saja bergentayangan di pikirannya."Spagetti bolognese milikmu." Vin arahkan piring berisi pesanan Lea dihadapannya."Apa bisa aku langsung hamil?"Vin mendengus cibiran."Pertanyaan konyol!" sahutnya, tanpa menatap Lea, dan memulai suapan pertamanya."Kapan deadline yang diberikan me
"Sebentar. Sekretaris Li telpon."Vin beringsut menjauhi Lea. Ekpresinya berubah dari yang sedikit-sedikit tèsenyum, jadi lebih serius."Iya, Sekretaris Li?...Sekarang?...Tidak bisakah anda handle sendiri?"Selain penasaran, Lea juga khawatir. Sudah mulai mengenal bagaimana Vin, membuatnya punya kecurigaan akan adanya masalah serius yang sedang terjadi.Vin beralih ke kamar pribadinya tanpa berbicara, Lea mengikuti, dan meninggalkan cucian piring yang sudah dia tumpuk tapi belum dikerjakan."Apa yang terjadi?" tanyanya. "Ada yang bisa aku lakukan?" Panggilan 'aku' dan 'kamu' akan keluar, ketika Lea ingin lebih tunjukkan kepedulian kalau mereka berdua adalah partner melebihi hanya sebagai atasan dan bawahan."Tidak ada."Jawaban singkat dan cenderung mengesampingkannya, tentu membuat Lea jadi semakin tergugah untuk mencari tahu."Apa ada hubungannya dengan masalah keuangan perusahaan?" tebak Lea.Vin sempat melirik pada Lea, tapi kemudian lebih memilih merapikan penampilannya. Wajah ta
"Kita sudah sampai."Vin arahkan kemudi mobil MPV-nya ke kiri, mencari area parkir depan restoran cepat saji sesuai kesepakatan.Belum sampai ditempat yang di tuju, di depan sana, Sekretaris Li dan juga Morgan terlihat berjalan cepat beradu berlawanan dengan laju mobil Vin untuk mendekat.Vin membuka kaca pintu bagian kemudinya, tepat Sekretaris Li telah berdiri menunggu."Sudah ketemuan?" tanya Vin setelahnya."Hanya asistennya. Kita diarahkan dia ke Puncak, buat bertemu...""Ayo, jalan!" sela Vin tak sabaran."Tuan muda. Biar saya saja yang kesana, anda kembali ke kota sama Nona. Berikan perintah by phone, saya pasti sudah paham.""Aku sudah sampai disini, apa yang dia kira, kalau aku kembali ke Jakarta, hah? Nggak! Aku akan temui dia langsung!" keras kepalanya Vin."Nona?"Vin menoleh pada Lea yang beraut antara bingung bercampur penasaran akut."Kali ini aku membutuhkannya lagi.""Tapi, Tuan muda. Nona tidak seharusnya dilibatkan."TInnn!!Suara klakson dari arah belakang mengaget
"Memangnya kenapa kalau wanita? Kamu nggak berani tendang?"Kali ini Vin tak bisa menahan tawa gelinya. Senyuman Vin adalah hal jarang-jarang terjadi, dan tak ia sadari, telah membuat goresan kecil dihati pada wanita dihadapan mereka."Silahkan Pak Vincenzo," juluran tangan dari salah satu pria penyambut mereka tertuju pada salah satu kursi makan didepan sang wanita."Vin," sapa wanita cantik berwajah tak kalah dinginnya dengan Vin, terutama ketika menangkap gerak Lea yang tersenyum, ketika Vin menarikkan kursi disampingnya, untuk jadi tempat duduk bersanding dengannya."Miranda. Kita bertemu lagi," balas Vin, baru setelah duduk dihadapan wanita berbola mata hitam nan berbinar tajam ini.Dalam kesempatan ini juga, Vin tidak berniat mengenalkan Lea pada Miranda, seperti pada Steven."Tak tahukah, kau Vin, aku sangat merindukanmu, tapi bagaimana denganmu, apa kamu juga merindukanku?"Pernyataan Miranda sontak membuat Lea berpikir, kalau kemungkinan wanita tersebut pernah atau minimal sem
"Aku sedang tidak bercanda, Lea."Sahutan tajam ini membuat bibir Lea terkatup kembali. Dokumen tadi sudah dia baca tanpa memberi prasangka apapun, hingga ucapan Vin barusan telah membuatnya jadi mengerti.Berbeda dengan Miranda, yang hampir saja berdiri untuk mendekati Lea dan menamparnya, tapi diurungkan dengan diganti dengan pertanyaan mencibir."Memangnya siapa dia? Apa dia artis atau anak dari pengusaha mana? Kenapa aku tidak pernah melihat dia di geng-geng sosialita yang ku ikuti? Selera macam apa ini, Vin?!"Pelayan laki-laki datang lagi, membawakan pesanan minuman Vin, sehingga suasana kaku terjeda sementara waktu."Pak Vin. Saya ingin ke kamar mandi. Boleh, kah?" Lea sudah tidak kuasa menghadapi saling adu argumentasi antara Vin dan Helena yang kental diselimuti persoalan pribadi diantara mereka sebelumnya.Setelah mendapat anggukan dari Vin, Lea segera meminta pelayan menunjukkan dimana letak kamar mandi khusus wanita berada.Hal pertama yang Lea lakukan adalah menghela napa
Setelah beberapa saat, Lea kembali didepan meja restoran hotel, namun kini bersama dengan Sekretaris Li.Lea menatap kertas-kertas dokumen dihadapannya kosong. Penjelasan-penjelasan yang diberikan Vin, setelah dia tanda tangani, hanya sebatas lewat saja di telinganya, karena tentu saja pikirannya sedang berada pada keadaan ibunya di berkilo-kilo meter dari tempatnya berada kini."Lea. Kamu kuberi amanat saham ini. Prosentase kepemilikan atas namamu hampir sama dengan milik Helena. Tapi bedanya, nanti kamu hanya bersifat sebagai pemegang saham pasif, dimana kamu tidak dibebankan untuk ikut mengatur perusahaan. Mengerti sampai disini?""Hah? Pasif?" Ekspresi pilon Lea keluar, seiring tak fokusnya mendapatkan sejenis kuliah dari Vin.Alis Vin hampir tertaut, siapa yang tak tersinggung, dimana sudah menjelaskan dengan antusias dan berapi-api, tapi ternyata ditanggapi Lea dengan ekspresi bingung."Kamu mendengarkan aku bicara, nggak sih?!" kecurigaan Vin dengan nada keras. Sikap Vin secar
"Aku tetap balik besok pagi, Dan. Hormati keputusanku."Dengusan kekecewaan terdengar dari suara Dani diujung telpon. Ini sudah jadi keputusan Lea, walau kecewa berat, Dani turuti permintaan Lea ini."Ok. Kalau itu maumu. Aku akan temani mamamu disini sampai kamu pulang.""Dan...terima kasih, tapi boleh aku tanya sesuatu padamu?""Katakan," sahut Dani malas. Awalnya Lea juga ragu untuk menanyakan, tapi sudah terlanjur meminta, akhirnya Lea lakukan."Darimana kamu tahu apartemen kami?"Terdengar Dani tertawa lirih, sebelum berujar."Kamu tak perlu tahu dari siapa, tapi yang pasti bukan itu yang harus kamu risaukan, tapi bagaimana aku masih peduli padamu, pada mamamu. Aku benar-benar nggak mau kamu terjebak sama drama-dramanya atasan sialan itu!"Lea tak berani berkomentar atau menyela, baginya ini adalah hak Dani untuk mengumpat tertuju pada Vin, karena naluri pria Dani sudah membaca soal kedekatan tak wajar antara dirinya dan Vin sejak diawal."Thanks ya Dan. Anggap aku berhutang pad
Lea spontan menyentuh wajahnya. Aida benar, dirinya mirip dengan mendiang ibu Vin, Letizia.Lea jadi berspekulasi tentang ucapan Sekretaris Li waktu itu, kalau sebelum-sebelumnya, Vin sudah banyak mengetahui tentang dirinya. Tapi sejak kapan? Lea menerawang menyelidik. Kira-kira kapan secara tak sengaja dia dan Vin bertemu, sampai pada keputusan Vin mengangkatnya jadi asisten pribadi."Apa lihat foto CV ku, ya? Tapi perasaan, aku pas foto nggak pake kacamata," gumam Lea, tapi buru-buru mengetikkan suatu pertanyaan pada Aida.'Pak Vin pernah bilang, kalau dia adalah pembunuh ibunya. Apa yang sebenarnya terjadi?'Belum juga mendapatkan balasan Aida, suara ketukan di pintu mengagetkan Lea."Lea? Apa kamu sudah tidur?""Ehm..." Lea menatap ponselnya, balasan dari Aida yang lebih menarik perhatiannya, dibandingkan menanggapi pertanyaan Vin.'Apa Vin benar-benar mengatakannya padamu?'Lea putuskan untuk tak menjawab, tapi segera naik ke tempat tidur, lalu beringsut masuk ke dalam selimut.