"Setahu saya itu tidak benar, Nyonya." Lea tidak lantas berpuas diri dengan jawaban Morgan, di geser kursi agar lebih menghadap pada Morgan agar bisa lebih jelas melihat bagaimana ekspresi wajahnya. "Kamu nggak bohong kan Morgan?" tanya Lea memastikan. "Saya pastikan benar. Saya tidak pernah bohong, Nyonya." "Siapa wanita itu, Morgan?" "Mak mak maksud Nyonya?" Morgan mendadak gagap. "Anak kecil aja pasti tahu kalau kamu lagi bingung. Pertanyaanku terlalu mendadak ya? Sampai kamu nggak siap jawaban?" cecar Lea sebagai wanita kebanyakan, kalau sudah di buat penasaran apalagi soal gosip adanya wanita lain dari pasangan, tentu akan langsung mengejar dan meradang sampai dapat jawaban dan kepastian. "Bukan begitu, Nyonya. Pak Presdir memang dekat dengan banyak wanita, termasuk di Italia, tapi tidak ada satupun yang di anggap serius sama beliau." "Mantan pacar? Bukannya pernah dekat sama saudarinya dokter itu?" Morgan terlihat tak nyaman. Posturnya tinggi tegap dan besar,
"Bagaimana dengan kecekaan Nyonya Letizia? Apa sudah di temukan bukti yang memberatkan Nyonya Helena?" Morgan bersikap lebih rileks, sudah hampir 10 menit dia bercerita sambil berdiri. Dari cara bicara Lea yang juga santai, membuat Morgan seperti bukan berhadapan dengan istri atasan, tapi seperti dengan teman yang sudah dekat. "Sudah. Awalnya, Pak Presdir tidak mau libatkan polisi seperti yang di amanatkan Tuan Besar dari surat wasiat yang bisa di keluarkan setelah Pak Presdir telah mendaftarkan pernikahannya kemarin di Italia. Tapi apa daya, cuma itu jalan agar bisa membongkar kasus itu secara hukum resmi." "Tapi kenapa Pak Presdir kita ini pernah mengatakan padaku kalau dialah penyebab kematian ibunya?" Sebenarnya Vin sudah pernah bercerita padanya, namun Lea mencoba menkonfrontir dengan jawaban Morgan juga. "Itu hanya rasa bersalah beliau. Tapi sebenarnya adalah perasaan dendam, jadi ingin balaskan tapi Pak Presdir selalu menyalahkan dirinya sendiri karena sampai detik ini
"Kalau cerita itu dari kamu, aku nggak mau dengar!" pernyataan tegas Lea, sekarang sudah semakin berani membantah. Di lepaskan perlahan genggaman Natalie, lalu membuka pintu. Baru saja melewatinya, Lea di suguhkan dengan beberapa pegawai pria menunggunya di luar. Lea menoleh pada Natalie sebentar, tapi kemudian ke arah pria-pria di hadapannya. "Ada apa ya? Pak Presdir kan sedang nggak di kantor?" pertanyaan sekaligus sapaan Lea, jadi punya dugaan mereka sudah berada di tempat ini sebenarnya sudah beberapa menit yang lalu, bisa jadi juga sudah bekerjasama dengan Natalie agar menahannya, menunggu sampai Morgan menjauh terlebih dulu. "Karena itulah. Nggak bisa temui Pak Presdir, tapi kan bisa temui anda Nyonya." Nyonya. Panggilan itu terasa janggal terdengar di telinga Lea bila di sebutkan dari mulut orang dengan sorot kebencian atau apalah, Lea sendiri tak bisa sepenuhnya deskripsikan, tapi orang-orang yang mengelilinginya ini seperti para predator sedang mengerumuni mangsanya.
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku mau dia jadi asistenku!" Semua mata spontan mengikuti arah jari telunjuk sang CEO baru dan terkejut. Gadis yang di tunjukpun tidak kalah terkejutnya. "Saya, Pak?" tanggapan Lea untuk lebih meyakinkan dirinya sendiri. "Iya, kamu. Siapa lagi yang berdiri di situ, selain kamu. Masa aku lagi nunjuk hantu?" sahut sang CEO muda dengan nada tinggi. Pria muda belum genap 30 tahun, dan berwajah tampan bernama Vincenzo itu kemudian berganti duduk bersandar. Sebenarnya, pemikirannya sama dengan pegawainya yang lain. Dari segi penampilan, Lea cenderung kurang menarik. "Aku memilih dia karena prestasi marketingnya excellent," ungkap Vincenzo, atau biasa di panggil presdir Vin. "Dia selalu berhasil meyakinkan customer hanya lewat negosiasi by phone. Bagiku itu keunggulan yang patut aku apresiasi," lanjutnya memuji. "Jadi karena itu, anda juga memanggilnya ikut meeting kali ini?" tanya manager pemasaran, yang menaungi divisi telemarketing, tempat Lea berada. "Tentu saja. Kamu keberata
Setelah beberapa menit, Lea sudah berada di dalam ruangan presdir yang di kenal sebagai 'zona panas dingin' tersebut. "Selamat pagi, Pak. Anda memanggil saya?" ucap Lea dengan tundukan kepala. Vin tidak segera menjawab, tapi di tatap penampilan Lea dari ujung kepala sampai kaki. Bukan yang pertama kali di lakukan Vin, tapi kali ini, dia ingin memastikan sesuatu. "Sejauh apa gaya pacaranmu dengan Dani?" Deg! "Mak..maksud, bapak?" sahut Lea terbata. "Oh, jadi dia putusin kamu secara sepihak, karena kamu selalu menolak ajakan bercintanya, ya?" Duarr!! "Mak...maksud, bapak?" tanya Lea masih bingung. Vin berdiri, memasukkan ponsel ke dalam saku celana abu-abu tuanya, lalu berjalan mendekati Lea. "Aku ada meeting dengan salah satu customer yang kamu prospek bulan lalu. Dia pemodal besar, jadi tunjukkan padaku, kalau kemampuanmu bukan hanya by phone, tapi juga dengan bertemu secara langsung." Lea menelan salivanya kasar, di beranikan mendongak menatap Vin secara langsung. "Sekar