"Kinan!"Aku yang tengah menidurkan Zafran kaget mendengar suara teriakan ibu mertua dari luar. Bang Adnan sedang tak berada di rumah. Ia tadi izin hendak mengantar Lulu periksa ke dokter. Meskipun sakit hati ini, aku tetap memberinya izin. Ia bilang hanya ingin menjadi ayah yang baik, aku tak peduli. Toh aku hanya mengulur waktu untuk menceraikannya, menyusun rencana agar masa depan anak-anakku tak ada ancaman."Kinan! Kinan! Buka pintunya menantu durhaka kamu!" serunya tak henti dan terus mengetuk pintu dengan keras.Aku tidak tahan mendengar teriakan ibu memilih mengalah dan membukakan pintu."Astaga, Ibu yang terhormat bisakah Ibu biasakan berucap salam. Aku takut jika ada reporter yang lewat kemudian merekam aksi tidak terpuji Ibu, nanti mencoreng nama baik putra tersayang Ibu," sindirku."Halah, banyak bicara kamu! Maksudmu apa menyuruh Adnan menceraikan Lulu setelah ia melahirkan? Mau membuat Ibu malu di depan keluarganya?""Lebih baik malu di depan manusia daripada di depan tu
Ponselku berdering panggilan dari asrama Zain tinggal. Aku mengatur nafas agar tak terdengar tengah menangis. Kuucapkan salam setelah menggeser tombol ponsel berwarna hijau. Jawaban salam terdengar dari seberang telepon serta Zain yang tak sabar menanyakan kabar."Alhamdulillah, Zain. Umi rindu, Nak? Zain, apa kabar, Sayang?" jawabku."Zain sehat, Umi. Bagaimana dengan Umi dan Abi?""Alhamdullillah, Umi dan Abi sehat, Nak.""Alhamdulillah. Umi, baik-baik saja, kan?""Iya, Nak. Umi tidak apa-apa.""Maaf, Umi. Pasti sulit menghubungi Zain?""Tidak apa-apa, Nak. Yang penting Zain di sana jaga diri baik-baik.""Iya, Umi. Kalau begitu Zain tutup. Zain akan telpon lagi kalau ada waktu senggang.""Iya, Sayang. Assalamualaikum.""Walaikumsallam, Umi."Aku kembali terisak membayangkan bagaimana hancurnya hati anakku ketika pulang mendapati abi dan uminya telah berpisah, tapi mau bagaimana lagi aku tak mungkin melanjutkan pernikahan yang sudah tak sehat ini. Lebih baik aku mengalah, berharap Za
Pintu maaf kini tertutup rapat. Kesalahan yang mendalam tertinggal jauh dalam jejak perjalanan. Semua yang terjadi tak mungkin bisa diulang kembali, hanya kata maaf atas khilaf yang kukulakukan dapat kuucapkan.Tujuh belas tahun bersama akhirnya aku gores dengan luka hati seorang wanita yang mampu menemani kala hidupku hanya dipandang sebelah mata oleh orang lain. Ia dengan sabar dan lapang dada menerima semua kekuranganku, tapi semua harus berakhir karena kebodohanku.Semua berawal dari pertengkaran dengan ibu yang meminta aku menikahi kembali anak temannya, dengan alasan ia sudah berjanji ketika ayah masih hidup ibu telah menjodohkan kami terlebih lagi dia seorang janda. Ibu menggunakan dirinya sebagai kelemahanku untuk mengikuti semua egonya.Bukan aku langsung menerimanya kembali. Aku sudah menolak, tetapi kegigihan ibu untuk membuatku rujuk dengan wanita itu akhirnya membuat hatiku luluh. Pun ibu berjanji setelah aku menikahi Lulu ia akan menyayangi Kinan istriku. Akhirnya aku da
Aku berlari mencari ruang rawat Kinan, rasanya tak sabar ingin menimang putra kami. "Maafkan Abang, Dik. Semalam ponselnya mati, Abang baru membaca pesanmu pagi tadi.""Tidak apa-apa, Bang. Beruntung ada Mbak Naumi dan Mas Leo.""Terimakasih Mas, Mbak, sudah menolong istri saya," ucapku pada mereka yang telah menemani Kinan."Sama-sama, Bang. Kalau begitu kami pulang dulu."Setelah mereka pulang, Kinan terus memandangiku yang tengah mengadzani putra kami, membuat aku sedikit gugup dan salah tingkah.Tiba-tiba Kinan bertanya membuatku sedikit kaget."Abang, kapan mencukurnya? kok, sudah ganteng?"Aku harus mencari alasan apa? Karena kemarin aku pikir akan di tempat Lulu satu minggu jadi aku putuskan untuk memberikan Lulu kesempatan seperti kebiasaan Kinan. Akhirnya aku menjawab asal pertanyaan Kinan,"Em... Ini... Kemarin Abang mampir ke tukang potong jadi terpaksa Abang cukur sekalian karena sudah risih.""Oo, begitu," Kinan menjawab begitu saja.....Setelah menemani Kinan dua hari
"Zafran, ayo berangkat, Nak! Umi harus ke toko."Seorang anak laki-laki keluar dengan sepedanya lengkap dengan helm dan tas sekolah di punggungnya. Dialah Zafran, anakku."Zafran siap, Umi," ucapnya sedikit berteriak sambil perlahan mengayuh sepeda kecilnya.Aku dan Zafran berjalan beriringan, karena PAUD islami tempat Zafran belajar dekat dengan toko buku milikku jadi aku tidak khawatir membiarkan ia berangkat sendiri. Biasanya aku hanya melihat dari pinggir jalan, berbeda dengan akhir bulan ini. Aku selalu mengantar Zafran sampai ke sekolahnya. Sering kali kulihat ada seseorang yang mengawasi kami, aku takut ia akan berbuat macam-macam.Setelah mengantar Zafran, aku bersembunyi di balik pohon ingin melihat siapa yang selalu memotret dan mengawasiku."Siapa kamu?"Aku memegang jaketnya, ia menggunakan topi dan masker. Kemudian ia berbalik melihat ke arahku membuka topi dan maskernya."Bang Adnan!" pekikku. Aku terkejut bukan main saat melihat wajahnya. Sudah lama kami tak saling bert
Kumandang adzan sudah terdengar. Murotal Qur'an dari masjid sudah mulai ramai. Kupaksakan mata untuk terjaga, memberikan sejenak energi untuk otak agar segera respon kepada seluruh tubuh dan bersiap hendak melakukan shalat dua rakaat. Aku menggoyangkan tubuh Zafran mengusap halus kepalanya."Zafran, ayo bangun shalat, Nak."Ia menggeliat dan kembali memejamkan mata. Zafran memang sedikit berbeda dengan Zain. Zain dulu selalu bangun sendiri karena abinya dengan gigih membangunkannya sebelum subuh untuk melakukan shalat sepertiga malam. Kenangan masa-masa indah sejenak melintas di kepala. Aku menggeleng, menghapus semua memori itu dan kembali fokus kepada Zafran."Ayo bangun, Sayang. Katanya Zafran gak mau Umi masuk nerakanya Allah.""Baiklah, baiklah, Zafran akan bangun." Ia memaksa mata untuk terbuka, kemudian mengecup pipiku."Begitu dong, ayo kita shalat berjamaah, Nak?"Aku menggandeng tangan Zafran menuntunnya ke kamar mandi untuk mengambil wudhu lalu kami shalat berjama'ah.Sete
"Lulu! Hentikan omong kosongmu!" seru Bang Adnan."Apa Abang membela mantan istri Abang ini sekarang? Aku yang sekarang menjadi istrimu, Bang. Bukan dia lagi!" bentak Lulu tak ingin kalah "Ya, benar kamu memang istri Bang Adnan sekarang, Lulu! Kamu yang dulu diam-diam menikah siri dengannya di belakangku tanpa mau mengerti sakitnya perasaanku padahal kamu tahu Bang Adnan sudah memiliki keluarga. Kamu dengan tidak tahu diri mau menerima lamaran keluarganya. Aku mengalah memberikan Bang Adnan untukmu karena memang pernikahanku tak mungkin lagi dapat diselamatkan, dan sekarang kamu menuduhku ingin merebutnya kembali?" Aku tertawa menatap wajah Lulu yang berubah salah tingkah. "Mengacalah, aku bahkan tak sudi memberi perasaanku kepadanya lagi!" Kutunjuk Bang Adnan. Aku tak tahan lagi melihat sikap Lulu yang semakin tak tahu diri."Sudah, Kinan. Banyak orang yang melihat." Bang Adnan berusaha menghentikanku dan Lulu."Kamu masih punya malu, Bang? Setelah istrimu ini mempermalukanku, aku h
Aku menatap layar televisi, melihat berita Bang Adnan yang baru saja keluar, sudut bibirku tersenyum. Sebenarnya aku tak tega menghancurkannya, tetapi kenapa ia tak bisa menjaga Zain?Aku mengganti saluran tv ketika kulihat Zafran datang menghampiriku."Zafran udah shalatnya?" tanyaku."Sudah Umi.""Bagaimana tadi disekolah?""Zafran di suruh menggambar keluarga Umi dan memberikan nama semua anggota keluarga kata Bunda, pasti punya Ayah, meskipun ayah sudah meninggal. Padahal Zafran memang cuma punya Umi, ya, kan?"Bagaimana ini? Aku memang tak pernah membahas soal ayah dengan Zafran. Jika ia bertanya, aku selalu memberikan alasan bahwa ayah akan datang suatu hari nanti.Aku mengambil dompet yang masih berada di dalam tas. Kemudian mengeluarkan selembar foto keluarga yang masih kusimpan hingga kini. Bukan karena aku masih mengharapkan Bang Adnan hanya saja siapa tahu berguna saat Zafran mulai benar-benar ingin tahu siapa abinya."Lihatlah? Ini Foto keluarga kita." ucapku sambil menunj