Aku segera mengetik balasan untuk Mama.[ Sebaiknya kita bertemu saja, Ma. Hasna tidak bisa menjelaskan via telepon. ]Terkirim, dah beberapa saat kemudian Mama akhirnya membalas.[ Kalau begitu biar Mama mampir ke sana sepulang dari kantor. ][ Oke, Ma. ]Aku menarik napas panjang, lalu melanjutkan pekerjaanku. Entah bagaimana nanti ekspresi Mama ketika melihat wajah Mas Hanan babak belur seperti itu. Lihat saja nanti.Aku segera membuka google, lalu melihat resep nasi goreng yang simple dari sana. Setelah beberapa lama bergelut dengan panasnya api kompor, akhirnya jadi juga sepiring nasi goreng untuk Mas Hanan. Tak lupa aku mencicipinya lebih dulu untuk memastikan jika tidak keasinan."Mas, ayo makan." Aku membawakan piring nasi itu ke depan Mas Hanan, lalu duduk di sampingnya."Wah, baunya sedap, Dek," ucap Mas Hanan kemudian.Aku menyendokkan nasi dan memasukkannya ke mulut Mas Hanan dengan hati-hati, karena sudut bibirnya terluka. Mas Hanan tampak mengunyahnya pelan, dan kemudian
"Dengarkan saya dulu, Nyonya." Pak Baskoro masih berusaha bicara pada Mama. "Saya tahu yang putra saya lakukan ini keterlaluan. Tapi bisakah kita bicarakan lewat jalur kekeluargaan?""Begini, Pak Baskoro. Masalahnya ini bukan pertama kalinya putra Bapak membuat masalah dengan kami," jawab Mama seraya menarik tangan Mas Hanan untuk mendekat."Sebelumnya dia sudah membuat menantu saya babak belur. Jadi kali ini saya tidak bisa memaafkan!" lanjut Mama.Wajah Pak Baskoro berubah gusar, lalu menatap ke arah Irwan dengan pandangan yang kentara jika ia tengah murka."Dengarkan aku dulu, Pa. Aku melakukan itu karena laki-laki ini sudah merayu istriku," ucap Irwan, mencoba membela diri di depan Papanya."Diam kamu, anak kurang ajar! Mana mungkin menantu keluarga Dirgantara berani melakukan perbuatan rendah seperti itu!" jawab Pak Baskoro lagi."Keluarga Dirgantara?" Wajah Irwan seketika memucat, lalu menatap ke arah kami satu-persatu dengan pandangan tak percaya."Jangan sampai suami saya ikut
"Istana?" Aku lagi-lagi tersenyum mendengar ucapan Mas Hanan."Iya, Dek, masyaa Allah ...." Mas Hanan lagi-lagi berdecak kagum."Ini hanya bangunan, Mas," ucapku kemudian, sambil mengaitkan tanganku di lengannya. "Mau tahu istana yang sesungguhnya?"Mas Hanan menatap ke arahku sambil tersenyum. "Apa, Dek?""Rumah yang di dalamnya ada kebahagiaan kita berdua, Mas," jawabku."Masyaa Allah ...." Mas Hanan seketika merangkulku."Ayo masuk, Mas," ucapku lagi, dijawab oleh anggukan Mas Hanan."Ya Allah Hanan, Mama kira kamu menghilang kemana," ucap Mama kemudian."Maaf, Ma. Saya terpesona dengan rumah Mama, sampai gak sadar sudah melongo lama," jawab Mas Hanan sambil nyengir kuda."Ada-ada saja kamu, Hanan," ucap Mama lagi, seraya tersenyum mendengar alasan Mas Hanan yang lucu. "Baiklah, ayo masuk.""Selamat datang, Nyonya." Salah satu asisten kami membukakan pintu, dan membungkuk hormat pada kami."Nona Hasna dan menantu saya datang untuk menginap mulai hari ini. Tolong siapkan segala sesu
"Bang Ferry sedang apa di sini?" tanya Mas Hanan seraya mendekat ke arah Kakak lelakinya itu.Bang Ferry tak langsung menjawab. Wajahnya kentara jelas kalau dia sedang gugup, seperti maling yang sedang tertangkap basah."Aku ... sedang kerja," jawabnya kemudian."Kerja?" Mas Hanan menatap sekeliling, menatap ke arahku, lalu kembali menatap ke arah Bang Ferry."Kerja di sini, Bang?" tanya Mas Hanan lagi.Wajah Bang Ferry yang tadinya terlihat gugup, lambat laun mulai kembali seperti semula."Iya, Hanan, kerja! Sedang apa lagi? Aku membantu merapikan motor dan mobil yang datang ke toko milikku," jawabnya kemudian dengan suara angkuh.Mas Hanan menatap ke arah toko besar di depan kami."Wah, toko ini punya Bang Ferry rupanya? Besar sekali, Bang," jawab Mas Hanan kemudian sambil keheranan."Tentu saja, Hanan! Ini usaha yang aku rintis selama ini! Memangnya kamu, yang cuma mengandalkan harta mertua?" cibir Bang Ferry kemudian."Aku juga punya usaha sendiri kok, Bang," jawab Mas Hanan kemud
"Ya Allah, apa ini benar?"Aku menatap ke arah gambar-gambar yang ada di layar laptop Mama, dan seketika membuatku merinding. Pasalnya bukan identitas keluarga yang muncul, melainkan sebuah berita mengerikan.SATU KELUARGA TEWAS DIBUNUH PERAMPOK DI RUMAH MEWAH MEREKA."Itu ... keluarga Mas Hanan, Ma?" tanyaku dengan suara bergetar karena masih shock.Mama tak langsung menjawab. Dia menye-croll layar laptopnya ke bawah dengan wajah yang masih belum hilang keterkejutan. Saat sampai di layar paling bawah, terdapat gambar foto keluarga yang terdiri dari pria, seorang wanita yang sepertinya tengah hamil besar, dan seorang dua orang anak mereka.Keluarga Bramantio, itu nama keluarga mereka. Wajah mereka terlihat familiar. Ya, mereka terlihat mirip dengan Mas Hanan, terutama pria yang berdiri dengan gagah sebagai kepala keluarga itu.Mata Mama membulat sesaat, seperti menyadari sesuatu. Dia lalu meng-zoom foto itu. Dia membandingkan bros yang dipakai setiap anggota keluarga itu dengan bros m
"Loh, Pak Hanan sudah datang." Pak Wahid, anak buah Mama yang selama ini ditugaskan sementara untuk mengurus sawah dan pekerja, terlihat menyambut kami. "Sudah hampir selesai Pak.""Iya, terima kasih, Pak Wahid," jawabku.Aku dan Mas Hanan masih berdiri di tempat kami, seraya mendengarkan para pekerja itu berbincang. Tampaknya mereka belum menyadari kehadiran kami."Ini dulu bukannya sawah milik Bu Fatmah? Sekarang kenapa malah Bu Fatmah jadi pekerja?" tanya salah satu ibu itu pada Ibuk."Namanya juga bantu anak usaha, Bu. Kalau nanti semakin sukses, kan saya juga yang enak," jawab Ibu."Memangnya si Ferry usaha apa sih, Bu Fatmah? Kok sampai harus jual sawah sama rumah buat modal?""Dia punya toko besar di kota, Bu. Maklum lah, tiap usaha pasti modalnya besar. Apalagi di kota. Nanti kalau sudah makin sukses, modalnya pasti balik berkali-lipat." Ibu terlihat sangat bangga."Tapi kabarnya Hanan sekarang juga sudah sukses loh, Bu Fatmah. Rumahnya saja sekarang direnovasi, jadi bagus ban
Mata Mbak Ratri seperti hampir copot saat mendengar ucapanku."Jangan sembarang bicara kamu, Hasna!" teriaknya kemudian, tak terima.Aku tidak mundur hanya karena gertakan Mbak Ratri. Dia memang harus tahu yang sebenarnya, agar mulut besarnya itu bungkam."Memang kenyataannya begitu kok, Mbak," ucapku. "Kami bertemu dengan Bang Ferry di kota, dan ternyata dia memang tukang parkir!""Kamu itu semakin kurang ajar, ya?" Mbak Ratri masih belum bisa percaya ucapanku. "Mentang-mentang sudah di atas, berani sekali bicara fitnah!""Kami mengatakan yang sebenarnya, Mbak!" ucapku lagi. "Kalau tidak percaya, tanya Mas Hanan!"Mbak Ratri seketika melotot ke arah Mas Hanan."Yang dikatakan Hasna benar, Mbak. Kami bertemu Bang Ferry, dan ternyata memang Bang Ferry hanya tukang parkir di depan toko besar," jawab Mas Hanan."Bohong kamu, Hanan! Sekarang kamu sudah pintar menipu sejak menikah dengan Hasna!" teriak Mbak Ratri lagi."Ada apa sih ini ribut-ribut?" Tiba-tiba Ibu keluar dari dalam rumah, m
"Mas Hanan?"Mas Hanan masih menatapku dan Mama bergantian, dengan pandangan yang sulit diartikan. Dengan badan sedikit gemetar aku mendekat ke arahnya. Sungguh, aku takut dia akan marah padaku."Mas Hanan sejak kapan di sini?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan."Sejak tadi, Dek," jawabnya. "Mas dengar semuanya."Aku seketika gugup bukan main."Mas Hanan ... tidak marah pada kami, kan?" tanyaku kemudian, menatap ke arahnya takut-takut.Mas Hanan terlihat terdiam sesaat, lalu menggeleng. Dia kemudian menatapku lekat."Untuk apa Mas marah, Dek?""Kami mencari tahu tentang keluarga Mas Hanan tanpa ijin dari Mas Hanan," jawabku lirih.Mas Hanan terdiam lagi. Dia sepertinya sedang mencoba menata hatinya. Setelah menarik napas panjang, dia menatapku kembali."Mungkin memang sudah saatnya Mas tahu, Dek. Mas juga tidak mungkin menghindar terus, tidak mungkin tidak ingin tahu. Sudah saatnya Mas siap menerima semua kenyataannya," jawab Mas Hanan kemudian. Masih ada getar pada ucapannya.