Aku akhirnya dapat menyusul langkah perempuan itu. Tangannya kucekal dengan kencang."Rasti! kamu Rasti kan?" "Bu-bukan kamu salah orang!" perempuan itu masih mencoba berkilah."Jangan bohong! kamu Rasti! kenapa kamu lari kalau bukan Rasti. Jujur!" bentakku.Dia tergugu, kemudian terduduk lemas dipinggir jalan yang masih ramai dilalui kendaraan itu."Maafkan aku, Mel. Maafkan aku."Aku duduk disampingnya, berusaha menguasai emosi. Karena sedari awal aku curiga Rasti yang membuat rumah tanggaku dan kehidupan Mama dan Papa mertua sempat berantakan."Aku sangat mencintai Hendra, terlebih dari dulu Tante Fatma menjanjikan akan menikahkan aku dengan anaknya itu." suara Rasti bergetar karena tangis."Maksud kamu?""Sebelum kamu dijodohkan Om Rusdi dengan Hendra, aku telah terlebih dahulu dekat dengannya. Bahkan, Tante Fatma sudah aku anggap Mamaku sendiri. Tapi, nyatanya Om Rusdi malah menjodohkan Hendra dengan kamu, anak sahabatnya." Aku mulai paham. Jadi, kedekatan Rasti dengan Mas Hend
"Mel, kamu sakit?"Mbak Nada meraba dahiku."Engga, kok Mbak." jawabku singkat. Walau pagi ini badanku terasa ga enak. Pusing dan rasanya ingin muntah. "Sarapan dulu, yuk. Tadi kebetulan Mbak masak sop iga, pasti seger nih." Mbak Nada mengeluarkan bungkusan yang berisi makanan yang dia bawa tadi. Jam tujuh Mbak Nada sudah sampai dirumah."Hendra sudah berangkat?""Sudah, Mbak. Pagi ini ada meeting katanya.""Oh, syukurlah, Hendra serius mengurus perusahaan itu. Mbak beneran buta masalah kantoran. Untung saja tuh perusahaan ga ngilang.""Mbak, bukannya buta. Tapi, menutup mata." ledekku.Dia tertawa kecil."Iya, sih Mel. Dari kecil Mbak itu terpenjara rasanya. Ga bisa menikmati masa remaja, ga tau apa itu cinta.""Udah, jangan melow! semua sudah berakhir. Mbak Nada sekarang udah enak hidupnya, tinggal nyari pengganti aja."Mbak Nada tersenyum, sambil menuangkan sop ke mangkok Mbak Nada ragu-ragu bertanya."Abangnya teman kamu itu sudah menikah?" Aku sontak menoleh pada Mbak Nada samb
"Mas ..." aku menyerahkan alat test kehamilan yang sudah kugunakan itu pada Mas Hendra dengan mata berkaca-kaca."Kenapa, Dek?" Mas Hendra meraih benda itu melihat sekilas lalu berucap "gapapa, jangan bersedih." Dia merengkuh kepalaku dalam pelukannya."Gimana? gimana hasilnya?" Mama mendekat dengan wajah antusias. Semua berkumpul di depan kamar mandi, seolah sedang menunggu sesuatu yang penting."Sini ... sini biar Mbak lihat!" Mbak Widya merebut Tespeck yang ada di tangan Mas Hendra."Waaah! selamat!"seru Mbak Widya, membuat semua mengalihkan perhatian padanya. Sedangkan aku menahan senyum. Ternyata Mas Hendra tak pandai membaca hasil alat test kehamilan tersebut."Selamat? bukannya itu garisnya dua?" tanya mas Hendra polos."Waaah! garisnya dua? waaah ... sebentar lagi Mama punya cucu." Potong Mama, tampak wajah tua Mama sangat senang."Alhamdulillah ... akhirnya." lirih Papa menimpali."Kok punya cucu? itu garisnya dua. Garis dua bukannya negatif." Mas Hendra masih dengan wajah
"Mas, cari Mas Hendra?" tanyaku setelah mengikuti lelaki yang masuk ke dalam rumah."Eh, engga Mbak. Tadi sapu tangan saya ketinggalan. Ini sudah saya ambil. Pamit dulu, makasih."Dengan tergesa lelaki itu berlalu. Aneh sekali, hanya karena sapu tangan dia balik lagi, untuk ukuran seorang laki-laki itu sangat aneh.Namun, semua terlupakan karena kedatangan tamu yang makin banyak. MasyaAllah, hanya syukuran kehamilan saja acaranya besar-besaran seperti ini. Hampir sama dengan hajatan pernikahanku dulu. Papa memang terlihat seperti orang biasa, padahal kekayaannya diluar sana sangat banyak. Setahuku Papa memiliki saham yang besar dalam sebuah perusahaan kelapa sawit, dan juga beberapa perusahaan lain. Namun, semua di urus oleh orang kepercayaannya. Papa tak pernah ikut rapat atau apa pun itu, katanya, mau menikmati hari tua.Sempat heran kenapa bukan Mas Hendra yang Papa tunjuk menjadi orang kepercayaannya. Atau Mbak Widya yang merupakan anak kandungnya. Tapi, aku tak berani bertanya. I
Aku menoleh."Kang Hanif, ini mau istirahat dulu." sahutku sopan."Oh iya, saya yang minta maaf malam-malam ganggu. Cuma sebentar saja kok, ada perlu sama Pak Haji." tuturnya."Iya, Kang silahkan. Saya pamit masuk dulu."Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk. Meski dulu aku selalu memanggilnya 'Hanip' tidak pakai embel-embel didepan namanya, sekarang ada rasa sungkan terlebih kami sudah sama-sama dewasa. Setidaknya untuk menghormati dirinya yang juga seorang ustadz disini.Aku merebahkan diri di atas ranjang. Perut yang kian membuncit membuat gerakanku agak terbatas. Mencoba memejamkan mata, tapi kelopak ini sama sekali tidak mau diajak kompromi. Pikiran justru melayang pada Mas Hendra. Sedang apa dia? sudah jam delapan malam tapi belum ada kabar darinya. Aku meraih ponsel yang berada di sampingku. Mas Hendra aktif beberapa jam lalu. Apa kucoba menghubunginya saja. Baru saja hendak menekan tanda telepon hijau di layar ponsel. Panggilan dari Mas Hendra tertera di sana."Assalamu'alaiku
Mas Hendra pulang, sorot matanya memperlihatkan kebahagiaan. Tapi, tak bisa dipungkiri, dari wajah dia terlihat sangat lelah."Kita istirahat dulu disini ya, Mas. Besok baru pulang. Mas sepertinya lelah sekali." ujarku.Saat ini Mas Hendra sedang tiduran di kamar, Ayah setelah tadi ngobrol sebentar dengannya, sudah pergi ke Pondok."Jangan, Dek, kita langsung pulang saja. Mas gapapa kok. Sejam lagi kita berangkat ya, Mas mau tiduran sebentar."Aku mengangguk, melihat Mas Hendra sudah memejamkan mata aku bergegas merapikan barang-barang milikku. Meski tertartih karena perut yang besar ini."Pulang hari ini juga, Nak?" tanya Ayah yang baru pulang. "Jadi, Yah." jawabku pelan. Aku yang sedang duduk di sofa karena merasa lelah, tersenyum."Apa tidak besok saja, kasian Hendra baru pulang.""Mas Hendra minta sekarang aja, Yah. Mungkin dia masih kuat."Ayah mengangguk-anggukan kepalanya. Tak lama Mas Hendra bangun. Lalu mengajakku segera pulang ke rumah kami. Mata Ayah berkaca-kaca, lelaki y
Aku terbangun dalam ruangan bercat putih. Memicingkan mata karena silau yang menerpa."Alhamdulillah ....kamu sudah sadar, Dek. Alhamdulillah ..." Wajah Mas Hendra yang pertama kali kulihat tampak begitu senang."Anak kita gimana, Mas?"Mas Hendra meraih tanganku yang masih terpasang jarum infus lalu menciumnya."Anak kita selamat, Dek. Laki-laki, hidungnya mancung seperti hidung Mamanya."Aku tersenyum membayangkan anak yang baru saja aku lahirkan. Meski harus lewat operasi Caesar karena aku yang tiba-tiba saja mengalami pendarahan. Mungkin karena kelelahan dalam acara pernikahan Mbak Nada kemarin.Tak lama Mama, Papa, Ayah, Mbak Widya, Mbak Nada juga suaminya masuk ke ruanganku."Kami baru saja mengintip bayi kamu di ruang perawatan bayi, kulitnya bersih, matanya bening, mana cakep banget, MasyaAllah." ucap Mama."Selamat ya, Sayang. Makasih sudah memberikan Mama seorang cucu. Mama senang sekali."Mama mengusap kepalaku, aku terharu. Akhirnya kasih sayang Mama bisa juga aku dapatka
"Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku