Rama dan Elsa berlari panik ketika mendengar kalau Ibu Tri dibawa ke rumah sakit karena pingsan.Ayah Rama tampak terlihat duduk di depan ruang periksa.“Pak bagaimana keadaan ibu?” tanya Rama pada Bapaknya.“Masih di dalam , mudah-mudahan Ibumu baik-baik saja,” kata Bapak Rama dengan pelan, “Kalau Ibumu sampai terjadi sesuatu hal yang buruk, Bapak tidak tahu bagaimana hidup Bapak ini.”Elsa yang mendengar itu merasa bersalah, padahal dia tidak bermaksud membuat keadaan Ibu Tri seperti ini“Bang maaf,” Elsa berkata lirih dan menangis.Rama yang melihat itu langsung memeluk Elsa untuk menenangkan gadis itu.“Tidak apa Sa, berdoa saja semoga keadaan ibuku baik-baik saja,” tangis Elsa pecah dia tidak hanya merasa bersalah pada Ibu Tri tapi juga pada Rama.Ruang periksa terbuka dan seorang dokter wanita keluar, Rama langsung mengenali dokter itu.“Bagaimana keadaan ibu, Rasmi?” Rama terlihat khawatir.“Bude kena serangan jantung ringan, Mas Rama sama Pakde jangan khawatir,”
Belum sempat Ibu Tri menjawab pintu terbuka kemudian mereka melihat Rama masuk sambil menggandeng tangan Elsa dan terlihat mata gadis itu masih sembab karena menangis.Ibu Tri segera membalikkan badannya dan berpura-pura tidak peduli dengan kedatangan Rama dan Elsa.“Mas Rama dari mana?” tanya Rasmi.“Dari luar sebentar,” sahut Rama,” Sa, Abang lupa ini kenalkan ini Rasmi sepupu Abang.”Elsa mengulurkan tangannya dan disambut oleh Rasmi.“Elsa.”“Rasmi.”Elsa tersenyum kikuk, “Mbak Rasmi, bagaimana keadaan Ibu?”Rasmi menarik napas berat, pandangan beralih kepada Ibu Tri yang berbaring memunggungi mereka. “Keadaan Bude Tri sudah stabil, tapi harus tetap di pantau apalagi baru saja keluar dari keadaan kritis.”Elsa menganggukkan kepalanya, “Ehm..begitu.”“Mas Rama, aku cuman ingin ngomong kalau kondisi Bude Tri benar-benar harus dijaga, terutama emosinya, karena aku takut kalau Bude Tri kena serangan jantung lagi akan lebih Anfal dari sekerang dan mungkin berakibat kematian
Elsa merasa keranjang buah besar yang di bawa cukup berat di tangannya, sementara Sumi membawa rantang besar berisi aneka masakan. “Seharusnya kita tak membeli buah ini terlalu banyak Bu,” keluh Elsa, “Apalagi sampai bawa banyak masakan begitu “ “Sa, kamu itu kan tidak tahu apa saja kesukaan mantan calon mertuamu dan lagian masa sama mantan calon mertuamu hitung-hitungan begitu,” omel Sumi. “Bukan hitung-hitungan Bu, kita bisa membelinya lagi kalau kita menjenguk di lain hari,” sahut Elsa. “Sudahlah Sa, ini juga bisa di makan sama Rama dan Bapaknya.” “Bu, Elsa dan Bang Madan itu..” “Sa, biar mereka tetap senang biarpun hubungan kalian putus tapi silaturahmi tidak putus.” Elsa hanya bisa diam, apalagi sedari pulang kemarin Sumi sudah mengomel ketika Elsa menceritakan tentang sakit ibu Tri pada keluarganya. “Kamu itu harusnya bisa lebih punya perasaan bagaimanapun Mba Tri itu kan sakit gara-gara kamu,” omel Sumi. Elsa ingin sekali menyahut, tapi mereka sudah sampai di depan pint
“Besok-besok tidak usah kesini lagi,” bisik Rama.“Kenapa Bang?” Elsa juga ikut berbisik“Saya melarangnya.”“Alasannya apa?”“Kamu mau salah paham ini berlanjut?”“Tidak, tapi...”“Kamu turuti saja perintah saya.”Rama menatap tajam pada Elsa, gadis itu hanya bisa diam menundukkan wajahnya.“Tapi Ibu..”“Jangan pedulikan Ibu.”“Kasihan Ibu,” lirih Elsa.“Lebih kasihan kamu Sa, daripada Ibu,” Rama terdengar kejam.“Tapi Elsa sudah janji buat datang...”“Kamu dengar ngak sih apa yang aku bilang, tidak usah ya tidak usah!” suara Rama meninggi.Elsa terkejut dengan nada suara Rama yang terdengar seperti membentak, “Abang kenapa kasar begitu?”Rama menarik napas kasar, “Aku ngak kasar, Sa!”“Itu ngomongnya membentak tadi,” wajah gadis itu terlihat sedih.“Tok..tok .”Pintu terbuka dan Alfa dan Steven muncul, “Maaf bos, kita ke sini mau jenguk Ibunya yang lagi sakit.”“Masuklah,” perintah Rama.“Lho sudah ada Elsa ya?” sapa Steven.“Ya jelas ada Elsa, kan dia calon istr
Rama masih sibuk dengan laptopnya, sementara sejak kemarin Ibunya berubah sikap menjadi lebih pendiam dan banyak melamun.Rama dapat mengerti perubahan sikap Ibunya itu, dia sudah membuat wanita yang sudah melahirkan itu kecewa.“Ibu, mau pesan apa? Rama mau keluar sebentar beli makanan,” tanya Rama.Ibu Tri dengan masih memunggungi Rama hanya mendesah pelan, “Ibu mau Elsa.”“Bu, kita sudah bahas semalam, “sahut Rama, “Elsa tidak akan datang kemari lagi, dan kami tidak punya hubungan apa-apa.”“Ibu cuman mau bantu kamu buat dapat jodoh,” kata Ibu Tri pelan, “Biar mereka tahu kamu itu ngak belok, masih normal.”Rama hanya mendesah pelan, “Jangan dengarkan apa kata mereka, Rama masih normal hanya saja memang belum ada wanita yang jadi jodoh Rama saja, Bu.”Hati Ibu Tri terasa nelangsa, “Semoga sebelum Ibu ini meninggal, kamu sudah dapat jodoh walaupun itu bukan Elsa.”“Iya Bu, semoga saja,” sahut Rama pelan.“Tapi Ibu tetap mau Elsa, Ibu sudah terlanjur jatuh cinta sama dia.”
“Elsa kecelakaan?” mendengar itu Ibu Tri langsung terkejut, “Kapan Pak kejadiannya?”“Siang tadi,” sahut suaminya, dan itu membuat Ibu Tri mengingat bagaimana putranya terlihat panik dan terburu-buru pergi.“Lalu bagaimana keadaannya?” Ibu Tri terlihat cemas.“Masih diruang operasi, Rasmi harus melakukan tindakan operasi untuk menghentikan pendarahan yang ada di kepalanya,” terang suaminya dan dia mendengar tangis istrinya.“Pak, bawa aku lihat Elsa sekarang,” Ibu Tri bergegas berdiri.“Bu tenang dulu, kita tunggu kabar dari Rama saja,” Suaminya berusaha menenangkan.“Tapi Pak..”“Jangan sekarang Bu, apalagi kita tidak tahu bagaimana keadaan kondisi Elsa sekarang.”“Justru itu Pak, kita harus segera ke sana buat cari tahu.”“Tapi Bu ...”“Bapak sama Rama ini keterlaluan, situasi gawat seperti ini tidak segera memberitahu Ibu,” Ibu Tri bangkit dan segera mengenakan kardigan miliknya.“Bu..”“Seharusnya aku sudah bisa melakukan sesuatu untuk menolong Elsa, bukan malah duduk
Rama berkali-kali menarik napasnya, seolah tak percaya dengan semua keterangan yang di berikan oleh Santoso.Pria dengan luka di wajah, berkulit gelap dan pandangan tajam itu terus menulis keterangan yang di berikan oleh Rama.“Jadi Anda yakin kalau itu memang di sengaja?” Rama kembali mengulang pertanyaannya dengan rasa penasaran yang besar.“Walaupun ini masih tahap dugaan dalam penyelidikan, tapi saya yakin ini memang seperti di sengaja,” sahut Santoso mengulurkan rokok dan di tolak Rama.“Saya sudah berhenti merokok sejak lama,” gumam Santoso.“Bagaimana kalau ini bukan di maksudkan untuk Elsa, tapi ini semacam sabotase atas proyek yang sedang dikerjakan?” tanya Rama.“Hem.. mungkin, apa mungkin perusahaan Anda punya musuh atau saingan?” Rama menarik napas panjang, “Tidak tahu dan setahuku kami tidak pernah berbuat curang dalam memperoleh proyek yang di awasi oleh Elsa kemarin.”“Bang!”Rama menoleh dan melihat Adit yang berjalan mendekat, “Ada apa Bang? Ini siapa?”Adi
Ini bukan pertama kalinya Santoso merasa sangat di buat kesal, dari sekian banyak rekan kerja, atasan ataupun mantan rekan kerja kenapa dia selalu berhadapan dengan orang satu ini.“Aku menunggu Santoso,”Terdengar ketukan di meja yang membuat Santoso mengeram.“Anak pintar, kamu tahu tidak baik melawan apalagi sampai membuat orang tua ini menunggu.”Santoso menarik napas kasar, “Saya sudah memberikan semua informasi yang saya dapatkan pada Pak Rama juga Adit.”“Ck.. itu tidak akan sama, saya lebih suka mendengar langsung pada sumbernya.”“Saya sudah memberi semua detail lengkap pada mereka.”“Dengar anak pintar yang manis...”“Saya bukan anak pintar yang manis.”“Tetap bagi saya dari dulu kamu itu anak pintar yang manis, dari orok sampai sebesar kingkong seperti ini.”Santoso mendengus kesal, “Dokter Tri..”“Bude Tri, panggil saya bude Tri, saya sudah pensiun jadi dokter kamu tahu itu kan.”“Tapi Anda tak pensiun untuk ikut campur dan mengganggu saya, Bude Tri!” Santoso