“Maaf, ya, Mbak Aniska yang terhormat! Tolong jaga bicaramu … saya di sini bukan pembantu, tapi saya menantu sama sepertimu! Saya ini istrinya Arlan Bramantyo---suamimu! Jadi apa bedanya saya dengan kamu? Kita sama, sama-sama istri dia!” Ines menunjuk ke arah Arlan yang sontak menelan saliva. Kedua matanya membulat memandang Aniska dengan tatapan menantang. “Ines, tolong jaga bicaramu! Apa kamu pikir, istriku ini bodoh?” Arlan tersenyum miring. Dia yakin, Aniska akan lebih percaya padanya dari pada dengan Ines. “Mas Arlanku tersayang, apa kamu lupa jika kemarin malam kamu memintaku melayanimu setiap malam? Kamu menginginkanku ‘kan? Apa istrimu ini kurang memuaskan?!” Ines sengaja menabur bara api agar emosi Arlan terpancing. Berharap kata talak akan terlontar. “Ines?!” Kedua mata Arlan membulat menatap Ines. Namun Ines tersenyum santai. “Apa perlu aku putar rekaman semua ucapanmu di depan istri tercintamu ini?” Ines menatap nyalang. Sejujurnya dia hanya menggertak, karena kemarin
Ines kembali terlelap. Mendengar alunan ayat suci Al-qur’an membuat hatinya menjadi tenang dan pikirannya yang selama ini carut marut perlahan damai. Hingga akhirnya kepala yang terasa berat dan pengaruh obat membuatnya kembali lelap. Shubuh menjelang, obrolan dua orang samar-samar membangunkan Ines yang tengah lelap. Dia mengerjap, membuka mata melihat siapa yang tengah berbicara. “Wah alhamdulilah, Abi! Akhirnya si Mbaknya sadar!” tukas perempuan dengan kerudung lebar itu menatap Ines. Tampak dia baru saja melipat sajadah. “Ibu siapa, ya?” Ines menatap paras teduh yang tengah menatapnya itu. “Saya Zubaidah, Mbak! Namun orang-orang biasanya memanggil saya Umi! Ini suami saya Pak Firdaus. Hmmm … Mbaknya siapa namanya, ya? Soalnya gak ada kartu identitas sama sekali.” Perempuan itu menatap lembut. “Saya Ines, Umi! Semua kartu identitas saya hilang, Umi!" tukas Ines. “Oh iya, Mbak Ines! Maafkan kami yang sudah membuat Mbak jadi masuk klinik seperti ini!” Umi Zubaidah mengatupkan ta
“Sama-sama, Mbak! Saya tinggal, ya! Kebetulan hari ini mau ada kunjungan dari perusahaan Dirandra Grup! Alhamdulilah ownernya mau jadi donatur tetap di panti, Mbak! Mari … Assalamu’alaikum!” Azizah meninggalkan Ines di kamar itu sendirian.“Wa’alaikumsalam!”Ines menatap kamar berukuran tiga kali tiga meter itu. Dia langsung berjalan menuju sebuah lemari yang ada di pojok kamar. Dibukanya, rupanya ada beberapa set pakaian. Ines menatap gamis panjang dan kerudung lebar itu. Tangannya gemetar mengambil kerudung itu dan didekapnya dalam dada.Ketukan pada pintu kamar menghalau pikirannya yang sudah mulai kembali melow. Ines bergegas memakai kerudung itu untuk menutup kepalanya dan berjalan menuju pintu.“Ines, nanti kamu kalau sudah mandi dan istirahat, temuin Umi, ya! Kalau gak ada di rumah, Umi di panti. Kamu jalan saja ke sebelah!” tukasnya seperti Ibu yang berpesan pada anaknya.“Iya, Umi!” Ines mengangguk. Rasanya masih seperti mimpi ketika hidup membolak-balikkan keadaan.“Alhamduli
Berbagai hidangan sudah tersaji di dapur panti. Anak-anak panti sudah rapi, sudah selesai bdimandikan dan dipakaikan baju-baju yang tersedia. Tak bagus, tetapi masih layak dipakai. Sebagian besar donasi dari para donatur tetap, ada juga yang dibelikan sendiri menggunakan uang yang masuk ke panti.Untuk orang-orang jompo tak banyak di sana, hanya beberapa. Kebanyakan panghuni panti didominasi oleh anak-anak kecil yang dulunya anak jalanan, ada juga yang memang sudah tak memiliki orang tua dan saudaranya yang dititipi tak sanggup mengurusnya.Beberapa anak sudah ada yang masuk sekolah SD, ada juga yang SMP dan kini Umi Zubaidah tengah mencari donatur baru karena beberapa anak yang akan segera masuk SMA. Setelah lulus nanti, Umi Zubaidah berharap agar mereka bisa mandiri, syukur-syukur sedikit banyak bisa memberikan bantuan juga untuk adik-adik mereka di panti.Mobil SUV mewah memasuki halaman rumah asri milik Abi Firdaus dan Umi Zubaidah. Azizah menyingkap tirai jendela dan menatap mobil
Azizah baru saja selesai menutup lembaran terakhir juz yang dia baca hari ini ketika derap langkah itu mendekat. Di antara keriuhan anak panti, tampak Ines berjalan seraya memegang lembaran Al qur’an dan menghampirinya.“Mbak?” Azizah menatap Ines yang tampak ragu.“Hmmm … ajarin Mbak baca qur’an yang bener, Iza! Kalau sama ustadzah malu sama anak-anak soalnya suka diketawain mereka, masih banyak banget salahnya.” Ines menatap penuh harap pada Azizah yang tersenyum dan mengangguk.“Ya sudah, jadi aku akan ngajarin Mbak Ines setiap sebelum aku mulai mengajar mereka, ya!” tukas Azizah seraya mempersilakan Ines duduk.Azizah mulai mengajarkan Ines membaca satu demi satu pelafalan huruf yang benar, tak terlalu sulit karena pada dasarnya Ines pernah ikut pengajian waktu kecilnya di kampung. Hanya saja ketika hidupnya semakin susah, dia sering sekali kelelahan setelah berjualan ikan asin dan lebih memilih pergi tidur awal. Ines kecil seringkali meringkuk di samping Bapak yang sangat dia cint
Obrolan keduanya terhenti ketika rombongan tim CSR dari perusahaan Dirandra grup datang. Ines yang ditugaskan membimbing anak-anak panti segera mengumpulkan mereka. Ada dua mobil yang datang, salah satunya mobil box berisi bahan makanan. Pada saat itu seorang anak berlari ke halaman karena melihat setumpuk makanan. Ines mengejarnya, tetapi langkahnya mendadak terhenti ketika dia menatap sosok yang tak asing baru saja keluar dari dalam mobil. Kedua matanya tak berkedip ketika tatapannya bersirobok dengannya.Senyuman itu, mata bulat dengan pancaran teduhnya seolah menembus ke dalam kalbu. Kaki Ines terasa kaku, senyuman itu seolah dia tahu kalau dirinya bukan orang asing untuknya. Belum sempat bibirnya menyapa lelaki berjarak beberapa meter darinya. Kedua bola mata Ines membulat ketika melihat sosok lain yang tak asing muncul di belakang Airlangga dan tengah sibuk menelpon. Beruntung lelaki itu sedang tak fokus dan tak melihatnya. Ines menggelengkan kepala, dia benar-benar belum siap
Wajah Azizah bersemu ketika mendengar apa yang disampaikan oleh Umi Zubaidah dan Abi Firdaus tentang niatan Airlangga yang akan melamarnya. Air mata menitik penuh haru, akhirnya penantiannya selama ini berbuah manis. “Alhamdulilah, Umi!” Azizah menyeka sudut matanya yang basah. “Semoga lancar sampai harinya, ya, Sayang!” Umi Zubaidah mengusap lembut pucuk kepala putrinya lalu memeluknya penuh sayang. Dia pun begitu bahagia melihat binar bahagia terpancar dari sorot netra putri kesayangannya. Abi Firdaus tampak lega, akhirnya putri semata wayangnya akan beralih tanggung jawab pada sosok menantu idaman semua orang. Bukan hanya kaya, akan tetapi bijak dan juga memahami ilmu agama. “Umi, aku mau ngabarin Mbak Ines dulu! Dia pasti seneng denger kabar bahagia ini!” Azizah menyeka air mata dan berlari dari rumah menuju bangunan panti. Kerudung lebarnya berombak karena langkahnya yang mengayun cepat dan angin yang menyibak. “Assalamu’alaikum!” sapa Azizah ketika melewati ruangan yang bia
“Maaf, aku yang sudah membuatnya mengira kalau Pak Langga akan melamarku! Semenjak mendengar kabar itu, dia ikut salah satu relawan kami Mbak Zaida yang diminta orang tuanya pergi mondok! Dia bilang mau hijrah, meluruskan cinta pada Allah bukan berharap pada manusia! Pergilah … jemput dia … sudah terlalu lama dia menunggu Anda, Pak!” tukas Azizah seraya menyeka sudut matanya yang basah. Ada rasa bercampur baur di dalam sana. Rupanya ikhlas itu tak semudah pengucapannya. Airlangga menatap manik mata yang terhalang embun itu. Kedua alisnya saling bertaut. Namun tak urung juga dia akhirnya menerima selembar kertas yang sejak tadi disodorkan Azizah padanya. “Apakah saya pernah bilang akan melamarmu?”tanya Airlangga terusik rasa bingung dan heran. Umi Zubaidah dan Abi Firdaus lagi-lagi saling bertukar pandang. Ya, semua masalah itu berasal dari mereka yang menyimpulkan sendiri kalimat Airlangga waktu itu. “Maafkan Pak Langga, ini kesalahpahaman saya dan istri. Kami yang salah karen