Airlangga memekik haru ketika benda pipih bergaris merah itu ditunjukkan Ines padanya. Dia langsung membopong tubuh Ines dan menghujani wajah sang istri dengan kecupan. Bahagia tak terkira ketika akhirnya dirinya akan segera menjadi seorang ayah. “Terima kasih, Ya Allah … terima kasih, Sayang!” “Kak, ih … nanti aku jatuh gimana?” Ines mengalungkan lengannya pada leher Airlangga. “Aku bahagia, Dik! Aku ingin merayakan semua kebahagiaan ini dengan semua karyawan perusahaan! Hmmm baiknya bikin acara apa, ya?” Airlangga menurunkan Ines perlahan dan menudukannya di atas sofa. “Ya, bagi-bagi voucher belanja mungkin, Kak. Kan gak ribet juga,” tukas Ines. “Ide bagus! Oke, nanti kita minta Rendra urus semua!” Airlangga begitu berbahagia. Diusapnya pipi Ines dengan lembut. “Kita ke dokter sekarang, ya! Biar kamu dapat asupan vitamin yang bagus! Habis itu kita ke tampat Papi dan Mami. Terus kita kabarin Ibu.”Airlangga berbicara dengan mata berbinar. Ines mengangguk dan turut mengiyakan. K
Ucapan ijab qabul menggema mengiringi janji suci dua orang yang hari ini resmi diikat oleh pernikahan. Arlan duduk menunduk seraya menyeka keringat yang bermunculan. Bahkan dunianya seakan berhenti berputar. Dirinya tak menyangka ketika pada akhirnya bisa menemukan jalan hijrah dan anugerah cinta. Dia pun masih tak menyangka ketika dirinya dipertemukan dengan seorang yang lembut dan berhati baik, berharap sang mampu melengkapi kurangnya pengetahuan agamanya. Tiga bulan setelah pertemuan di masjid ketika acara hari itu. Arlan mendapatkan tawaran untuk kerja sebagai salah satu staff di pondok pesantren modern. Semua itu atas nama rekomendasi Azizah dan tentunya rekomendasi dari Ikbal---sang ketua DKM. Dia melihat Arlan yang cukup ulet dan gigih selama menjadi marbot masjid. Ikbal cukup dekat dengan Arlan dan seringkali dimintai pendapat olehnya. Melihat kesungguhan Arlan untuk hijrah, akhirnya dia pun yakin jika semua keburukan Arlan telah menguap bersama status sosialnya.Arlan sempat
"Nes, tolong ya setrikain baju, Mbak!”“Eh, yang gamis Ibu juga sekalian, ya!” “Sama itu kerudung punya Mbak Mirna juga, masih di jemuran!” “Iya ….” Ines mengiyakan semua perintah mereka. Dinikahi oleh seorang Arlan Bramantyo rupanya bukan berakhirnya takdir menyedihkan yang selama ini menggelayuti hidupnya. Diboyong dari kampung kecilnya dari daerah pantura mengikuti suami dan Ibu mertua yang menjemputnya rupanya hanya mimpi buruk. Perjodohan di antara teman lama itu, bukan hal tulus. Ibunya Mas Arlan rupanya sudah berubah. Kehidupan kota Jakarta dan hidup mewah rupanya membuat kesetiaan dan janji persahabatan Ibu dan Retno---Ibu mertuanya yang merupakan sahabat kecil hanya kamuflase saja. “Sudah, Nes?” Retno menghampiri menantunya yang tengah menyetrika pakaian mereka. Hari ini semua diundang ke acara perusahaan di mana Arlan bekerja. Lelaki yang baru seminggu menjadi suaminya itu kabarnya akan mendapatkan promosi dan naik jabatan. Semua perayaannya akan diumumkan pada pesta ula
Suara MC mengalihkan semua perhatian pengunjung. Sebelum acara di mulai, dia mempersilakan serombongan tamu VVIP yang merupakan para petinggi dan pemilik perusahaan untuk menempati deretan kursi istimewa yang sudah terhias di depan. Namun ada satu sosok yang menarik perhatian Ines. Sketsa wajah itu tak asing rasanya. Alis tebal, mata bulat dan bulu mata lentik itu mengingatkan Ines pada sosok seseorang dari masa lalunya. “Apakah itu dia? Bukannya dia menetap di luar negeri, ya?” gumamnya dalam dada. Pikiran Ines berlarian ke masa lalu. Mengenang memori yang masih membekas jelas pada saat pertemuan pertama dengan seseorang yang bahkan setiap senyumannya masih melekat di hatinya. ***Terik surya menggigit kulitnya yang kian legam. Kaki ringkihnya berjalan lincah menyusuri jalanan kampung yang beraspal rusak. Ines mengikat rambutnya ekor kuda agar angin bisa mencumbu leher hitamnya dengan bebas sehingga panas tak terlalu terasa. Di tangannya ada bakul dari anyaman bambu berisi berbaga
Ucapan salam dari atas panggung menarik kembali kesadaran Ines. Suara berat itu bahkan masih identik dan khas. Apakah benar lelaki itu dia?“Selamat petang semuanya! Senang sekali karena untuk pertama kalinya, saya ada di antara Bapak dan Ibu semua dalam acara perayaan ulang tahun perusahaan ini. Tentunya kehadiran saya juga, untuk bertatap muka secara langsung dengan Bapak dan Ibu, para karyawan terbaik perusahaan Dirandra Grup.”Ines memandang lekat wajah dengan garis rahang yang terlihat terbentuk tegas itu. Ucapan demi ucapannya perlahan menguap begitu saja. Otak dan memorinya berlarian pada penggalan pertemuannya dengan lelaki pemilik nama yang sama di masa lalunya. *** “Bapaaak!!!”Ines kecil berteriak pedih ketika dia tahu bendera kuning itu untuk siapa. Bapak---lelaki yang dicintainya itu sudah terbujur kaku. Kue bolu dan sate yang ditentengnya masih digenggam erat, bakul berisi jualan ikan asinnya dihempaskan begitu saja olehnya. Ines rubuh dan tersedu di dekat kaki Bapak.
Riuh tepuk tangan mengiringi langkah anggun perempuan yang berjalan dengan elegan itu. Ines yang tak tahan, turut berdiri. Hatinya sakit. Akal sehatnya sudah terpinggirkan. Dia berjalan keluar dari deretan tempat duduknya dan setengah berlari menghampiri Arlan dan perempuan itu yang baru saja berdiri bersisian di atas forum. Jika hatinya harus hancur, dia tak mau hancur sendirian. Ines tak peduli ketika dia melewati tempat kakak iparnya duduk, mereka memanggilnya. Dia menuju panggung menghampiri dua pasang mata yang kini menatap ke arahnya. “Siapa dia, Sayang?” Aniska berbisik pada Arlan. Dia memandang Ines dengan tatapan heran. Sementara itu, Arlan menelan saliva. Kenapa Ines bisa datang, bukannya dia sudah meminta agar Ibu dan kakaknya jangan ada yang mengajaknya. Belum sempat Arlan menjawab, Ines sudah berdiri di atas panggung. Dia menatap Arlan dengan mata mengembun. “Mas, jelaskan padaku siapa dia?! Kenapa kamu menyebutnya perempuan istimewa? Bukankah aku yang istrimu? Kenapa
Ines tepekur seraya memeluk lutut di trotoar depan hotel yang langsung terhubung ke jalan raya. Hilir mudik kendaraan dia abaikan. Dirinya butuh kepastian secepatnya sebelum kesuciannya pun direnggut oleh suami bajingannya itu. Dari arah depan, sorot lampu sebuah mobil sport mewah memantul ke wajahnya. Namun karena Ines menunduk sambil menangis tak dia hiraukan. Hingga mobil itu berhenti di dekatnya dan kaca mobil depan terbuka perlahan. Tanpa Ines sangka, seorang lelaki turun dan menyimpan sesuatu di depannya. Sontak Ines mendongak dan menatap lelaki dengan kumis tipis itu. Kedua mata mereka bersirobok. Ines menautkan alis seraya mengalihkan pandang pada kresek warna hitam yang ada di depannya.“Apa ini, Bang?” tanya Ines. Ya, usia lelaki itu sepertinya tak terpaut jauh darinya.“Buat Mbaknya makan! Tadi punya Pak Langga ketinggalan, pas saya tanyakan katanya suruh kasihin sama yang membutuhkan saja!” tukasnya sopan. Ines terdiam, rupanya dirinya dikira pengemis oleh lelaki itu. Nam
Sepeda motor yang ditumpangi Ines baru saja berhenti di halaman rumah ketika dari arah jalan terdengar deru mobil yang mendekat. Tampak mobil yang ditumpangi Ibu mertua dan kakak iparnya datang. Ines segera membayar tukang ojek itu agar buru-buru pergi. Dia tak mau jika tukang ojek itu harus menyaksikan keributan. Mobil itu berhenti di depan garasi yang masih tertutup. Ibu mertua dan dan para kakak iparnya turun. Mereka tampak saling melirik. Ines sudah bersiap untuk menyerang jika sumpah serapah serta makian dia dapatkan. Namun salah dugaan Ines, Retno menghampiri dan memeluknya. “Maafin Ibu, Nes! Maafin Ibu! Tadi itu, Ibu hanya tak punya pilihan,” bisiknya. Mirna dan Erna pun turut menepuk lembut bahunya yang sedang dalam pelukan Retno. Sementara itu, Gugun dan Erda---suami Mirna dan Erna langsung membuka kunci pintu dan masuk ke dalam. Ines mematung, padahal dia sudah bersiap membela diri ketika ibu mertua dan para kakak iparnya menyerang. Namun semua dugaannya salah. Mereka