Ines tepekur seraya memeluk lutut di trotoar depan hotel yang langsung terhubung ke jalan raya. Hilir mudik kendaraan dia abaikan. Dirinya butuh kepastian secepatnya sebelum kesuciannya pun direnggut oleh suami bajingannya itu. Dari arah depan, sorot lampu sebuah mobil sport mewah memantul ke wajahnya. Namun karena Ines menunduk sambil menangis tak dia hiraukan. Hingga mobil itu berhenti di dekatnya dan kaca mobil depan terbuka perlahan.
Tanpa Ines sangka, seorang lelaki turun dan menyimpan sesuatu di depannya. Sontak Ines mendongak dan menatap lelaki dengan kumis tipis itu. Kedua mata mereka bersirobok. Ines menautkan alis seraya mengalihkan pandang pada kresek warna hitam yang ada di depannya.“Apa ini, Bang?” tanya Ines. Ya, usia lelaki itu sepertinya tak terpaut jauh darinya.“Buat Mbaknya makan! Tadi punya Pak Langga ketinggalan, pas saya tanyakan katanya suruh kasihin sama yang membutuhkan saja!” tukasnya sopan. Ines terdiam, rupanya dirinya dikira pengemis oleh lelaki itu. Namun, demi mendengar nama Airlangga disebut, akhirnya Ines mengangguk seraya mengucap terima kasih.“Baik, makasih, Bang!” tukas Ines seraya meraih kantong plastik itu.“Iya, Mbak! Itu pasti enak, walau belinya di pinggir jalan, tapi itu satu-satunya makanan favorit Pak Langga yang tak pernah terlewatkan kalau pas ke Indonesia!” tukasnya seraya tersenyum.Ines mengangguk. Tak lapar sebetulnya, jangankan merasakan lapar. Yang ada batinnya sedang panas. Namun sekali lagi, nama Airlangga menjadi alasannya menerima bungkusan dalam plastik warna hitam itu.“Makasih banyak, Bang!” ucap Ines pada akhirnya.“Sama-sama, Mbak! Oh iya, Mbak, maaf banget nih, ya ... daripada mengemis kayak gini, mending cari kerja, hmmm ... kebetulan di rumah orang tua Pak Langga lagi cari ART, kalau mau Mbak bisa melamar ke sana!” tukasnya seraya menatap iba."Oh betulkah? Saya memang lagi cari kerja, apa boleh minta alamatnya?" Entah kenapa tiba-tiba Ines tertarik, walaupun belum jelas statusnya setelah ini akan seperti apa. Lelaki itu terdiam, lalu masuk ke dalam mobilnya seperti mencari-cari sesuatu. Tak lama dia keluar lagi dan menyerahkan selembar kartu nama."Mbak, ini alamat orang tua Pak Langga, bilang saja dapat info dari Herman---sopirnya Pak Langga.""Makasih, Bang!" Ines menerima selembar kertas itu lalu memasukkan ke dalam saku gamisnya. Herman berpamitan dan melanjukan mobilnya ke dalam, mau mengambil barang Pak Langga yang tertinggal. Senyuman terukir di bibirnya, menatap paras Ines yang rupawan membuatnya ingin agar perempuan itu kerja di majikan yang sama dengannya."Ah, semoga dia adalah jawaban dari doaku, Tuhan! Jodohkanlah aku dengannya!" batin Herman seraya meninggalkan Ines sendirian.Ines sudah beralih fokus pada plastik hitam yang diberikan Herman. Perlahan jemari Ines membuka bungkusan kertas nasi yang ada di dalam plastik itu.“Sate kambing?”Ines bergumam sendirian. Makanan itu benar-benar mengingatkannya pada Airlangga kecilnya dulu.***Airlangga kecil mengikuti ayunan langkah kaki Ines yang hanya beralaskan sandal jepit menuju ke arah perempatan. Mendengar cerita Ines tentang makanan yang enak, rasa penasaran Airlangga memuncak. “Mang, satenya dua porsi!” tukas Ines seraya duduk pada bangku panjang yang berdekatan dengan meja. “Ayam atau kambing?” tanya penjual sate. Airlangga yang baru hendak duduk berdiri lagi dan menatap kesal pada penjual sate. “Kan teman saya bilang sate, kenapa Om ngatain dia ayam sama kambing?” tukasnya seraya berkacak pinggang. Ines yang baru hendak menjawab saling lempar pandang dengan penjual sate, lalu keduanya tergelak seraya menatap wajah Airlangga yang memerah. Raut muka Airlangga berubah, dia tampak kebingungan karena kini malah ditertawakan. Namun akhirnya dia paham ketika penjual sate itu menjelaskan. “Wah adek ganteng ini pandai melucu rupanya, yang Mamang maksud itu mau satenya , sate ayam atau sate kambing?” tukasnya menjelaskan seraya mengulum senyum. Sontak wajah Airlangga yang putih bersih itu diserang rona merah. Malu sekali sudah salah sangka dengan penjual sate yang dimarahinya. *** Penggalan kenangan manis itu berlarian ketika dari arah pintu keluar terdengar suara hingar bingar. Ines menoleh seraya membungkus kembali sate kambing yang sudah bercampur lontong itu.Rupanya acara sudah selesai. Para karyawan dan keluarganya berhamburan menuju tempat parkir. Ines tersenyum miring, awalnya dia sudah hendak memburu Arlan dan meminta penjelasan. Namun melihat dua security yang tadi menyeretnya kembali berjaga, Ines mengurungkan niatnya.Dia memiliki ide lain. Ines mengedarkan pandang ke sekitar angkot-angkot yang berbaris tak jauh dari tempatnya duduk. Ah, keberuntungan sedang berpihak rupanya. Tampak seorang ojol menepi dan memeriksa layar gawainya. Mungkin sudah malam dan sudah mau pulang. Semoga saja mau ketika Ines mintakan tolong. “Bang, ojek?” sapa Ines. Sementara itu, sudut matanya sesekali menatap gerbang di mana para pengendara sudah mulai keluar. Dia hapal nomor mobil Arlan. Karenanya dia tak mau lagi kecolongan. “Iya, Mbak! Langsung pesen saja di applikasi!” tukasnya. “Hmmm … maaf, Bang! HP saya ketinggalan, tapi ini penting banget! Saya harus mengikuti seseorang. Ini berhubungan dengan nyawa dan masa depan saya!” Ines memelas. Tukang ojek itu tampak berpikir. Namun dari sudut mata, Ines melihat mobil Arlan sedang bersiap berbaur ke jalan raya. Ines tak punya banyak waktu dia langsung saja mengambil helm dan naik ke atas boncengan dan meminta tukang ojek itu jalan. “Bang, ikuti mobil Innova warna hitam itu! Tapi jaga jarak, ya!” tukas Ines seraya menunjuk pada mobil Arlan. Dia sudah melingkarkan kerudung juga untuk menutup sebagian wajahnya. “Ya sudah deh, Mbak!” tukang ojek itu nampak pasrah. Sepeda motor yang ditumpangi mereka akhirnya melaju mengikuti innova hitam yang dikendarai Arlan. Setelah sekitar satu setengah jam, akhirnya mobil itu berbelok dari jalan utama dan masuk ke sebuah cluster perumahan. Ines masih mengikutinya dalam diam. Di depan sebuah minimalis berlantai dua, innova hitam itu berhenti. Tampak Arlan turun dan membukakan gerbang. Lalu dia naik lagi dan memasukkan mobilnya ke dalam. Ines mengawasinya seraya menjaga jarak aman. Lalu dia mengeluarkan gawainya dan mengambil gambar. Ines sudah memiliki rencana sendiri untuk membuat perhitungan dengan Arlan yang sudah menipunya. Pantas saja setiap sore setelah dia pijiti, Arlan selalu beranjak meninggakan rumah dengan alasan mengecheck karyawan shift malam di perusahaan. Rupanya bukan karyawan shift malam, tetapi istri simpanannya. “Aku tak mau hancur sendirian, Mas! Mari kita hancur sama-sama sekalian!” batin Ines seraya menarik napas panjang. Lalu dia meminta tukang ojek itu menjauh dan kembali menuju kediaman ibu mertuanya. Ines tak hendak hidup berlama-lama di sana, tetapi dia hanya butuh penjelasan dan kepastian tentang statusnya. Menjadi pengantin baru yang harusnya indah, rupanya tidak berlaku baginya. Permasalahan yang menguras emosi kini menunggu diselesaikannya. Sepeda motor yang ditumpangi Ines baru saja berhenti di halaman rumah ketika dari arah jalan terdengar deru mobil yang mendekat. Tampak mobil yang ditumpangi Ibu mertua dan kakak iparnya datang. Ines segera membayar tukang ojek itu agar buru-buru pergi. Dia tak mau jika tukang ojek itu harus menyaksikan keributan.Sepeda motor yang ditumpangi Ines baru saja berhenti di halaman rumah ketika dari arah jalan terdengar deru mobil yang mendekat. Tampak mobil yang ditumpangi Ibu mertua dan kakak iparnya datang. Ines segera membayar tukang ojek itu agar buru-buru pergi. Dia tak mau jika tukang ojek itu harus menyaksikan keributan. Mobil itu berhenti di depan garasi yang masih tertutup. Ibu mertua dan dan para kakak iparnya turun. Mereka tampak saling melirik. Ines sudah bersiap untuk menyerang jika sumpah serapah serta makian dia dapatkan. Namun salah dugaan Ines, Retno menghampiri dan memeluknya. “Maafin Ibu, Nes! Maafin Ibu! Tadi itu, Ibu hanya tak punya pilihan,” bisiknya. Mirna dan Erna pun turut menepuk lembut bahunya yang sedang dalam pelukan Retno. Sementara itu, Gugun dan Erda---suami Mirna dan Erna langsung membuka kunci pintu dan masuk ke dalam. Ines mematung, padahal dia sudah bersiap membela diri ketika ibu mertua dan para kakak iparnya menyerang. Namun semua dugaannya salah. Mereka
Wajah Ines memucat ketika Arlan mendekat. Bahkan wajah mereka nyaris tak berjarak. Hembusan napas Arlan yang mulai memburu dipenuhi birahi menghembus menyapu wajahnya. Ines sekuat tenaga mendorongnya agar suaminya itu menjauh. “Mas, aku masih halangan! Jangan sentuh aku!” Ines berkilah. Padahal baru saja dia bersuci. “Oh, gitu! Biar aku periksa sendiri!” bisik Arlan seraya menyentuh hujung handuknya yang menjuntai. Namun Ines menepis tangan itu kasar. Sudah tak peduli lagi tentang dosa, tentang laknat malaikat ketika menolak keinginan sang suami. Otak Ines sudah dipenuhi kebencian pada sosok yang kini mengkungkungnya itu. “Kamu itu harus nurut. Aku ini suamimu, Sayang!” tekan Arlan. “Iya aku akan nurut tapi pada suami yang seperti apa dulu? Bahkan kamu tak menghargaiku sebagai istrimu!” pekik Ines. Kedua tangannya sekuat tenaga mendorong dada Arlan. Namun lelaki itu malah menangkapnya. Lalu tanpa Ines sangka, Arlan membopong tubuhnya dan membawanya ke atas tempat tidur. “Lepas
“Istrinya Mas Arlan? Kapan mereka menikah, Ma? Bukankah ketika Mas Arlan menikahiku status di KTP-nya masih lajang?” Ines bertanya dengan suara gemetar. Rupanya perempuan itu istri dari suaminya. Retno tersenyum mencoba tetap bersikap ramah. Dia mengelus punggung Ines yang duduk disisinya. Lalu dia meraih jemari Ines dan menggenggamnya. “Nes, dengarkan Ibu! Kamu adalah menantu kesayangan Ibu di sini! Kamu akan tetap menjadi menantu Ibu seperti janji Ibu pada Ibumu. Kamu akan selamanya di sini dan bahagia bersama Arlan!” ucapnya. Alih-alih menjelaskan, tetapi hanya berputar membuat Ines menghembuskan napas kasar. “Bu, tolong! Ines butuh penjelasannya!” Ines menatap pada kedua manik hitam Ibu mertuanya. “Hmmmm!’ Dia berdehem lalu menunduk sebentar. Setelah itu menarik napas panjang. Kedua bola matanya menatap Ines tajam. “Dia itu istrinya Arlan, maafkan kami yang tak menjelaskan apapun padamu! Namun seharusnya yang marah itu dia kalau tahu Arlan menikahimu karena kamu istri kedua
Otaknya yang tengah kalut tak bisa berpikir jernih. Berada dalam keadaan yang tak menyenangkan membuat Ines semakin merasa tertekan. Dia beranjak berdiri dan berjalan mendekati jendela. Menatap keluar dengan pandangan kosong. Berharap ada pangeran berkuda putih yang datang mengeluarkannya dari penjara itu. Namun semua asa itu hanya taburan harap belaka, pada kenyataannya kini dia tengah terkurung di rumah suaminya sendiri. “Kapan aku bisa hidup dengan kebahagiaan, ya? Rasanya dari kecil hanya pedih, sedih dan luka saja ….” Ines memejamkan mata. Membiarkan hembusan angina menyapu wajahnya. Menyelinap dari jendela yang terbuka. Andai tak ada trails yang menghalanginya, mungkin dia sudah melompat saja. Meninggalkan rumah yang semakin hari semakin membuatnya gerah. Berulang kali dia mengecheck pintu, tetapi masih saja terkunci dari luar. Sepertinya anak kuncinya sengaja tak dilepas, jadinya anak kunci yang dia pegang menjadi tak berguna. Hanya bisa masuk, tapi tak bisa berputar. “Ak
Ines mengerjap. Pengaruh obat bius yang diberikan Arlan padanya sudah lenyap. Namun alangkah kagetnya dia ketika terbangun, dirinya sudah terbaring di atas ranjang dengan tanpa sehelai benangpun. Pakaiannya berserakan di lantai. Selain itu ada rasa sedikit nyeri yang terasa perih di inti tubuhnya dan bercak darah para seprai di sekitar tempatnya terbaring. “Enggak, aku enggak relaaa!!!” Ines memekik seraya menjambak rambutnya yang terurai. Dia menarik selimut menutupi tubuh polosnya. Ines melempar-lemparkan bantal dan apa saja yang ada di dekatnya. Amarah memuncak, dirinya mulai membenci takdir yang tak berpihak. Hatinya hancur berkeping ketika mendapati kesucian yang selama ini dia jaga sudah direnggut paksa oleh lelaki yang bergelar suami, tetapi bukan seorang imam seperti impiannya. “Tuhan, apa aku serendah itu di mata-Mu? Bukankah sejak kecil aku sudah Kauerikan kesusahan, hidup kekurangan, Bapak ditabrak orang lalu sakit-sakitan, hidup aku dikucilkan dan pedih sejak dulu? Ke
“Hah, besok? Kenapa saya kebagian yang pertama, sih, Mbak?” protes Arlan pada sekretaris Airlangga. Bahkan dia belum tahu kondisi Ines sekarang. Semoga besok istrinya itu tak membuat kekacauan. “Bos tahu kalau Pak Arlan tinggal serumah dengan Pak Erda dan Gugun! Jadinya besok mau visit pertama ke sana, biar memangkas waktu. Sebentar lagi dia pergi lagi ke luar negeri lagi soalnya!” tukas Miati. “Iya deh, iya! Makasih ya, Mbak Mia!” Arlan akhirnya mengangguk pasrah. Segera dihampirinya Gugun dan Erda yang memang berbeda bagian. Rupanya dia sudah menelpon Retno dan memberitahunya untuk acara besok, sehingga Erna dan Mirna sudah pergi keluar untuk berbelanja. *** Ines sibuk membereskan satu kamar tamu lagi yang bersebelahan dengan kamar yang biasa ditempati olehnya dan Arlan. Dia tak punya pilihan selain tinggal setidaknya tiga bulan sepuluh hari di rumah itu. Terpaksa dia menepis keinginan untuk pergi meninggalkan rumah yang kini terasa mencekam itu sementara waktu. Ines takut j
Ines memasak semua bahan yang sudah dibeli oleh kedua kakak iparnya. Keringat sudah mengucur membasahi pelipis ketika semua sudah hampir selesai. “Duh, Mah kok jadi kayak gini, ya?” Terdengar suara Mirna dari arah ruang tengah menuju dapur. Ines tetap fokus pada pekerjaannya yang sebentar lagi akan beres. “Mamah juga sama, Mir! Kamu gak lihat ini leher, tangan sama kaki Mama beruntus semua? Merah-merah, gatal sama pedih banget!” Suara Retno menimpali. Ines tetap bergeming. Hanya sudut matanya sesekali melirik kedua orang yang tampak memeriksa dan mencicipi hasil masakannya. Andai bukan buat tamu, mungkin Ines sudah campurkan dengan obat pencuci perut biar semua kapok memakan makanan yang dimasaknya. Namun Ines masih waras, ada orang lain yang tak bersalah yang akan kena juga. “Mamah sih, mending mukanya enggak! Aku malah malu, Ma! Mukaku bintik-bintik merah seperti ini!” keluh Mirna lagi. “Ya sudah kamu pakai masker saja nanti kalau malu!” Terdengar saran Retno untuk Mirna. “Uda
“Silakan diminum!” Ines menyimpan perlahan gelas-gelas yang dibawanya di atas meja kaca yang sudah diisi oleh tujuh orang itu. Hanya Arlan dan Aniska saja yang belum kembali. Airlangga menoleh pada suara yang baginya familiar, dia menautkan alis dan menatap wajah yang tengah menunduk itu dalam-dalam. “Terima kasih!” ucap Airlangga. Dia menoleh wajah ayu yang menunduk itu, tetapi kemudian abai. Hingga suara Ines kembali membuatnya menoleh dan menatap dengan lekat. “Sama-sama, Tuan!” jawab Ines seraya melempar senyum. Airlangga mengangguk, tetapi ada sesuatu yang tiba-tiba berkecamuk. Ines berdiri dan memutar tubuhnya meninggalkan ruang tamu. Dia tak sadar kedua bola mata itu menatapnya hingga punggungnya menghilang. Obrolan kembali mengalir. Tak berapa lama, Arlan dan Aniska tiba. Wajah perempuan itu ditekuk hingga Arlan membisikkan sesuatu lalu senyum itu menyembul dengan terpaksa. “Selamat siang, Pak Langga! Mohon maaf saya terlambat … tadi ada sedikit insiden!” Arlan yang tampa