Kesamaan nama, rambut kuncir ekor kuda, dan sate kambing yang dibawanya seolah clue yang membuatnya mau tak mau menebak-nebak dalam dada. “Mbak Inesa, maaf boleh tanya … kampung asalnya dari mana, ya?” Baru saja Ines menganga, Arlan mendahuluinya seolah tak rela ada orang lain yang tampak memperhatikan Ines.“Ahm, dia kami ambil dari yayasan pembantu, Pak Langga! Apa Bapak tertarik mencari ART juga?” Arlan menimpali dengan sopan. Meskipun jelas dari caranya sama sekali tak terpuji, menyela pembicaraan orang lain. Ines membuang napas kasar, lalu berjalan lurus saja ke arah belakang. Lagi pula apa yang dia harapkan, jika benar pun itu Airlangga masa kecilnya, status mereka sudah terlalu jauh. Apalagi sekarang Ines merasa dirinya tak pantas lagi karena perbuatan Arlan waktu itu. Sehingga dia pun tak lagi pernah bermimpi untuk memiliki hidup dan rumah tangga yang indah dengan sosok yang sesungguhnya dulu membuatnya bertahan dan digelari perawan tua. Hanya dia yang tahu betul-betul apa
Waktu bergulir dengan segala pedihnya, entah kenapa hatinya semakin hari semakin sakit. Setelah acara kunjungan selesai, Aniska sering sekali menginap di rumah Arlan dengan alasan takut karena sendirian di rumah.Kehadiran Aniska merupakan kabar buruk untuk Ines. Perempuan itu seolah memendam dendam tersendiri padanya yang entah apa. Namun di satu sisi merupakan sebuah keberuntungan juga buat Ines, karena Arlan tak memiliki kesempatan untuk mengganggunya. Aniska seolah dua hal yang datang bersamaan, kebaikan dan keburukan membersamainya. Ines berusaha tetap abai, dia hanya fokus pada hidupnya. Sepagi ini semua menu sarapan sudah terhidang di atas meja. Ines menatanya di meja makan,di mana biasanya keluarga besar itu bersama-sama menyantap sarapan yang sudah disiapkannya. Andai dia diperbolehkan keluar, mungkin sudah membeli obat pencuci perut biar sesekali mereka jera. Namun sama sekali Ines tak diberikan akses untuk bepergian. Yang belanja bulanan pun Erna dan Mirna. Dirinya sa
“Semoga jus nanas ini bisa membuatmu tak usah hadir ke alam dunia! Maafkan Ibu yang sudah membunuhmu bahkan sebelum kamu berkesempatan untuk lahir ….” Ines bergumam sendirian seraya menyeka air mata. Dia tak tahu jika kesucian itu belum berhasil direnggut Arlan. Dia merasa menjadi orang paling berdosa sekarang dengan meminum jus nanas dan berharap bisa menggagalkan kehamilan. “Tuhan, sepertinya aku sudah tak layak lagi menyebut-Mu dengan diriku yang penuh dosa ini … aku sudah menjadi istri yang tak patuh pada suami, sudah membunuh calon bayiku sendiri … salah akukah semua ini, Tuhan? Bahkan aku seolah terus-terusan terhimpit susah dan susah dari sejak aku mengenal dunia … mungkin benar, Engkau memang tak sayang … jadi biarkan aku hidup dengan caraku sendiri!” Ines menghela napas panjang setelah bermonolog dengan dirinya sendiri. Pemikiran yang salah semakin menjerumuskannya pada pola pikir yang salah. Lagi-lagi Ines lupa, jika semua yang hidup itu diuji dengan permasalahan yang berbe
“Maaf, ya, Mbak Aniska yang terhormat! Tolong jaga bicaramu … saya di sini bukan pembantu, tapi saya menantu sama sepertimu! Saya ini istrinya Arlan Bramantyo---suamimu! Jadi apa bedanya saya dengan kamu? Kita sama, sama-sama istri dia!” Ines menunjuk ke arah Arlan yang sontak menelan saliva. Kedua matanya membulat memandang Aniska dengan tatapan menantang. “Ines, tolong jaga bicaramu! Apa kamu pikir, istriku ini bodoh?” Arlan tersenyum miring. Dia yakin, Aniska akan lebih percaya padanya dari pada dengan Ines. “Mas Arlanku tersayang, apa kamu lupa jika kemarin malam kamu memintaku melayanimu setiap malam? Kamu menginginkanku ‘kan? Apa istrimu ini kurang memuaskan?!” Ines sengaja menabur bara api agar emosi Arlan terpancing. Berharap kata talak akan terlontar. “Ines?!” Kedua mata Arlan membulat menatap Ines. Namun Ines tersenyum santai. “Apa perlu aku putar rekaman semua ucapanmu di depan istri tercintamu ini?” Ines menatap nyalang. Sejujurnya dia hanya menggertak, karena kemarin
Ines kembali terlelap. Mendengar alunan ayat suci Al-qur’an membuat hatinya menjadi tenang dan pikirannya yang selama ini carut marut perlahan damai. Hingga akhirnya kepala yang terasa berat dan pengaruh obat membuatnya kembali lelap. Shubuh menjelang, obrolan dua orang samar-samar membangunkan Ines yang tengah lelap. Dia mengerjap, membuka mata melihat siapa yang tengah berbicara. “Wah alhamdulilah, Abi! Akhirnya si Mbaknya sadar!” tukas perempuan dengan kerudung lebar itu menatap Ines. Tampak dia baru saja melipat sajadah. “Ibu siapa, ya?” Ines menatap paras teduh yang tengah menatapnya itu. “Saya Zubaidah, Mbak! Namun orang-orang biasanya memanggil saya Umi! Ini suami saya Pak Firdaus. Hmmm … Mbaknya siapa namanya, ya? Soalnya gak ada kartu identitas sama sekali.” Perempuan itu menatap lembut. “Saya Ines, Umi! Semua kartu identitas saya hilang, Umi!" tukas Ines. “Oh iya, Mbak Ines! Maafkan kami yang sudah membuat Mbak jadi masuk klinik seperti ini!” Umi Zubaidah mengatupkan ta
“Sama-sama, Mbak! Saya tinggal, ya! Kebetulan hari ini mau ada kunjungan dari perusahaan Dirandra Grup! Alhamdulilah ownernya mau jadi donatur tetap di panti, Mbak! Mari … Assalamu’alaikum!” Azizah meninggalkan Ines di kamar itu sendirian.“Wa’alaikumsalam!”Ines menatap kamar berukuran tiga kali tiga meter itu. Dia langsung berjalan menuju sebuah lemari yang ada di pojok kamar. Dibukanya, rupanya ada beberapa set pakaian. Ines menatap gamis panjang dan kerudung lebar itu. Tangannya gemetar mengambil kerudung itu dan didekapnya dalam dada.Ketukan pada pintu kamar menghalau pikirannya yang sudah mulai kembali melow. Ines bergegas memakai kerudung itu untuk menutup kepalanya dan berjalan menuju pintu.“Ines, nanti kamu kalau sudah mandi dan istirahat, temuin Umi, ya! Kalau gak ada di rumah, Umi di panti. Kamu jalan saja ke sebelah!” tukasnya seperti Ibu yang berpesan pada anaknya.“Iya, Umi!” Ines mengangguk. Rasanya masih seperti mimpi ketika hidup membolak-balikkan keadaan.“Alhamduli
Berbagai hidangan sudah tersaji di dapur panti. Anak-anak panti sudah rapi, sudah selesai bdimandikan dan dipakaikan baju-baju yang tersedia. Tak bagus, tetapi masih layak dipakai. Sebagian besar donasi dari para donatur tetap, ada juga yang dibelikan sendiri menggunakan uang yang masuk ke panti.Untuk orang-orang jompo tak banyak di sana, hanya beberapa. Kebanyakan panghuni panti didominasi oleh anak-anak kecil yang dulunya anak jalanan, ada juga yang memang sudah tak memiliki orang tua dan saudaranya yang dititipi tak sanggup mengurusnya.Beberapa anak sudah ada yang masuk sekolah SD, ada juga yang SMP dan kini Umi Zubaidah tengah mencari donatur baru karena beberapa anak yang akan segera masuk SMA. Setelah lulus nanti, Umi Zubaidah berharap agar mereka bisa mandiri, syukur-syukur sedikit banyak bisa memberikan bantuan juga untuk adik-adik mereka di panti.Mobil SUV mewah memasuki halaman rumah asri milik Abi Firdaus dan Umi Zubaidah. Azizah menyingkap tirai jendela dan menatap mobil
Azizah baru saja selesai menutup lembaran terakhir juz yang dia baca hari ini ketika derap langkah itu mendekat. Di antara keriuhan anak panti, tampak Ines berjalan seraya memegang lembaran Al qur’an dan menghampirinya.“Mbak?” Azizah menatap Ines yang tampak ragu.“Hmmm … ajarin Mbak baca qur’an yang bener, Iza! Kalau sama ustadzah malu sama anak-anak soalnya suka diketawain mereka, masih banyak banget salahnya.” Ines menatap penuh harap pada Azizah yang tersenyum dan mengangguk.“Ya sudah, jadi aku akan ngajarin Mbak Ines setiap sebelum aku mulai mengajar mereka, ya!” tukas Azizah seraya mempersilakan Ines duduk.Azizah mulai mengajarkan Ines membaca satu demi satu pelafalan huruf yang benar, tak terlalu sulit karena pada dasarnya Ines pernah ikut pengajian waktu kecilnya di kampung. Hanya saja ketika hidupnya semakin susah, dia sering sekali kelelahan setelah berjualan ikan asin dan lebih memilih pergi tidur awal. Ines kecil seringkali meringkuk di samping Bapak yang sangat dia cint