Share

6. Debar

Mengingat Mbak Rita ingin baikan, ditambah cara memandang Mas Reza, aku tahu, ia mengharapkan mantan suaminya kembali. Dada seakan kembali menyempit membayangkan itu semua.

------

Memandangi wajah Caca tidur tanpa melepas mukenah, salat berjamaah selesai, ia pun langsung melepaskan lelah.

Kehadiran bidadari kecil ini membuat hidup berwarna. Namun, sekaligus hambar mengingat hubunganku dengan ayahnya.

Sambil menyalahkan TV, aku menyetrika pakaian, tak lama berselang terdengar salam Mas Reza dari masjid.

Ia langsung duduk di sofa, sambil menyeruput kopi, kebiasaanya setiap malam. 

"Udah siap ngejelasin isi pesanku tadi siang?"

Pertanyaannya tak menghentikan pergerakan tanganku, walau tatapnya mulai tak sabar, aku membereskan lipatan terakhir sekaligus pura-pura tak menghiraukannya.

"Zahrah." Mas Reza memanggil lembut. Aku berpindah, duduk dua sofa di antaranya. 

"Ceritalah tentang Danar." ujarnya setelah mematikan TV. Aku terdiam lama guna merangkai kata tepat dalam hati. 

"Sebaiknya Mas bertanya. Semua tentang Mas Danar, sama yang diceritakan Reno."  Ia mengernyit, kaget.

Adik ketigaku itu sempat cerita, Mas Reza cari informasi tentang Mas Danar, sebelum kepulangannya kemarin.

Aneh! Seperti bukan Mas Reza, yang tak pernah kepo tentangku. 

Lelaki bertubuh proporsional itu mendekat, ia duduk setengah meter. Kembali aliran darah berpacu, jantung pun mulai tak terkendali. Aroma parfum menusuk hidung, netranya memorandakan ketenanganku. 

Perlahan Mas Reza melepas baju koko, menyampirkan di sandaran sofa, kaos berlengan pendek nampak sebagai dalaman. 

Lama kami terdiam, hanya suara kipas anging terdengar, menyesapi pikiran masing-masing.

"Bagaimana engkau mencintai seseorang?" tanyanya memecah keheningan, lalu memindai wajahku dengan tatap entah. 

Aku membalas gelisah netranya, debaran aneh menjalari setiap persendian tubuh.

"Menyebut namanya dalam doa," jawabku berusaha datar.

Kupegang tengkuk seketika menegang, menyeimbangi irama jantung yang menghentak keras. 

"Siapa lelaki yang kau cintai selain dari keluargamu?" Mas Reza meletakkan tangan pada sandaran sofa tempat dudukku. 

Jemari mulai dingin, aku membenahi ikatan rambut terasa longgar. Di rumah memang tidak mengenakan jilbab kecuali ada tamu bukan mahram. 

"Orang yang telah dihalalkan Allah," jawabku menatap wajah teduh itu. 

Kedua tangannya meraih kedua tanganku, lalu menciumnya, lama. Gemuruh di dada menggelegar, jantung terpompa keras. Hembusan nafasnya menghangat pada tanganku yang beku. "Trima kasih," ucapnya. 

Sementara menikmati debar aneh di dada, perlahan tangan kanan meraih kepala, tangan lain merangkul pundak, lantas bibirnya diletakkan di kening. Aku menutup mata merasai hangat sentuhannya.

Tak kurasakan tubuh sudah berada dalam pelukannya, erat. Detak jantung memompa cepat, debaran ini bukan milikku saja. 

Kubiarkan mata terus terpejam, menikmati belaiannya di rambut, debar indah kini nyata, seakan tak ingin berhenti sampai di sini. 

***

Jam sebelas malam belum mampu lelap, balik kanan-kiri mencari posisi nyaman. Namun, kejadian tadi, menghilangkan rasa kantuk. Mengingatnya, membuat bibirku menarik ulasan senyum.

Notif pesan WA seketika membuat kaget dari lamunan, Mas Reza! 

[Bisakah ke kamarku, Zahrah?]

Jantung kembali memompa cepat bersama debaran  tiba-tiba menciptakan dingin seketika. 

[Ada apa, Mas?]

Tanda centang tak berubah warna. Menunggu lima menit, belum terbaca. 

Kuputuskan ke kamarnya, pelan membuka pintu yang memang tidak pernah dikunci. Terlihat dalam remang lampu, Mas Reza terbaring dengan menggunakan selimut, HP ia letakkan di dada. 

Berbalik ke kamar mengira lelaki pembawa debar itu sudah tidur.

"Zahrah, kemari?" Suaranya berat memanggil. 

Ragu menguasaiku, ia memencet tombol ke lampu terang di sisi tempat tidur. 

"Kemarilah!"

Aku menurut, masuk, ia mengubah posisi menjadi duduk. Kemudian menarik lenganku, "Sepertinya aku lagi nggak enak badan, Zahrah." Tanganku dialihkan ke keningnya.

Sontak kaget. "Mas, kenapa nggak bilang?" Panik, suhu badannya panas sekali.

Kok, tidak terasa ketika ia menarik tanganku tadi? 

Aku gegags ke dapur, mengambil air dalam termos, handuk kecil, dan obat di penyimpanan. 

"Mas, minum obat!" kataku sambil mengompres keningnya. 

Mendengar dengkuran halus, obat aku simpan di atas nakas.

*

 

Aku terbangun  setelah melihat cahaya dari jendela. Mengumpulkan kesadaran, inikan bukan ...? Mas Reza mana? Pasti dia yang memindahkan tubuh ini dari kursi semalam. Kuperiksa semua badan, utuh, bahkan selimut menutup rapi.

"Udah bangun?" 

Mas Reza muncul dari kamar mandi, memakai kaos oblong, celana pendek di atas lutut. Aku membalikkan badan, mengingat tak pernah melihatnya seperti ini. 

"Mas, sudah sembuh?" ucapku sambil bangun dari tempat tidurnya.

Ia mendekat, harum sampo menyeruak sensitif hidungku.

"Sengaja aku nggan bangunin salat, kufikir kamu lagi berhalangan karena banyak alat wanita di atas mejamu."

Tidak! Ia pasti melihat pembalut di meja kamarku, belum sempat tersimpan kemarin sore. Wajah refleks bagai berlapis. Kenapa juga Mas Reza ke sana? Tumben. 

"Mau kemana?" tanyanya melihatku hendak beranjak. 

"Mau lihat Caca," ucapku ingin mengakhiri zona debar ini. 

"Caca udah salat, tidur kembali, capek katanya." Mas Reza duduk di sisiku. Jantung pun mulai tak terkendali. 

"Mau masak sarapan, Mas," Ia menarik tangan ketika aku sudah berdiri.

"Mulai sekarang, aku pindah ke kamarmu atau kamu yang kemari." Ia tak menggubrisku. 

Terasa ada aliran menghangat di balik debar, mendengar rangkaian kalimatnya. 

Kembali duduk, menajamkan pendengaran. Takut, jangan-jangan aku salah paham, "Ma-maksud, Mas?" tanyaku.

Tok ... Tok ...

Mas Reza menahan tanganku saat hendak membuka pintu luar, "biar aku saja, kamu tunggu di sini," ujarnya.

Sosok jangkung itupun melangkah keluar, setelah memakai celana panjang menutup betis 

Cepat merapikan spring bed yang kutempati tidur semalam. Bibir melengkung membentuk bulan sabit, membayangkan, memopong, dan tidur seranjang dengannya.

Karena lama Mas Reza belum muncul, aku bermaksud keluar untuk mengetahui siapa yang datang. 

Kakiku kembali terpaku di lantai, air mata berkumpul di pelupuk, siap kapan saja meluncur tanpa persetujuan. Ngapain mereka sepagi ini kemari? 

Mbak Rita bersama teman yang kulihat di pantai, duduk di sofa tamu paling kanan, sementara Mas Reza di sofa paling kiri, sofa kami berbentuk liter L. Entah apa topik perbincangan mereka. 

Lama berfikir, sebaiknya  melayani sebagai tamu, terus mandi, berkemas, dan keluar dengan alasan apalah, agar ada ruang nafas pada dada yang sekarang ini sedang mencekik. 

"Silahkan dicicipi, Mbak, Mbak." Kupersilahkan mereka setelah meletakkan tiga gelas minuman dan dua toples kue sisa acara Raina, lalu duduk di tengah. 

Meskipun terasa sesak di balik dada, kuusahakan berbincang sedatar dan ala  kadarnya, kendati tak yakin mampu duduk lama di antara mereka. 

Aku pamit kedalam dengan alasan mengurus Caca, padahal ingin melanjutkan rencana yang telah tersusun tadi. 

Saat berdiri, Mas Reza kembali menggenggam tanganku, sambil menatap lekat."Duduklah, Zahrah, Caca belum bangun." Mas Reza menarik duduk agak dempet dengannya. 

Aku berusaha melonggarkan genggaman tangan pria pembawa debar itu. Namun, tangan kekarnya semakin merekat. Bahkan genggaman tangan kami, ia letakkan di atas pahanya sambil bercerita, santai. 

Bukan cuma aku saja, merasakan suasana kaku, terlihat Mbak Rita, pun nggak sesantai tadi bersama temannya. Belum habis minuman yang tersaji, mereka pamit pulang. Aku bernafas lega, tapi nggak enak hati juga.

Wait! Kenapa wanita nyaris sempurna itu bersikap aneh? Kemana kelembutan yang kubenci itu? Mungkinkah ada sesuatu yang terjadi? Entahlah. 

Mas Reza mengantar mereka sampai pagar, aku pun demikian.

Setelah mobil Mbak Rita berlalu, Mas Reza mengunci pintu.

"Makasih, Zahrah, untuk semuanya." Ia kembali mencium tanganku, hangat, masih dalam genggamannya. 

Aku bingung memaknai ucapan itu. Terima kasih untuk apa? Karena melayani tamunya? Atau membuat mantan istrinya cemburu?

Mengingat Mbak Rita pengin rujuk, ditambah cara memandang ke Mas Reza,  aku tahu ia mengharapkan mantan suaminya kembali. Dada seakan menyempit kembali membayangkan itu semua.

"Ayah, ngapain cium tangan Bunda? Caca mendekat, boneka beruang dalam gendongan, pun  suaranya serak khas orang bangun tidur. 

"Tangan, Bunda, nggak papa, kan?" 

Gadis kecil itu meniup tanganku, Mas Reza tersenyum. Aku hanya menggeleng melihatnya sambil duduk bertopang pada lutut menyamakan tinggi dengan Caca. 

"Tangan bunda nggak sakit, Sayang. Ayah menciumnya sebagai tanda terima kasih, karena tlah merawat, memasak, dan menjaga kita,"  jawab Mas Reza, pun mengikut menyamakan posisi. 

"Makasih, Bunda. Caca sayang banget sama Bunda." Kini Caca gantian mencium tanganku.

"Bunda juga, sayang Caca," Aku melakukan hal sama, mencium tangan mungil itu lalu memeluknya erat.

"Ayah, juga mau." Tangan kekar nan panjang itu meraih tubuhku dengan Caca dalam pelukannya. 

"Udah, ah, Caca lapar."

"Aduh, bunda belum masak, Sayang."  Aku menepuk jidat. 

"Ayah udah masak, kok." Mataku membulat tak percaya. 

"Taraa!" Mas Reza membuka tudung saji, nasi goreng sosis daging tinggal disantap. 

"Wow! Ayah pinter masak juga rupanya, tapi masih enakan masakan bunda." sela Caca diantara kunyahanya. 

"Ntar, ayah ajak bunda tanding masak, buat nentuin siapa yang terenak," jawab Mas Reza bercanda sambil melirikku. 

"Ayah, nggak bakalan menang. Caca setuju sama Om Danar, kalau masakan Bunda paling enak."

Mas Reza tersedak, meminum air cepat, wajahnya memerah. Entah kenapa ia selalu begitu kalau mendengar nama Mas Danar. Toh, aku dan Reno telah menjelaskannya. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status