"Iya ini Kakak, kenapa kamu? Kaget? Hah?"
Lula menggelengkan kepala, wajahnya cemas karena perlakuannya yang kasar pada istriku sudah kupergoki."Dia ini Kakak iparmu, gimana bisa kamu bersikap begini? Atau apa jangan-jangan selama ini kamu memang bersikap begini?" ujarku lagi seraya menatapnya tajam."M--maaf Kak, tadi Lula kaget kenapa Kak Lusi ada di kamar Lula," katanya tergagap."Kaget katamu? Tapi apa perlu kamu bersikap begini? Sekolah kan kamu?"Aku terus menyentaknya, rasanya kesal sekali aku melihat anak SMA sudah berani main kasar sama orang yang lebih tua, mau jadi apa dia nantinya kalau lagi sekolah aja dia gak ada takutnya begini.Sementara itu ibu dan Kak Tuti datang menghampiri."Ada apa ini ribut-ribut?" tanya Ibu."Ajarin nih si Lula, anak sekolah sikapnya kasar begitu, mau jadi apa dia nanti?" ujarku kesal."Tap--pi Bu si gi--."Ibu menarik lengan Lula sebelum anak itu selesai bicara, akhirnya Lula diam."Mulai sekarang kamar ini akan jadi kamar kami, biar si Lula tidur di kamar bekas kami," tegasku.Lula menyeringai. "Loh gak bisa gitu dong, Kak," protesnya, ibu kembali menarik lengannya."Kenapa gak bisa? Selama ini kamu tidur enak di atas kasur kan? Darimana uangnya kalau bukan dari Kakak?" ujarku sambil mengerling ke arah ibu.Aku sengaja menyindir mereka, agar mereka sadar sampai sekarang hidup mereka yang layak bahkan cenderung lebih itu berkat siapa?Aku bukan niat mengungkit atau tidak ikhlas memberi ibu dan sodara-sodaraku uang, tapi saat tadi kudengar sendiri obrolan mereka di dapur, aku jadi sensi dan muak sendiri."Tapi kalau kamu gak setuju gak apa-apa, biar Kakak dan Kak Lusi tidur di kamar Ibu atau di kamar Kak Tuti aja," imbuhku lagi.Cepat Kak Tuti melambai tangan. "Eh jangan dong, gak enak sama suami Kakak masa pindah kamar sih.""Ya udah kami di kamar Ibu."Ibuku juga menggeleng kepala. "Jangan-jangan, meningan udah di kamar Lula aja, biar si Lula Ibu yang urus." tuturnya.Lula mengatupkan bibir, wajahnya benar-benar tak santai seperti ingin berontak, tapi mau bagaimana lagi? Semua orang tak mau mengalah."Terserah," katanya kemudian sambil berlari ke kamar ibu dan membanting pintu."Itulah kalau si Lula selalu dimanjain, jadinya begitu, gak punya sopan-santun sedikitpun," pungkasku seraya mengambil nampan berisi makanan yang tadi sempat kusimpan di atas meja.Aku lalu membawa Lusi masuk kembali ke kamar Lula.Di dalam kamar Lusi kembali menangis, lalu dipegang lagi bagian lututnya, kasihan mungkin Lusi sangat kesakitan karena tarikan si Lula yang terlalu kencang sampai menghantam lantai."Sakit ya Lus lututnya?" Aku bertanya sambil berjongkok di depan lutut Lusi.Perlahan kunaikan daster lusuh yang sudah banyak bolongnya itu hingga ke bagian atas lutut. Niat hati ingin melihat seberapa besar luka lebam akibat benturan yang tadi Lula lakukan tapi aku malah menemukan hal yang membuatku kembali terkejut."Astagfirullah Lusi, ini apa? Dan ini? Dan ini?"Aku melihat banyak sekali luka lebam dan merah di bagian paha istriku, entah ini luka bekas apa dan siapa yang melakukannya.Tak berhenti sampai di sana, aku lalu mengecek bagian punggung Lusi, benar saja, luka-luka memar yang sama juga terdapat di sana, hampir memenuhi punggung Lusi."Aw sakit, Bang," kata Lusi, ia mencoba menghindari tanganku."Sebentar Lusi, ini kamu kenapa? Siapa yang udah lakuin ini? Siapa yang berani sakitin kamu sampai begini?" cecarku sambil terus mencari di bagian-bagian lainnya.Lusi kembali menangis. "Perih Bang, perih," katanya lagi.Gak bener, semua ini pasti ada yang gak bener. Kuteliti lagi dengan baik luka-luka di paha dan punggung Lusi."Ini seperti bekas pukulan kayu Lus, apa kamu dipukul pakai kayu?" tanyaku menatapnya serius."Bambu," jawabnya pelan dengan sorot mata yang sangat ketakutan.Bambu? Apa maksud Lusi ia dipukul pakai bambu? Jangan-jangan bambu yang ada di kamar itu ...? Keterlaluan kalau sampai itu bener.Walau menurut mereka istriku gila, tapi apa pantas istriku dipukul pakai bambu sampai memar-memar begini?"Kenapa kamu dipukul pakai bambu? Apa jangan-jangan karena kamu teriak-teriak terus ya?"Lusi menggeleng kepala lalu kembali menangis."Jawab Lus, jangan begini, sebenarnya kamu kenapa?"Tapi Lusi tak bicara atau menjawab pertanyaanku, hanya matanya saja yang terus mengeluarkan air mata sementara bibirnya juga kadang senyum-senyum sendiri.Ya Tuhan aku jadi bingung, gimana caranya aku bertanya sama Lusi? Sementara aku harus tahu sebenarnya kenapa istriku dipukuli? Dan siapa pelakunya? Tapi sekarang rasanya sulit sekali aku mendapatkan informasi yang jelas dari istriku karena dia tak bisa fokus dan jiwanya sedang benar-benar terganggu.Baiklah, kutarik napas panjang-panjang, kuhembuskan perlahan. Aku kembali menatap istriku dan memegang kedua bahubya agar Lusi bisa berkonsentrasi."Lusi, lihat Abang!"Ia mengangkat wajah."Bilang sama Abang, siapa yang udah mukul kamu? Dan kenapa kamu dipukuli?"Lusi diam sejenak, ia tampak sedang mengingat-ngingat sesuatu."Bilang Lus, jangan takut lagi ya, ada Abang di sini sekarang." Aku meyakinkannya lagi sambil terus mengguncang kedua bahunya."Ibu, Kakak, Adek, semuanya," ucapnya kemudian sambil menghitung jari jemarinya.Tatapannya kembali kosong, seperti sedang menerawang sangat jauh."Semuanya? Jadi semua orang suka pukulin kamu?" Aku memastikan lagi.Lusi kembali menatapku, ia lalu mengangguk, air matanya kemudian jatuh mengaliri pipinya yang dekil.Aku paham bagaimana perasaanya jika memang benar semua orang melakukan kekerasan sama Lusi aku bersumpah akan membuat mereka semua bersujud di kaki Lusi.Tak kecuali ibu, entah kenapa ibuku sekejam itu pada Lusi? Apa karena Lusi bukanlah anak orang kaya seperti yang beliau harapkan begitu?Lusi menangis lagi kali ini semakin kencang, jujur saja semua itu membuatku semakin kesulitan saat aku mengintrogasinya.Tapi aku tak menyerah, kebenaran harus kuketahui dengan jelas. "Lusi Lusi tenanglah, sekarang katakan sama Abang, kenapa kamu dipukul?" Aku kembali mengguncang kedua bahunya.Untuk sesaat ia kembali diam dan kembali berpikir."Gak mau mandi," jawabnya seraya kembali menangis dan sibuk menyeka air matanya.Aku menyipitkan mata. "Gak mau mandi saja sa
"Lusi, Abang kirim uang buat kamu tiap bulan, kamu ambil tidak?" Aku kembali bertanya walau Lusi sedang menangis.Ia lalu menggelengkan kepalanya lagi, dipeluknya kedua lutut itu dengan tangannya."Jadi selama 5 tahun Abang kirim uang kamu gak pernah dikasih? Tapi kamu bilang ditelep--." Hampir saja aku ikut terbawa emosi andai aku tidak cepat melihat istriku yang semakin ketakutan di tempatnya."Eh enggak maaf maksud Abang, Abang bukan mau sentak Lusi, Abang cuma--kesel sama keluarga Abang."Keterlaluan! Bener-bener keterlaluan! Jadi bener selama ini aku kirim uang dan Lusi gak pernah dikasih, pantas saja jika sekarang istriku stres bisa jadi penyebabnya karena dari sana juga.Lusi kemudian mengangkat wajah dan menatapku pilu. "Lusi gak gila Bang, Lusi gak gila," katanya dengan suara serak dan pelan, digeleng-gelengkan kepalanya itu seperti sedang menolak sesuatu dengan cepat.Aku berusaha menenangkannya, kupeluk ia, kuciumi keningnya juga."Iya iya Abang percaya kok Lusi gak gila, L
Tanpa bantahan ia mengangguk. Kami pun kembali berjalan pulang meninggalkan rumah terakhir Yassir.Di tengah jalan langkah Lusi terhenti tatkala kami melewati sebuah warung bakso."Bang itu." Ia menunjuk ke arah bakso yang dijejerkan dalam gerobak."Bakso? Lusi mau bakso?" Lusi mengangguk. Kasihan, padahal tadi dia baru makan banyak tapi mungkin masih belum kenyang juga.Akhirnya kubawa ia masuk ke dalam kios bakso itu, kupesan dua mangkok bakso urat seperti kesukaannya."Nah makanlah," titahku ketika dua mangkok bakso ada di hadapannya.Dan hap hap hap. Tak ada sisa, semangkok bakso yang kuahnya masih panas itu berhasil ia habiskan dengan cepat, aku sampai harus meminjam satu mangkok kosong untuk memisahkan air dengan baksonya karena takut melukai mulut Lusi."Pelan aja Lus, masih banyak, nanti Abang beliin lagi.""Enak Bang, Lusi suka bakso."Hatiku kembali nyeri, jauh-jauh aku kerja ke luar negeri semua itu hanya untuk membuatnya bahagia dan mencukupi semua kebutuhannya agar ia ti
"Bisa gak pelan-pelan aja ngomongnya? Tadi mereka lagi keluar, gak tahu mereka ada di kamar atau enggak sekarang.""Kamu gak kabari Kakak si Sandi udah balik." "Salah siapa teleponnya gak aktif terus."Setelah itu mereka terdengar pergi dari ruangan depan.Setelah rumah kembali sepi karena mungkin mereka sedang mengobrol di belakang atau di kamar ibu, aku kembali menatap istriku yang tengah terlelap.Kasihan dia, tubuhnya kurus kering, mata hitam dan kulitnya kusam.Jika memang Lusi mulai mengalami gangguan jiwa sejak anakku meninggal tapi kenapa tubuhnya sampai terlihat mengenaskan begini? Makam Yassir bahkan masih terlihat baru itu artinya harusnya Lusi belum separah ini juga.Sungguh tak masuk di akal.Atau jangan-jangan sebetulnya Lusi gila itu bukan karena anakku meninggal tapi karena selama ini mereka memperlakukannya seperti binatang.Diberi nasi sisa, disuruh kerja terus menerus, dan--mungkin masih banyak hal lainnya yang belum kuketahui. Ya benar, karena itu aku harus mencari
Aku menyipitkan mata."Kenapa harus kakak saya yang bawa?Emang gak ada Pak RT atau siapa gitu, Bu?"Bu Lastri diam sebentar."Enggak tahu juga kenapa harus si Tuti yang bawa, padahal para tetangga laki-laki juga ada kok pada menawarkan diri tapi keluargamu malah menolak."Aku berpikir sebentar, aneh juga, kenapa keluargaku maksa membawa jenazah Yassir sendiri? Maksudnya kalau ada laki-laki kan lebih baik dibawa sama laki-laki saja."Kamu jadi kurus banget Lus, baru aja ditinggal seminggu lebih sama Yassir," ucap Bu Lastri lagi seraya duduk di dekat Lusi."Tapi istrimu ini kok jarang kelihatannya udah lama ya San?" imbuh beliau terheran-heran.Tepat dugaanku, Bu Lastri bilang beliau juga tak melihat Lusi sudah sejak lama, jelasnya dari sebelum Yassir meninggal itu artinya Lusi sudah dipasung sejak lama oleh keluargaku.Tapi kenapa ibuku bilang Lusi gila saat Yassir udah meninggal? Berarti mereka bohong dan aku yakin mereka sedang menutupi sesuatu."Ya udah Bu, kami pamit ya, mau sarapa
"Ambil aja istri gila mu itu bawa dia pergi dari rumah ini, itu akan jauh lebih baik," ucap Kak Tuti sama tegasnya denganku.Wanita yang usianya tak jauh beda dari aku dan Lusi itu lalu pergi dari hadapan kami."Kamu lihat 'kan Sandi? Karena ulahmu sodaramu itu jadi marah." Ibu menyahut lagi seraya meluruskan jari telunjuknya."Dasar anak gak tahu diuntung," dengus beliau kemudian seraya berpaling muka dariku.Tapi tak kupedulikan, kubiarkan saja walau ibu marah bahkan tak lagi menganggapku anak, aku sudah tak peduli."Hari ini Sandi dan Lusi mau pindah ke rumah sodara Bu Lastri, kami mau ngontrak di sana sampai kami punya rumah baru." Aku memecah hening yang menjeda beberapa detik.Ibu kembali menoleh dengan mulut menganga. "Kok kamu jadi seenaknya gini Sandi? Mau pindah rumah gak bilang-bilang dulu, terus nanti Ibu sama siapa?""Di sini kan ada Kak Tuti dan Kak Yogi, Lula juga udah dewasa, mereka bisa kok jagain Ibu," jawabku tanpa ragu.Ibu terkatup-katup sementara Kak Noni sama ke
"Di luar di mana?" Aku bangkit dan menengok kaca jendela, tak ada siapa-siapa kecuali kak Yogi yang sejak tadi memang sedang duduk di teras."Ya udah ya udah kita pindah sekarang ya Lus, kita bawa baju kita keluar."Lusi mengangguk lalu menempel di punggungku. Segera kubawa dia keluar.Bruk. Kakinya menabrak ujung kursi hingga Lusi jatuh di dekat kaki Kak Yogi."Awas hati-hati." Kak Yogi hendak meraih istriku tapi cepat ditepisnya oleh Lusi."Pergi! Pergi kamu!" Lusi berteriak sambil melotot ke arah Kak Yogi.Cepat kutenangkan dia. "Lusi Lusi tenang, tenang dulu."Lusi malah semakin ketakutan hingga keluar keringat dingin, napasnya juga mendadak tersengal-sengal sepeti habis lari maraton."Lusi kenapa? Dia Kak Yogi suaminya Kak Tuti," ucapku panik.Tetapi Lusi malah membuka pagar rumah dan berlari menjauhi kami. "Lusi mau kemana?" Aku setengah berteriak dari teras."Kenapa istrimu itu San?"Aku menggeleng kepala, tanpa sempat menjawab ucapan Kak Yogi aku segera mengejar Lusi."Lusi
"Memangnya kenapa, Pak?""Lula belum membayar SPP selama 6 bulan, Mas."Aku terperangah. "Enam bulan?""Iya, Mas."Kurang ajar, selama ini ibu dan Kak Tuti rutin meminta uang padaku katanya untuk bayaran sekolah Lula, mana jumlahnya pun tak sedikit tapi sekarang apa? Lula belum bayaran sekolah selama 6 bulan?"Berapa biaya perbulannya, Pak?" Aku bertanya lagi."350 ribu hanya SPP, Pak."Aku kembali diam.Selama ini ibu bilang uang SPP Lula 500 ribu per bulan, belum lagi uang buat beli buku paket dan lain-lain makanya setiap bulan kukirim mereka uang 4 juta rupiah, kuniatkan untuk biaya sekolah Lula dan untuk makan anak istri serta ibuku.Tapi kenapa ibu gak bayar SPP Lula selama 6 bulan? Lalu mereka kemanakan uangnya? Apakah cuma habis dimakan begitu saja? Gak beres, mereka semua emang gak beres."Ya sudah saya nanti biar saya bicarakan dulu sama keluarga yang lain ya, Pak.""Baik Mas, oh ya dan untuk Dara semua laporannya bagus hanya dia sekarang lebih sering izin tidak masuk," tutur