Setelah beberapa saat mencoba menghubungi Zainab yang tak kunjung diangkat, hati ini mulai dilanda gelisah. Namun, sopir yang ditugaskan menjemput sudah datang dan dengan terpaksa, aku mengabaikan nomor Zainab yang tidak mau menjawab telepon. Selama perjalanan menuju kantor, aku terus berusaha menghubungi lagi nomor Zainab, dan hasilnya tetap sama. Nihil. Kenapa lagi dia? Apa marah karena aku tetap pergi? Ah, Za ... berhentilah kekanak-kanakan seperti itu. Aku bekerja menggantikanmu, untukmu. Sekitar pukul sepuluh pagi, aku sampai di kantor dan klien sudah menunggu di ruang meeting bersama direktur cabang Bali. Mereka menyambutku dengan ramah. Aku pun meminta untuk acara agar segera dimulai karena hati ini sama sekali tidak bisa tenang sejak sampai di bandara.Dengan fokus yang terpecah, aku tetap berusaha mencerna setiap kata yang disampaikan dalam meeting. Hingga semua selesai dan waktu terakhir adalah penandatanganan kontrak kerja sama. "Semoga kita bisa bekerja sama dengan bai
Ini kali kedua aku mengumandangkan azan dan ikamah di telinga bayi mungil yang belum genap satu jam terlahir ke dunia. Namun, ini sedikit berbeda karena kebahagiaan dalam hati ini terasa begitu lengkap. Aku bisa menyaksikan kelahirannya secara langsung bersama perjuangan Zainab yang tidak mudah. Baby boy dalam gendongan ini menggeliat pelan saat aku mencium pipi merahnya. Kulit yang masih selembut salju itu membuatku gemas. Wajahnya begitu mirip dengan Zainab. Hidungnya yang tidak terlalu mancung membuatku ingin menariknya. "Hai, Jagoan. Ini, papa, Nak. Kenapa wajah mama kamu nempel semua sama kamu, Nak? Papa sampai gak kebagian." Meskipun belum puas menatap bayi mungil itu, aku harus memberikannya pada perawat dahulu. Dan sekarang aku akan fokus pada Zainab dulu. Dia sudah dipindahkan ke ruang rawat setelah menerima beberapa jahitan pada jalan lahir. "Nanti, anak saya akan diantar ke kamar istri saya, 'kan?" tanyaku sebelum meninggalkan baby boy itu pada perawat. "Iya, Pak. Akan
Kilau sinar matahari menerobos celah jendela yang tidak tertutup rapat tirai. Aku mengedarkan pandangan, ada dua laki-laki tercinta di lamar ini yang masih lelap dalam tidurnya. Belakangan ini, Mas Zaidan sering tidur lagi selepas salat Subuh karena menemaniku begadang merawat Zaki. Dia begitu perhatian dengan bayi laki-laki kami. Katanya, Zaki yang akan mengalahkan ketampanannya. Aku tertawa dalam hati saat mendengar penuturan itu, padahal mereka berdua sama-sama tampan. Aku bergegas mandi sebelum Zaidan junior bangun. Dia bocah pintar yang tidak pernah mau kutinggalkan sebentar saja. Apalagi, setelah acara akikah semalam. Sepertinya, Zaki kelelahan. Selagi Zaki belum bangun setelah aku mandi, langkah ini tertuju ke lantai dua. Meskipun masih sedikit sakit, aku tidak terlalu peduli. Ingin sekali menjadi orang pertama yang ada saat Zahira bangun tidur. "Eh, Mbak Zainab. Kenapa naik ke sini? Memangnya sudah gak sakit buat naik tangga?" Mbak Lita begitu peduli denganku. "Enggak, M
"Aku mau kue tal(tart), Ma! Cekalang(sekarang)!" rengek Zaki. Hari ini, genap empat tahun usianya. "Iya, Sayang. Tunggu Papa dulu, ya. Sebentar lagi, Papa pulang."Memang Mas Zaidan belum pulang sejak kemarin karena ada gathering di Lombok dan katanya pulang dengan penerbangan pagi ini. Dan kami diminta untuk menunggu jika ingin merayakan ulang tahun Zaki. "Gak mau! Maunya cekalang!" Lagi, Zaki merengek, bahkan menangis kencang. Aku ingin sekali menuruti permintaannya, tapi kondisiku yang tengah hamil muda tidak memungkinkan untuk pergi. Hingga Ibu membuka suara dan akan menuruti kemauan cucunya. Dengan terpaksa pula aku menyetujui dan ikut untuk pergi ke toko kue. Aku, Ibu, dan Zaki berangkat naik taksi setelah beberapa menit Mbak Lita pergi mengantar Zahira sekolah. Ya, gadis kecilku sudah masuk taman kanak-kanak. "Kamu harusnya gak usah ikut, Nak. Kamu kelihatan pucat, lho," ucap Ibu saat kami dalam perjalanan. "Gak mungkin aku biarin Ibu pergi berdua dengan Zaki. Zaki ini ana
PoV ZaidanAku membanting ponsel setelah Pak Baharudin menelepon dan memberitahukan tentang tindakan Zainab yang memindahtangankan semua aset miliknya untuk Zahira dan Zaki. Aku merasakan sakitnya kehilangan saat mengingat Zainab yang melanjutkan langkah keluar dari rumah. Aku memang marah, benci, dan kecewa dengannya, tapi rasa dalam hati ini tidak bisa berbohong. Aku masih mencintai Zainab dan tidak ingin kehilangannya. Aku sempat berpikir jika tindakannya hanya menggertak. Namun, aku salah besar setelah mendengar cerita dari Pak Baharudin. Dan seketika itu juga aku mencari keberadaannya dengan menghubungi pusat customer service taksi online yang biasa digunakan Zainab. Stasiun kereta api terdekat menjadi tempat pemberhentiannya. Aku tidak lagi peduli dengan keselamatan. Yang kupikirkan hanyalah Zainab. Aku tidak siap kehilangannya. Meskipun sikapku tak lagi seperti dulu padanya, tapi nyatanya cinta untuknya tidak pernah melebur. Hingga terdengar bunyi pesan masuk saat aku tengah
PoV ZainabApa yang terjadi semalam seperti de javu bagiku. Setelah lima purnama dalam kesendirian, aku bisa melihat lagi wajah lelaki tercinta saat bangun tidur. Namun, hati ini cukup risau dengan perubahan Mas Zaidan yang tiba-tiba. Mungkinkah dia sudah memaafkanku? Entahlah ... hanya saja, aku belum sepenuhnya bisa menerimanya seperti dulu. Bukan karena tak cinta, tapi karena sudah terbiasa saja dengan sikap tak acuhnya. Kuhela napas sejenak setelah file-file di hadapan selesai dipelajari dan membubuhkan tanda tangan di dalamnya. Tinggal menunggu Amira untuk mengambilnya, lalu aku bisa pulang segera. Ah, mengingat kata pulang membuat hati ini berdecih pelan. Mas Zaidan tak lagi membutuhkanku. Zahira dan Zaki pun sudah terbiasa tanpaku. Putra dan putriku itu sekarang lebih menyayangi Mbak Lita karena kami tak pernah lagi menghabiskan waktu bersama. "Permisi, Bu! Apa file-nya ....""Sudah saya tanda tangani." Kuserahkan file yang berbalut map warna kuning pada Amira sebelum dia m
PoV ZaidanTak hentinya aku merutuki diri sendiri saat melihat Zainab terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Dia divonis mengalami maag kronis oleh dokter hingga mengakibatkan demam yang cukup tinggi. Baru kali ini aku melihat Zainab sakit setelah sekian lama.Tadi, Zainab sempat sadar, tapi setelah itu dokter memberinya suntikan yang membuatnya kembali tertidur. Untungnya, demamnya sudah turun dan bisa membuatku sedikit bernapas lega. Mata indah yang dulunya selalu menggodaku dengan kedipan manja, kini terlihat begitu cekung. Sejahat itukah aku yang sungguh tega pada perempuan yang sudah memberikan hidupnya?Maafin mas, Za. Aku akan menebus kesalahan yang mungkin tidak termaafkan. Aku duduk di samping ranjang sambil terus menggenggam erat tangan Zainab hingga bunyi ponsel menyentak. Ayah Hasyim? Astaga! Aku lupa kalau beliau akan datang. "Assalamualaikum, Yah," sapaku setelah telepon tersambung. "Waalaikumsalam, Nak. Bisa jemput Ayah di bandara? Ayah sudah sampai Jaka
Meskipun masih canggung, aku bisa kembali merasakan kebahagiaan. Dipeluk dengan hangat oleh Mas Zaidan memang hal yang sangat kurindukan. Dia segalanya untukku, tapi kekecewaan Ayah mengekang hingga belum mengizinkan kami bersatu lagi. Malam ini pun aku diam-diam menemui Mas Zaidan setelah mendapat telepon dari Bu Padma kalau laki-laki berhidung mancung itu pingsan. Tentu sebagai seorang istri, aku tidak bisa mengabaikannya. Bagaimanapun, aku harus bertanggung jawab pada sebuah kewajiban. Terenyuh, satu kata yang melambangkan perasaan ini saat melihat kondisi Mas Zaidan. Satu pekan ini aku seperti seorang yang munafik. Tidak ingin diabaikan, tapi yang kulakukan saat ini sama saja dengan apa yang dilakukan Mas Zaidan dulu. Ini memang tidak benar. "Anak Ayah dari mana? Jam segini baru pulang." Ayah Hasyim ternyata menungguku di ruang tamu. Tadi, aku berpamitan untuk mengecek restoran peninggalan Mama, padahal pergi menemui Mas Zaidan setelah mendengar kabar dari Bu Padma. "Tadi, res