PoV ZaidanAku membanting ponsel setelah Pak Baharudin menelepon dan memberitahukan tentang tindakan Zainab yang memindahtangankan semua aset miliknya untuk Zahira dan Zaki. Aku merasakan sakitnya kehilangan saat mengingat Zainab yang melanjutkan langkah keluar dari rumah. Aku memang marah, benci, dan kecewa dengannya, tapi rasa dalam hati ini tidak bisa berbohong. Aku masih mencintai Zainab dan tidak ingin kehilangannya. Aku sempat berpikir jika tindakannya hanya menggertak. Namun, aku salah besar setelah mendengar cerita dari Pak Baharudin. Dan seketika itu juga aku mencari keberadaannya dengan menghubungi pusat customer service taksi online yang biasa digunakan Zainab. Stasiun kereta api terdekat menjadi tempat pemberhentiannya. Aku tidak lagi peduli dengan keselamatan. Yang kupikirkan hanyalah Zainab. Aku tidak siap kehilangannya. Meskipun sikapku tak lagi seperti dulu padanya, tapi nyatanya cinta untuknya tidak pernah melebur. Hingga terdengar bunyi pesan masuk saat aku tengah
PoV ZainabApa yang terjadi semalam seperti de javu bagiku. Setelah lima purnama dalam kesendirian, aku bisa melihat lagi wajah lelaki tercinta saat bangun tidur. Namun, hati ini cukup risau dengan perubahan Mas Zaidan yang tiba-tiba. Mungkinkah dia sudah memaafkanku? Entahlah ... hanya saja, aku belum sepenuhnya bisa menerimanya seperti dulu. Bukan karena tak cinta, tapi karena sudah terbiasa saja dengan sikap tak acuhnya. Kuhela napas sejenak setelah file-file di hadapan selesai dipelajari dan membubuhkan tanda tangan di dalamnya. Tinggal menunggu Amira untuk mengambilnya, lalu aku bisa pulang segera. Ah, mengingat kata pulang membuat hati ini berdecih pelan. Mas Zaidan tak lagi membutuhkanku. Zahira dan Zaki pun sudah terbiasa tanpaku. Putra dan putriku itu sekarang lebih menyayangi Mbak Lita karena kami tak pernah lagi menghabiskan waktu bersama. "Permisi, Bu! Apa file-nya ....""Sudah saya tanda tangani." Kuserahkan file yang berbalut map warna kuning pada Amira sebelum dia m
PoV ZaidanTak hentinya aku merutuki diri sendiri saat melihat Zainab terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Dia divonis mengalami maag kronis oleh dokter hingga mengakibatkan demam yang cukup tinggi. Baru kali ini aku melihat Zainab sakit setelah sekian lama.Tadi, Zainab sempat sadar, tapi setelah itu dokter memberinya suntikan yang membuatnya kembali tertidur. Untungnya, demamnya sudah turun dan bisa membuatku sedikit bernapas lega. Mata indah yang dulunya selalu menggodaku dengan kedipan manja, kini terlihat begitu cekung. Sejahat itukah aku yang sungguh tega pada perempuan yang sudah memberikan hidupnya?Maafin mas, Za. Aku akan menebus kesalahan yang mungkin tidak termaafkan. Aku duduk di samping ranjang sambil terus menggenggam erat tangan Zainab hingga bunyi ponsel menyentak. Ayah Hasyim? Astaga! Aku lupa kalau beliau akan datang. "Assalamualaikum, Yah," sapaku setelah telepon tersambung. "Waalaikumsalam, Nak. Bisa jemput Ayah di bandara? Ayah sudah sampai Jaka
Meskipun masih canggung, aku bisa kembali merasakan kebahagiaan. Dipeluk dengan hangat oleh Mas Zaidan memang hal yang sangat kurindukan. Dia segalanya untukku, tapi kekecewaan Ayah mengekang hingga belum mengizinkan kami bersatu lagi. Malam ini pun aku diam-diam menemui Mas Zaidan setelah mendapat telepon dari Bu Padma kalau laki-laki berhidung mancung itu pingsan. Tentu sebagai seorang istri, aku tidak bisa mengabaikannya. Bagaimanapun, aku harus bertanggung jawab pada sebuah kewajiban. Terenyuh, satu kata yang melambangkan perasaan ini saat melihat kondisi Mas Zaidan. Satu pekan ini aku seperti seorang yang munafik. Tidak ingin diabaikan, tapi yang kulakukan saat ini sama saja dengan apa yang dilakukan Mas Zaidan dulu. Ini memang tidak benar. "Anak Ayah dari mana? Jam segini baru pulang." Ayah Hasyim ternyata menungguku di ruang tamu. Tadi, aku berpamitan untuk mengecek restoran peninggalan Mama, padahal pergi menemui Mas Zaidan setelah mendengar kabar dari Bu Padma. "Tadi, res
Aku harus ekstra berusaha untuk mendapatkan hati Zainab lagi. Apalagi, Ayah Hasyim sepertinya benar-benar ingin memisahkanku dengan Zainab. Namun, dengan adanya masalah di Bali membuatku punya kesempatan untuk mendekati Zainab. Aku bisa memandangi wajah cantik itu lagi malam ini. Meskipun aku masih harus pisah ranjang dengannya, tapi paling tidak, kami sudah tidur dalam satu kamar. Sebenarnya, ada satu hal yang kupikirkan. Mungkin, kalau Zainab hamil, Ayah Hasyim akan merestui lagi. Namun, perasaan Zainab lebih penting untuk dijaga. Aku tidak ingin gegabah dan justru membuat hubungan kami makin jauh. Akhirnya, aku memilih tidur sambil duduk di lantai samping tempat tidur. Aku bisa terus memegangi tangannya dengan pemandangan indah di depan mata. Hingga tanpa sadar, mata ini perlahan memejam. ***Mata jelita Zainab tengah menatapku hangat saat aku terbangun. Wajah kami yang saling berhadapan membuatku enggan berpaling. Namun, aku merasakan sakit di bagian leher saat akan berusaha un
Terkadang, memaafkan itu memang menyakitkan. Namun, memaafkan juga mampu mendamaikan hati. Bisa dibilang kalau aku ini memang bodoh karena begitu mudah memberi maaf pada Mas Zaidan. Ya, memang inilah aku, perempuan yang tidak bisa terlalu lama menyimpan dendam. Seharian di Bali bersama Mas Zaidan memang moment yang begitu kurindukan. Menghabiskan waktu dengan kekasih hati memiliki kadar bahagia yang berbeda. Apalagi, kami terikat secara halal. Namun, saat kami akan menikmati makan siang, ponselku terus berdering. Ada panggilan video call dari Ayah dan seketika membuat jantungku berdetak lebih cepat. Mas Zaidan yang sepertinya mengerti kegelisahanku bertanya, tapi urung kujawab. Kutarik napas panjang sebelum akhirnya mengangkat panggilan dari Ayah. Tampak wajah Zahira dan Zaki bergantian di layar ponsel. Mereka saling berebut. Akan tetapi, hanya sebentar dan berganti wajah Ayah. "Kenapa belum pulang? Amira saja sudah pulang dari kemarin." Ayah tampak begitu marah. "So--sore ini,
Ada yang nyeri di ulu hati saat Zainab mengabarkan jika dia dan anak-anak akan pergi bersama Angga. Memang ada Ayah di sana, tapi itu justru membuat hatiku makin tidak keruan. Ya, karena kehadiran Ayah pastinya akan memuluskan rencananya untuk menjodohkan Zainab dengan Angga. Aku meremas rambut dengan kasar. Frustrasi! Semua seakan-akan mendukung perpisahanku dengan Zainab. Jika ingin menyalahkan, aku-lah yang paling tepat untuk ditunjuk. Semua gara-gara keegoisan Zaidan Alhakim yang dikuasai emosi. "Mas Zaidan kenapa? Kalau gak fokus ngurus resto, mending pulang dulu."Suara lembut menyapa saat aku tertunduk sembari kedua tangan memegangi kepala dengan siku bertumpu pada meja. "Vanya," ucapku pelan seraya mendongak. Kemudian, membenarkan posisis duduk bersandar. Gadis berambut sebahu itu pun duduk di kursi seberang meja kerjaku. Namun, satu hal yang membuatku kaget. Vanya tiba-tiba memegang tanganku di atas meja. Saat kucoba menarik tangan darinya, gadis itu justru menggenggam er
Semenjak pulang dari rumah Mas Zaidan, bibir ini tidak bisa berhenti tersenyum. Aku selalu teringat perlakuan manisnya dan perubahan yang begitu signifikan. Dia sudah tidak lagi mengungkit-ungkit kepergian Ibu, bahkan dia ingin sekali memperbaiki hubungan pernikahan kami. Aku duduk di depan cermin rias sembari menyisir rambut yang masih basah. Kejadian tadi siang membuatku menginginkan sesuatu. Semoga benih Mas Zaidan segera tumbuh di rahimku lagi agar masalah kami terselesaikan segera. Tangan kanan ini meraba perut. Ini, adalah salah satu cara untuk kembali meluluhkan hati Ayah. Meskipun bayangan keguguran dulu masih terekam jelas di ingatan dan meninggalkan bekas trauma yang cukup mendalam, tapi aku tidak punya pilihan lain. Selagi Mas Zaidan kembali di sisiku, semua pasti berjalan baik-baik saja. Namun, jantung ini tiba-tiba berdetak makin cepat. Peristiwa kecelakaan yang merenggut Ibu terlintas begitu saja. Aku berdiri di depan Ibu dan Zaki yang bersimbah darah, di saat bersama