****"Jauh nggak dari rumah lu?" tanya Aryo saat kami sedang dalam perjalanan."Lumayan, butuh waktu sekitar sepuluh jam-an buat sampai ke kampung Nita," jawabku masih fokus dengan jalan di depan."Lumayan juga ya," sahutnya pelan."Lu tau darimana gue mau ke kampung halaman Nita." Aku meliriknya sebentar lalu kembali fokus terhadap jalanan yang lenggang.Aryo sempat terdiam menikmati musik yang kumainkan."Nggak sengaja dengar waktu gue mau pergi dari kantor lu," jawab Aryo. Ia lalu bersenandung kecil, sambil memejamkan matanya."Oh begitu, berarti tadi lu nggak langsung pulang gitu?" tanyaku padanya."Semarah apapun gue sama lu yang namanya sahabat bakalan selalu ada di dalam suka maupun duka, paham lu," tuturnya tanpa menatapku.Aku terdiam mendengarnya. Kami berdua lalu fokus dengan pikiran masing-masing. Aku memikirkan Nita, sedangkan Aryo tertidur.Setelah empat jam perjalanan, aku menghentikan mobil di pinggir jalan dekat warung soto."Kenapa berhenti?" tanya Aryo padaku. Ia ce
Gadis itu hanya menanggapi dengan senyuman, lalu gegas pergi ke belakang lagi."Tapi kalo bisa dicepatin ya, itu kayaknya juga udah jadi," ucap Aryo lagi yang membuatku semakin malu.Kami sekarang menjadi perhatian di warung ini. Bisik-bisik mereka pun terdengar di telinga."Nggak pernah makan di warung kecil kali ya.""Kayaknya sih orang kaya.""Banyak duitnya, pantes aja kayak orang bingung beli makan di sini. Pantes aja sih kalo kelihatan kayak orang baru ya mukanya.""Tapi cakep tau, bolehlah satu buat aku."Aku membenarkan baju yang terasa semakin sesak di badan. Argh! Aryo ini benar-benar!Dan masih banyak lagi pembicaraan lainnya yang terdengar di telinga."Aryo, plis! Jangan malu-maluin oke," ucapku penuh penekanan."Apaan sih, gue kan cuma menyarankan buat dia, gue udah lapar ini. Emang salah?" tanya Aryo.Aku hanya bisa mengembuskan napas kasar.Tak berapa lama akhirnya makanan pun sudah jadi dan langsung diantarkan ke meja kami berdua, aku dan Aryo makan dengan lahap karena
"Nita ke mana, nggak ikut kamu kah?"Deg!Pertanyaan Ibu membuatku diam membeku. Jika Nita tidak ada di sini, lalu ke mana perginya dia, batinku. Perasaan khawatir tiba-tiba menyeruak begitu saja.Aryo menyenggol lenganku pelan. Sedangkan Ibu menatapku dengan raut wajah bingung."Nita nggak ikut Nak Damar?" tanya Ibu sekali lagi.Bibirku terasa terkunci oleh pertanyaan Ibu."Damar!" sentak Aryo."Nita nggak ikut, Bu. Dia kan lagi hamil, jadi nggak bisa ikut jauh-jauh," ucapku mencoba setenang mungkin. Raut wajah Ibu langsung berubah. "Oh begitu, bener juga sih, Nak. Apalagi Nita kan lagi hamil besar, jadi nggak boleh ke sana kemari dulu." Aku bernapas lega, karena Ibu tak curiga denganku. Ibu tersenyum. Senyumannya sangat mirip dengan Nita.Ah, lagi-lagi wajah Nita melintas di pikiranku."Ayo masuk ke dalam rumah dulu, sudah tengah malam. Takut dikira maling." Ibu lalu membukakan pintu lebar, dan mempersilakan kami untuk masuk lebih dulu ke dalam rumah. "Oh iya, Bu, terima kasih ya
****Aku terbangun karena sinar matahari yang masuk dari celah jendela kamar Nita.Kukucek mata serta meregangkan seluruh otot tubuh, lalu setelah itu berjalan ke luar kamar."Ibu mau ke mana?" tanyaku padanya yang sudah bersiap ingin berangkat. Padahal menurutku ini masih sangat pagi "Mau ke sawah, Nak. Lihat tanaman Ibu," jawab Ibu lembut."Lho, Ibu masih kerja. Damar kan udah bilang, nggak usah kerja. Biar Damar aja yang kirimkan uang buat Ibu." Aku mencoba melarangnya untuk pergi."Nggak papa, Nak. Ibu kalo di rumah suka cape, tapi kalo berkebun rasanya tubuh Ibu lebih sehat. Sekalian nanti mau nyari tukang buat perbaiki dapur Ibu, ada yang bocor soalnya," ujar Ibu."Biar Damar aja yang panggilin, Ibu kasih tau aja alamatnya di mana atau mau langsung di renovasi aja rumah Ibu?" tanyaku padanya yang langsung mendapatkan gelengan."Jangan! Ini rumah peninggalan bapaknya Nita, Ibu nggak mau ada yang berubah. Soalnya cuma rumah ini satu-satunya kenangan dari Bapak." Aku melihat raut
"Video itu ... video itu tersebar dan Ibu sudah melihatnya," ucap Ibu. Ibu memejamkan mata, tapi air mata menetes membasahi wajah keriputnya.Video apa? Pikirku.Astaga!Aku baru ingat video saat Nita terjatuh dan aku tak menolongnya."I-itu ...." Ibu mendongak dapat kulihat sorot matanya yang kecewa.Aku benar-benar terdiam tanpa bicara sekarang. Rasanya tubuhku tak ada lagi pondasi yang bisa membantunya tetap berdiri."Maaf, Bu," jawabku singkat."Selamat pagi!" Suara Aryo memecah ketegangan yang sempat terjadi di antara aku dan Ibu."Pagi, Nak." Kulihat Ibu mengusap air matanya. Ia lalu tersenyum ramah menatap Aryo."Ibu masuk dulu, ya. Oh, ya terima kasih ya Nak Damar," ucap Ibu padaku.Aku lalu mengangguk sambil tersenyum canggung."Ngomong apa kalian tadi barusan?" tanya Aryo padaku."Video itu," ucapku."Video apa?"Aku lalu cepat menggelengkan kepala.Belum selesai masalah satu, hadir lagi masalah lainnya."Ayo bantu aku buat benerin genteng rumah Ibu," ucapku pada Aryo."Bene
Aku memukul stir mobil berkali-kali."Woy, woy! Sadar woy, kita lagi di jalan. Gua masih pengen hidup, gila!" bentak Aryo padaku."Gue pusing, bang***!!! Argh, Nita ke mana sih! Bisa gila gua lama-lama!" teriakku penuh emosi."Belum lagi gue harus berhadapan sama bokap nyokap!!! Pengen mati rasanya gua!" teriakku lagi di dalam mobil.Aku menambah kecepatan mobil."Stop, Mar. Lu nggak bisa kayak gini, sama aja lu lari dalam masalah! Bunuh diri nggak bakalan nyelesain masalah, Mar! Istighfar lu, Anj**!" teriak Aryo yang berpegangan erat pada pengamannya."Jangan ngelakuin hal konyol yang bisa membahayakan nyawa lu sendiri! Ini bukan cara yang bener okey!" Aryo mencoba menenangkanku.Aku yang sudah terlanjur emosi tak peduli dengan ucapannya.Ciiiitttttt!!!Aku mengerem mobil secara mendadak. Hampir saja mobil ini menabrak pembatas jalan.Hening terjadi beberapa saat di antara kami berdua, aku mengusap wajah dengan kasar. Ke kampung ini berniat menemukan Nita, tapi apa yang kudapat. Koso
"Jangan sampai setelah ini lu mikir mau minum racun, biar bisa bunuh diri secara perlahan." Arti berucap sambil menatapku tajam.Yakali aku mau bunuh diri hanya karena hal ini. Tentu saja tidak, seorang Damar tidak akan melakukan hal sebodoh itu dan tak akan pernah. Lagian Nita juga bukan separuh nyawaku. Toh, dari awal aku bilang aku tak pernah mencintainya.Ya, aku tidak mencintainya, batinku.Pandanganku lalu beralih menatap pepohonan yang berada di pinggir jalan."Dengar nggak lu!" celetuk Aryo."Gua nggak akan ngelakuin hal gi*la itu. Paham lu?" ujarku pada Aryo."Bagus deh, awas aja ya!" ancamnya lalu fokus dengan jalanan yang sangat sepi ini. Hanya terdengar suara jangkrik yang saling bersahutan."Kalo capek bilang aja, biar nanti kita gantian." Aryo diam tak menjawab, aku memilih untuk melihat pemandangan dari balik kaca mobil, hingga kantuk mulai menyerangku.****Entah berapa jam aku tertidur, Aryo sempat berkeluh kesah padaku.Katanya perjalanan ini terasa sangat lama, s
"Kalo dia emang ditakdirkan buat gua, sejauh apapun dia pergi. Pasti ujung-ujungnya bakalan balik lagi ke gua," ujarku yakin."Wisss, tambah bijak aja lu sekarang semenjak ditinggal sama Nita." Aryo tertawa setelah mengucapkan kata itu."Gua cuma pengen belajar dari kesalahan dan semoga saja saat gua nemuin dia, kita berdua masih bisa kembali bersama.""Gua mau jujur, Yo," ucapku padanya."Apa?""Kayaknya gua jatuh cinta deh sama Nita," ujarku sambil memegang dada mencoba memegang detak jantung yang tak beraturan."Bagus dong, giliran lu lagi yang ngejar-ngejar Nita. Gue harap itu bukan cuma di mulut aja deh," ucapnya."Enggak, ini beneran, Yo. Sehari tanpa memikirkan Nita, pikiran gua nggak karuan," ujarku jujur."Gue seneng kalo misalnya begitu." Aryo menjawab singkat, pandangannya tertuju pada anak perempuan yang menghampiri kami.Bukan Laras, tapi orang lain."Laras mana?" tanya Aryo langsung."Kak Laras lagi ke pasar, Kak. Di suruh Ibu belanja," ujar anak perempuan kecil itu."Oh