"Randu, Ibu tadi bilang nggak akan pulang," ucapku pada Randu yang baru pulang sekolah.
Adikku itu hanya mendengkus kasar. Dia masuk ke dalam kamar tanpa bicara, tetapi raut mukanya terlihat muram.
Di rumah yang kami tempati tidak ada barang berharga yang bisa dijual. Ada ponsel milikku, namun nomorku yang tergabung dalam grup W******p sekolah Rahma dan Randu. Selama ini Ibu tidak mau tahu urusan sekolah anak-anaknya. Menjadi delima, haruskah aku menjual perangkat elektronik tersebut?
"Rahma, Mbak mau ke rumah Bude Yani dulu, ya. Titip Dewa."
"Iya, Mbak."
Mau tidak mau, aku memberanikan diri meminjam uang pada saudara Ibu. Aku mempercepat langkah kaki menyusuri gang sempit, sinar jingga kemerahan berarak di batas barat.
Aku mengetuk pintu kayu beberapa kali. Tidak lama berselang, Bude Yani muncul dari balik pintu. Matanya tajam menatapku.
"Mau apa, Sinar? Pinjem uang?"
Ah, belum apa-apa aku sudah mendapatkan sambutan yang dingin. Aku membuang rasa malu sejauh mungkin.
"Iya, Bude. Ibuk pergi, katanya nggak akan pulang ... aku mau pinjam tiga puluh ribu," jawabku, gugup.
Perempuan paruh baya yang mengenakan daster motif bunga itu bersedekap. "Ibumu bisa buat pesta pernikahan. Uang dari mana?"
"Aku nggak tahu, Bude. Mungkin uang dari Pak Agus."
"Yuni itu memang gatel, doyan kawin cerai. Keluarga kalian hanya menyusahkan saja. Budemu ini juga orang ndak mampu, Sinar ...."
Aku tidak tahu harus berkata apa, aku akui selama ini Ibu juga sering meminta bantuan Bude Yani.
"Tunggu di situ."
"Iya."
Bude Yani masuk ke rumah, dia keluar lagi dengan membawa kantung plastik putih.
"Ini ada pepaya muda dan tahu. Dan, uang lima puluh ribu." Bude Yani mengulurkan uang dan kantong plastik.
"Terima kasih, Bude."
"Ibumu beneran minggat?"
Aku menganggukkan kepala. "Nomor ponselnya nggak aktif. Jadi, Ibu memang nggak akan pulang."
"Dasar gendeng Ibumu. Otaknya perlu dicelupi ke api," komentar Bude Yani, yang terlihat sangat geram. "Ya, sudah pulang sana."
"Iya, Bude. Terima kasih banyak."
Aku berjalan pulang ke rumah, sambil berpikir mencari pekerjaan. Tetapi, aku bingung dengan Dewa. Mana ada bekerja boleh bawa anak.
Dari arah berlawanan, aku melihat temannya Ibu yang bernama Mbak Narsih. Ini kesempatanku bertanya tentang Pak Agus.
"Sinar, Ibumu lama nggak kelihatan. Belum pulang dari Bandung?" tanya Mbak Narsih begitu jarak kami dekat.
"Ibu nggak akan pulang, Mbak."
"Maksudmu apa, Sinar?"
"Ibu pamitan nggak mau pulang. Ibu ingin bebas dari anak-anaknya," jelasku. "Mbak Narsih tahu tempat tinggal Pak Agus dan nomor ponselnya?"
"Wah, aku nggak tahu. Ibumu nggak pernah cerita tentang Agus. Aku duluan ya, Sinar ...."
Aku hanya mengulas senyum. Menghela napas panjang. Ibu kenal dengan Pak Agus sekitar dua bulan, kemudian memutuskan menikah. Aku pun tidak begitu kenal dengan lelaki berambut gondrong itu.
***
Randu menolak uang saku yang aku berikan. Sejak dua hari yang lalu, Randu jarang bicara. Dia pulang sekolah ketika hari beranjak gelap.
Selama dua hari pula aku menjadi buruh cuci, pekerjaan yang tidak perlu meninggalkan Dewa. Ada beberapa tetangga yang mau menggunakan jasaku di tengah laundry modern. Mungkin karena kasihan, karena berita Ibu tidak pulang sudah berkembang di seluruh gang-gang. Siapa yang tidak kenal dengan Yunita yang sering kawin cerai.
Siang ini, Bu Erna memintaku membersihkan halaman rumahnya yang luas. Rumput-rumput liar terlihat tumbuh subur.
"Dewa duduk di sini. Mbak mau bersihin rumput," ucapku seraya mengacak rambut Dewa. Bocah kecil itu mengangguk-anggukan kepalanya.
Aku tidak memedulikan terik matahari yang membakar kulit. Keringat membasahi pada kening, pelipis, leher, dan punggung. Aku mengedarkan pandangan, tinggal di ujung halaman. Dan, akan selesai sebelum sore.
Aku beristirahat sebentar, duduk di sebelah Dewa yang sedang coret-coret di atas buku. Fokusku teralih pada ponsel yang berbunyi lirih. Satu pesan masuk.
[Selamat siang, Ibu Yuni. Apa Ananda Randu dalam kondisi sehat? Karena hari ini tidak masuk sekolah.]
Randu tadi pagi pergi sekolah seperti biasanya. Dan, aku tidak tahu harus membalas apa.
Aku bergegas menyelesaikan pekerjaan. Upah sebesar enam puluh ribu aku terima dari Bu Erna. Perempuan itu juga memberikan dua kemasan biskuit pada Dewa. Yang tidak aku sukai adalah tatapan Bu Erna yang menyiratkan rasa kasihan.
Tepat pukul empat sore aku sampai di rumah. Rahma sudah pulang sekolah, dia sedang mencuci piring di belakang. Kemudian dia berpamitan belajar kelompok di rumah Ayu.
Dengan perasaan khawatir, aku menunggu kepulangan Randu. Mengapa dia bolos sekolah?
"Sinar!" Seseorang memanggilku.
Lekas aku berlari keluar. Ternyata Mbak Narsih.
"Randu dige bu ki orang. Di parkiran toko kue Danisa."
Aku berlari ke tempat yang dikatakan Mbak Narsih dengan menggendong Dewa di belakang. Napasku terengah-engah saat sampai di dekat toko kue. Aku melihat Randu yang babak belur, berjalan ke arahku.
Saat aku bertanya mengapa ada orang yang menghajarnya, dia hanya diam. Berjalan terpincang-pincang melewatiku.
"Randu, apa yang terjadi ...?" Pertanyaanku hanya bagai angin lalu. Dan, aku hanya bisa berjalan di belakangnya. Menatap punggung kurus itu. Menatap kausnya yang sobek.
Akan tetapi, begitu sampai di rumah. Aku mencecarnya dengan pertanyaan yang sama.
"Kamu bolos sekolah, kan ...?" Aku menurunkan tubuh Dewa.
Randu melempar tas ranselnya dengan kasar. Matanya tajam menusuk. Dia bercerita seharian menjadi tukang parkir, namun ada yang tidak suka dengan kehadirannya, yang dianggap mengambil lahan parkir orang lain.
"Aku ingin punya ponsel, Mbak. Aku ingin membantumu. Aku kasihan denganmu!" teriaknya. "Untuk apa sekolah, nggak penting."
"Randu, dengarkan aku ... biar aku yang putus sekolah tapi tidak denganmu dan Rahma. Kalian harus tetap sekolah!"
"Mbak Sinar, aku kasihan denganmu yang ke sana kemari mencari pekerjaan ...."
"Aku nggak apa-apa. Demi kalian. Kalian harus jadi orang sukses." Aku menangkup kedua pipi Randu yang lebam. "Ya? Berjanjilah tetap sekolah."
Randu menangis, aku paham mengapa dia bersedih. Di usia enam belas tahun, dia tidak punya ponsel. Bajunya itu itu saja, sepatunya pun sudah robek bagian depan.
"Jangan menyerah, Randu. Kita bisa melewatinya. Kita pasti bisa, Dek ...."
Aku menahan air mata yang hendak jatuh. Aku menyemangati Randu, tetapi aku sendiri sangat rapuh. Retak di setiap pembuluh nadi.
Aku memilih tidak melaporkan penganiayaan terhadap Randu. Karena tersiar kabar ketua preman-preman itu berteman dengan para pejabat. Aku yang hanya perempuan miskin lebih memilih keselamatan adik-adikku. Malam sudah cukup larut, aku masih menjahit seragam Randu yang sobek pada bagian punggung. Setiap telusuran jarum bagai menyayat hati. Aku berhenti sejenak, mengamati lampu yang sekarat, kadang menyala kadang padam. Aku memutuskan tidak meneruskan menjahit, akan kulakukan esok hari saja. Lalu, merebahkan tubuh di sebelah Rahma yang sudah terlelap. Baru memejamkan mata, mendadak tubuhku menggigil kedinginan. Selimut tipis tidak mampu menhalau rasa dingin. Rasa pusing mulai menyerang. Suhu badanku meningkat. "Aku nggak boleh sakit, nggak boleh sakit ...." lirihku gemetaran seraya meraih botol minyak kayu putih. Membaluri tengkuk, perut, dan telapak kaki, setelah itu meringkuk kembali di balik selimut. Memejamkan kedua mata, mencoba tidur.Aku terbangun ketika langit sudah biru keung
Aku membuka lemari pakaian Ibu. Tercenung sebentar, bergulat dengan keraguan. Haruskah aku membuang barang-barang yang berkaitan dengan Ibu? "Ini kardusnya, Mbak." Randu menaruh kardus cokelat berukuran besar di dekat kakiku. "Anggap saja, Ibu sudah meninggalnya ...." imbuhnya."Randu ....""Lagi pula semua pakaian itu sudah jelek-jelek. Yang bagus sudah dibawa liburan ke Bandung," ucap Randu, sinis. Dia kemudian keluar kamar.Aku menarik napas dalam-dalam. Mengembuskan satu-satu. Aku mulai memilih baju yang memang sudah tidak layak. Ada rasa terenyuh saat mendapati pakaian Ibu banyak yang robek. Namun, seketika perasaan itu lenyap. Berganti dengan perasaan kecewa karena diabaikan dan ditinggalkan.Saat memindahkan pakaian ke dalam kardus, selembar kertas jatuh di ubin. Aku merundukkan badan dan mengambilnya. Tenyata bukan kertas, melainkan foto lama. Foto keluarga.Akan tetapi, aku hanya mengenali satu orang dari empat orang yang ada di dalam foto. Itu Ayah sewaktu muda, mirip denga
"Tunggu." Aku menggapai tangannya. "Tunggu, Pak Agus ...."Lelaki itu mengibaskan tanganku dengan kasar. Wajahnya semasam cuka."Ibu mana?" tanyaku dengan napas yang terengah. "Kapan kalian--""Ibumu dan aku memutuskan berpisah, Sinar," ucap Pak Agus memotong ucapanku. "Sudah, jangan ganggu aku lagi. Ibumu masih di Bandung. Cari saja ke sana.""Pak, tahu nomor ponsel Ibu?""Ibumu gonta-ganti nomor ponsel seperti gonta-ganti suami," jawabnya sinis. "Untung aku tidak mau nikah sah, hanya siri."Aku hanya bisa memperhatikan Pak Agus yang berjalan menjauh. Makin lama makin mengecil, dan hilang ditikungan gang.Kedua kakiku pun melanjutkan langkah dengan gontai. Pertanyaan hilir mudik di kepala. Mengapa baru satu bulan sudah berpisah? Lalu, di mana keberadaan Ibu? Apakah kami berempat memang sudah dilupakan untuk selamanya?Sampai di rumah aku menurunkan Dewa. Lantas duduk di bangku panjang di teras. Meluruskan kaki yang lelah. Aku mengamati Randu yang sedang memilah barang rongsokan."Aku
"Ibu nggak pergi ke pesta?" tanyaku pada Bu Rena yang sedang membaca novel. Sebenarnya aku sedang mencari tahu jam berapa pestanya dimulai.Perempuan itu menoleh, memandangku dari balik kacamatanya. "Pesta apa, Sinar?""Oh, itu kemarin, saya dengar ada teman Ibu yang menikah," jawabku, lalu menyunggingkan senyum kaku. Pandangan Bu Rena kembali pada buku. "Malas," ujarnya singkat."Oh, karena malam ya, Bu?" Aku mengelap kaca dengan cepat. Berharap ada informasi."Pestanya siang ini. Aku lebih baik tidur, daripada datang ke pesta .... Aku tidak suka Hendi, dia agak arogan," ungkap Bu Rena. "Lagi pula kami tidak berteman."Aku tidak bertanya lagi. Menatap kaca jendela di hadapanku. Aku penasaran dengan sosok istri Hendi dan aku harus mendatangi pesta. "Sinar, ada beras lima kilo dan gula pasir di kantong plastik ungu. Ada di dapur, bawa saja kalau pulang," ucap Bu Rena."Saya bawa besok saja, Bu. Soalnya hari ini saya disuruh Bude saya mampir ke pasar, beli terigu." Aku berbohong, tida
"Aku ingin bicara dengan kalian." Ibu mendorong tubuh Rahma dengan pelan, kemudian duduk di kursi. Ibu sama sekali tidak menanyakan kabar kami. Aku melihat Ibu seperti nyonya kelas atas yang angkuh. Aku tetap berdiri, begitu pun dengan Randu, yang sedari tadi hanya berdiri di ambang pintu kamar. Hanya Rahma yang ikut duduk."Ini untuk kalian," ucap Ibu, meletakkan amplop cokelat di atas meja. "Uang dua puluh juta. Cukup, kan?""Cukup untuk melunasi hutang Ibu," sahutku."Baguslah kalau begitu." Ibu menatapku tajam. "Sinar, jangan pernah datang ke rumah dan mengaku sebagai anakku. Aku bukan Yunita yang dulu.""Ibu datang hanya untuk mengatakan itu?" Aku mengusap air mata yang jatuh di pipi."Ya. Karena aku sudah punya kehidupan baru." Ibu beranjak dari kursi. "Aku pergi dulu.""Pergi dan jangan pernah kembali, Bu!" Aku beteriak keras, menggema di ruangan sempit.Ibu keluar rumah seolah tanpa beban dan rasa bersalah. Rahma berlari menyusul Ibu. "Rahma!" panggilku, tetapi Rahma tidak
Aku menaruh uang sejumlah lima belas juta di atas meja. Bu Kumala mengambilnya dan mulai menghitung uang. Selesai menghitung uang, Bu Kumala mengembalikan sertifikat rumah. "Aku dengar, ibumu sudah menikah dengan orang kaya," ucapnya."Saya nggak tahu tentang itu," sahutku, mendekap sertifikat rumah."Mungkin, keinginan ibumu sudah terwujud, Sinar. Yakni menikah dengan pria kaya raya," imbuh Bu Kumala. "Ibumu akan berhenti berburu kali ini."Kata-kata Bu Kumala cukup menyakitkan, seolah ibu sedang mencari mangsa. Tetapi, kenyataannya memang seperti itu."Sungguh disayangkan, Yuni mengabaikan kalian. Semoga kalian berempat menjadi anak-anak yang sukses.""Aamiin. Saya permisi dulu, Bu."Aku bergegas melangkah keluar dari rumah besar Bu Kumala. Menyeberangi jalan besar, kemudian menyusuri gang.Seperti biasa, Randu berada di teras rumah. Berkutat dengan barang-barang bekas. Dewa kecil ikut membantu kakaknya, walaupun sering salah."Randu ...."Randu menoleh, dia memandang sertifikat ru
Aku meregangkan tubuh yang terasa lelah sekali seusai mengangkat perabot katering ke dalam mobil box. Dan, yang paling aku tunggu adalah upah yang diberikan pada waktu terakhir. Waktu sudah bergeser cukup larut saat semua pekerjaan selesai. Aku menyempatkan duduk di kursi taman untuk istirahat sejenak. Mengganti sepatu kebesaran dengan sandal jepit. "Kenapa kamu masih di sini? Tuh, yang lain sudah pada pulang." Aku menoleh. "Eh, Nyonya lagi ... ini juga mau pulang," sahutku seraya memasukkan sepatu ke kantong plastik. "Aku akan memberikan uang, tetapi jangan muncul dihadapanku," pinta Ibu dengan arogan. "Uang?" Aku beranjak dari duduk, berdiri berhadapan dengan Ibu. "Saya nggak butuh uang dari Anda, Nyonya. Terima kasih banyak. Satu lagi, jangan mengatur saya." "Dengan uang kita bisa mendapatkan apa pun, Sinar." "Dan, uang juga bisa membuat nurani seorang Ibu terbakar. Menyisakan ketamakan." "Keras kepala." Geram Ibu. "Aku bisa mencukupi kehidupan kalian, Sinar. Kamu nggak usa
Sampai di dapur, Bu Asri menyuruhku mencuci peralatan masak dan makan. Aku sempat mengagumi dapur yang cukup luas dengan jendela-jendela besar. "Bu Asri, yang tinggal di rumah ini berapa anggota keluarga? Itu tadi siapa saja?" tanyaku seraya membasuh piring dengan air yang mengalir."Pak Atma dengan kedua putra tirinya. Pak Hendi dan Pak Bagas. Yang perempuan menantunya Bu Yunita. Pak Bagas tidak tinggal di sini," jelas Bu Asri."Nggak punya putra kandung, ya?" Aku masih penasaran."Sudah meninggal dan yang satu menghilang. Sudah kerjakan pekerjaanmu jangan banyak tanya. Itu urusan keluarga mereka." Bu Asri berkata dengan nada agak ketus.Aku pun melanjutkan pekerjaan, sesekali melihat ke luar jendela. Memandang langit yang membiru."Jadi ... dahulu kala. Dari pernikahan pertama, Pak Atma punya dua anak. Beberapa tahun kemudian setelah istrinya meninggal dunia, Pak Atma menikah yang kedua kalinya dengan janda yang juga mempunyai dua orang anak ...."Kepalaku menoleh ke belakang, mema